Safira yang sejak tadi tak bisa berkonsentrasi penuh dengan pelajaran, bernapas lega ketika jam pelajaran akhirnya selesai. Ya, sejak pelajaran dimulai hingga berakhir, pikirannya di dominasi oleh ucapan Gilang. Rasanya dia hampir luluh mengingat kata-kata manis itu. Jujur, dia sempat menangis mendengarnya, tapi sebisa mungkin tak dia tampakkan depan lelaki itu.
Membuat dia jadi berpikir, apa benar selama ini dia yang terlalu paranoid? Gilang sudah berjanji, tapi kenapa dia tak percaya? Pantaskah dia meragukan lelaki yang telah menjadi pacarnya itu? Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Fir, ngapain bengong?"
Teguran Riri mengejutkannya seketika. Safira menatap Riri, lantas hanya tersenyum kaku tanpa mau memberitahu sahabatnya itu apa yang sedang meng
Halo. Jumpa lagi dengan cerita ini. Tolong kasi vote dan reviewnya dong sampai sejauh ini bagaimana pendapat kalian tentang cerita ini. Komen, ya. Makasih...
Gilang lega, setidaknya dia berhasil membujuk Safira hingga sekarang gadis itu tak menjauh lagi darinya dan mulai mau diajak pergi sekolah bersama seperti biasa. Dan hari ini, sepulang sekolah, Gilang mengajak Safira jalan ke mall, katanya mereka ingin membeli baju couple. Gilang yang memaksa Safira ketika gadis itu menolak. Tak ingin mengecewakan, Safira coba menuruti kemauan Gilang kali ini. Sepanjang perjalanan di mall, Safira hanya mengikuti kemana Gilang pergi dan sesekali menanggapi saat lelaki itu meminta pendapatnya tentang baju yang dipilih. Jujur, Safira merasa canggung berada di tempat yang ramai dan asing seperti ini. Ini pertama kalinya dia ke sini. Kalau Gilang tak mengajaknya mungkin dia tak akan menginjakkan kaki di sini sekarang. Menilik harga yang bergantung di setiap pakaian yang berjejer rapi itu atau melirik harga di barang-barang lain di tempat bergengsi ini membuat Safira ngeri. Untuk membeli sehelai baju saja mungkin bisa m
Hari-hari terus berlalu. Safira semakin yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan Gilang dan membantu lelaki itu untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semakin lama, Safira juga merasa kalau Gilang itu sebenarnya baik. Selama berhubungan dengannya, tak sekali pun lelaki itu menunjukkan sikap kasar di depannya. Gilang selalu memperhatikannya dari hal sepele hingga hal besar. Gilang memperlakukannya bagai putri. Dan Gilang sama sekali tidak terlihat seperti berniat untuk melakukan itu padanya. Setiap orang mempunyai masa lalu, termasuk Gilang. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mengubah masa lalu bahkan yang gelap sekali pun. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha melakukan yang terbaik untuk saat ini dan tidak kembali ke masa gelap itu lagi. Dan Safira siap untuk mendampingi Gilang melewati hari-harinya saat ini dan yang akan datang. Safira sangat bahagia, tentu saja. Seperti saat ini.Bel tanda pulang baru saja berdentang. Safira sudah m
Andra yang sudah memberitahu Viona kalau kakak kelasnya itu mengekos di sini. Tak hanya itu. Andra juga memberi informasi lain tentang hubungan Safira dan Gilang. Kini dia tahu semua tentang hubungan dua sejoli itu. Safira tertegun kala melihat siapa yang datang. Tapi dia tak bisa mengelak lagi. Mau tidak mau dia menemui orang yang berusaha dia hindari. "Ada apa, ya?" tanya Safira. Viona justru menatap Safira dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Kak." Gadis itu tiba-tiba saja merengek, bibirnya mencebik. Membuat Safira semakin heran. "K-kamu kenapa?" Safira melirik sekelilingnya yang tetiba ramai. Tak nyaman bicara di depan banyak orang, dia pun merangkul Viona untuk masuk ke kamarnya. "Kita ngobrol di dalam aja. Tenang." Viona terus tersedu sepanjang perjalanan menuju lantai dua, di mana kamar Safira berada. Dan Safira berusaha menenangkannya dengan mengusap bahu gadis itu pelan, sampai mereka tiba di depan pintu kamar Safira. Safira mem
