Bab 2

Aku membuka akun sosial dan melihat sebuah postingan Yulia. Di dalam foto itu, dia masih tetap terlihat anggun dan rapi meski sudah tua. Bayang-bayangnya semasa muda dulu juga masih tertinggal di wajahnya.

Dia adalah seorang profesor jurusan sastra, sedangkan Hasan adalah kritikus sastra. Mereka sering duduk bersama seperti ini sembari mendiskusikan karya sastra. Yulia yang biasanya terlihat dingin sedang tersenyum dengan cerah saat ini.

Putraku yang tidak pernah melakukan pekerjaan rumah selama ini sedang berdiri di atas pohon besar di halaman rumah Hasan untuk memangkas ranting. Dia bekerja sangat keras hingga tidak sempat menyeka keringatnya. Namun, aku jelas-jelas mengingat dia mengatakan dirinya takut ketinggian saat aku menyuruhnya membantuku memangkas ranting dulu.

Hatiku terasa sangat sakit. Aku pun membungkuk dan tidak dapat menahan air mataku lagi. Aku tiba-tiba merasa pengorbananku selama ini sangatlah konyol. Meskipun aku adalah seorang pria, aku tidak memiliki ego yang tinggi. Selain itu, aku juga selalu merasa Yulia terlalu baik untukku.

Aku rela mengundurkan diri dari pekerjaanku di pabrik, lalu menjaganya dan anak kami selama 40 tahun ini. Setiap hari, aku selalu bangun jam 5 pagi untuk membuatkan sarapan untuk mereka. Seusai sarapan, aku juga buru-buru mencuci peralatan makan dan membersihkan dapur.

Berhubung putra dan menantuku harus kerja, aku juga harus mengantar cucuku bersekolah. Dalam perjalanan pulang, aku pergi ke supermarket untuk beli sayur. Setelah tiba di rumah, aku membersihkan rumah dan mencuci baju.

Setelah itu, aku harus buru-buru menyiapkan makan siang karena harus pergi menjemput cucu sesudahnya. Cucuku suka pilih makanan. Dia hanya suka makanan enak seperti bakso asam manis, udang goreng, dan sebagainya.

Menyiapkan makanan enak lebih memakan waktu. Kadang-kadang saat tidak sempat, aku menyuruh Yulia membantuku menjemput Dylan. Namun, dia selalu merasa kurang senang dan mengatakan aku mengganggu waktunya membaca.

Selama ini, aku sangat sibuk sampai hampir sakit karena kelelahan. Akan tetapi, aku tidak pernah mengeluh. Selama dia bisa hidup tenang dan menciptakan karya sastra dengan baik, aku rela menjadi pria di belakangnya. Tak disangka, balasan yang kudapatkan malah seperti ini.

Harus kuakui bahwa aku bukan hanya seorang suami yang tidak penting, tetapi juga ayah yang tidak penting.

Setelah menyadari kenyataan ini, pikiranku tiba-tiba tercerahkan. Aku tidak ingin lagi menghabiskan sedetik pun waktuku pada sampah masyarakat seperti mereka. Kelak, aku mau bersikap lebih baik pada diriku sendiri.

Aku pergi ke mal untuk membeli pakaian baru. Dalam perjalanan pulang, aku merasa agak lapar. Jadi, aku pergi ke sebuah restoran dan memesan beberapa lauk.

Selama 40 tahun ini, demi menghemat uang dan supaya keluargaku bisa makan lebih sehat, aku masak setiap hari selain pada hari kami menghadiri resepsi pernikahan. Kelak, aku tidak akan mengurung diri dalam dapur lagi.

Setelah pulang ke rumah, aku menonton video untuk sesaat. Seiring dengan langit yang mulai gelap, aku bangkit untuk pergi minum air. Saat ini, terdengar suara pintu dibuka.

Yulia sudah pulang. Namun, dia tidak tersenyum lembut seperti di foto. Tampang seriusnya yang dipadukan dengan gaun tradisional berwarna biru muda mahal yang dikenakannya membuatnya terkesan sangat sulit dijangkau.

Bagiku, dia selalu terlihat arogan dan sangat dingin. Aku tahu aku tidak layak mendampinginya dan pernah memberinya kesempatan untuk berubah pikiran. Namun, dia mengatakan bahwa dirinya tidak pintar mengutarakan perasaannya dan sebenarnya juga menaruh perasaan padaku.

Setelah melihat ekspresinya yang lembut terhadap Hasan, aku tidak akan percaya bahwa ini memang sifatnya dari lahir. Saat ini, aku hanya merasa dia sangat menjijikkan dan munafik.

Dia memijat pelipisnya dan berkata tanpa basa basi, “Buatkan air madu untukku. Tadi, aku minum sedikit alkohol. Lambungku nggak enak.”

Biasanya, aku pasti akan langsung menjalankan perintahnya. Sekarang, aku hanya mengabaikannya.

Melihat aku yang masih tidak bergerak, Yulia mengerutkan keningnya dan berseru, “Aku ngomong sama kamu!”

Dulu, aku akan tanpa sadar merasa gugup saat melihat tampang kesalnya. Hari ini, aku malah merasa sangat tenang. “Aku sibuk. Buat saja sendiri.”

Yulia menatapku dengan ekspresi tidak percaya. Wajar saja dia bereaksi seperti itu. Bagaimanapun juga, ini adalah pertama kalinya aku menolak permintaannya. Dia berkata dengan ekspresi muram, “Kenapa kamu hari ini? Kamu juga nggak angkat telepon Jancent.”

“Hari ini, kami makan di luar, makanya kamu nggak usah masak. Apa istirahat sehari masih nggak cukup?”

Baru saja aku hendak mengatakan sesuatu, Jancent juga tiba di rumah bersama istri dan anaknya.