Kamu yang ada di depan mata Aku ingin terus menatapmu Karena senyum tawa yang terlalu lama kau simpan Aku tertawa terbawa suasana yang ada di malam itu Kau yang kulihat dari banyaknya kaum hawa. Sepenggal lirik lagu Cokelat Biru milik Giorgino Abraham memenuhi ruangan Mandala Cafe--sebuah cafe favorit anak muda yang hobi nongkrong sambil wifi-an. Kebetulan malam itu di Mandala Kafe mengundang penyanyi lokal untuk menyanyikan lagu-lagu hitz masa kini guna menghibur pengunjung cafe-nya. Semua pengunjung Mandala Kafe tampak terhibur dengan nyanyian vokalis di depan sana, tak terkecuali Gilang dan Safira yang juga merupakan salah satu pengunjung Mandala Cafe malam itu.Malam ini Gilang mengajak Safira ke luar untuk sekadar ngopi atau menikmati suasana kafe favorit seperti sekarang ini. Tak seperti sebelumnya, kali ini Safira yang tidak takut lagi, menerima ajakan Gilang tanpa ragu. Dan malam ini, Safira membuk
Pagi ini kelas XII IPS 1 sedang jam kosong. Bu guru yang berhalangan hadir hanya menitipkan tugas ke ketua kelas yang dicatat ke papan tulis untuk kemudian disalin dan dikerjakan oleh siswa.Sebagian besar siswa di kelas itu hanya berleha-leha. Yang cewek ada yang mengerjakan tugas itu sambil bergosip. Sedangkan anak cowok sibuk bermain game, chatingan, nonton video dan sebagainya. Namun, ada pula siswa yang rajin mengerjakan tugas tersebut dengan serius. Seperti halnya, Safira, Riri, dan Evan. Mereka hanya sesekali berbicara satu sama lain. Saat Safira tengah serius menatap buku tulisnya, Andra yang merasa bosan menjahili anak cewek di kelas itu memilih menghampiri Safira. "Gimana hubungan lo sama si Gilang itu?" tanyanya tiba-tiba. Lelaki itu berdiri di samping meja Safira dan Riri. Mendengar itu Safira berhenti menulis. Dia mendongak menatap Andra. "Kepo," jawabnya singkat lalu kembali menulis. "Aelah, gue nanya di bilang kepo. Gue cum
Gilang berjalan menuju teras rumah sembari terus menatap ponselnya, mengscroll nomor-nomor kontaknya di aplikasi hijau. Dan ketika melihat kontak seseorang yang dia blokir belakangan ini, langkahnya berhenti bersamaan dengan jempolnya yang juga berhenti mengscroll. Dia berdiri di tengah ruang tamu. Dia mengenakan jaket kulit hitamnya. Siang ini akan ke luar bersama Safira. Tapi tatkala melihat kontak tersebut dia jadi teringat ucapan Viona di sekolah tadi siang. "Buka blokir nomor gue, Kak, biar kita mudah komunikasi." "Gue harap kakak pikirin tawaran gue." "Gue tahu. Kak Gilang tuh pengin kan bisa ngelakuin itu lagi? Pengin bisa kayak dulu lagi? Apa kakak nggak pernah ingat apa yang udah kita lalui bersama dulu? Ya hubungan kita emang singkat, Kak. Tapi kenangan itu nggak mungkin bisa dilupain gitu aja, kan, meski singkat?" Semua ucapan gadis itu terus menggerayangi pikirannya, bahkan sejak tadi. Gilang mendengus. "Apa, sih, maunya ce
Gilang menatap Safira yang memandangnya penuh tanya dengan gugup. Safira justru tertawa. "Kamu kenapa? Kok kaget gitu aku panggil? Kamu serius banget, ya, main handphonenya." "Oh, nggak serius, kok." Gilang nyengir. "Ka-kamu udah ke toilet?" "Udah." Safira merasa sikap Gilang agak aneh. Safira ikut berdiri di samping Gilang, melempar pandang ke bawah, menikmati angin sepoi-sepoi sore itu. Gilang mengingat chat Viona tadi. Apakah benar Safira nangis karena di ganggu Andra? "Fir, aku mau tanya," ucapnya to the point. Safira yang tengah menatap ke bawah, menoleh, "tanya apa?" "Menurut kamu di kelas kamu itu ada yang suka sama kamu nggak? Naksir kamu gitu." "Hmm aku bingung jawabnya." Safira kembali menatap ke depan. "Kalau aku jawab nggak ada, aku sendiri juga nggak tau pasti ada atau nggaknya. Tapi kalau jawab ada ntar aku dibilang ke geer-an." Safira terkekeh di akhir kata. "Menurut perasaan kamu aja gitu. Ada nggak?"
"Ngomong apa?" Gilang berbalik badan tiba-tiba membuat Safira seketika terkejut. Safira hanya menggeleng sambil nyengir. Gilang mendekat ke arahnya dan tanpa diduga meraih tangannya, menggenggamnya erat. Sebelum akhirnya mereka berjalan bersisian. Safira hanya tersenyum simpul. Tiba di parkiran siswa, sekali lagi Safira mengedar pandangan. Tidak ada motor lain di sana selain motor Gilang. Viona benar-benar tak ada di sini. "Naik," ucap Gilang yang sudah menaiki motornya duluan. Safira pun naik. Motor itu melesat meninggalkan pelataran sekolah yang sepi menuju jalan kecil yang tak jauh dari sekolah itu. Gilang menghentikan motornya di depan sebuah ruko dua pintu yang ada di jalan kecil itu. Dia memilih singgah ke konter itu untuk membelikan Safira kuota. Mereka berdua memasuki halaman konter tersebut. "Kayaknya aku pernah, deh, isi voucher di sini," ucap Safira memperhatikan seluk-beluk ruko itu. Seiring dengan kakinya yang terus me
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m