Hari kelima.Nabil masih rutin ke rumah sakit meski durasinya berkurang. Kalau pada hari-hari sebelumnya ia datang pagi, siang dan sore, sekarang Nabil hanya datang saat sore setelah pulang kerja.Sama seperti hari-hari sebelumnya, keadaan Kayla masih belum berubah. Dia kelihatan tenang dalam tidurnya, meski di dalam dirinya entah apa yang terjadi. Bisa jadi dia sedang berjuang untuk bangun atau mungkin sedang menunggu panggilan dari malaikat maut."Pak Nabil, bisa kita bicara sebentar?" Suara seorang perempuan mengagetkan Nabil hingga membuatnya memalingkan wajah ke arah pemilik suara."Iya, ada apa, Bu?""Kita bicara di ruangan saya saja ya, Pak?""Baik." Nabil pun mengikuti langkah perempuan itu menuju ruangannnya."Silahkan duduk, Pak!" katanya mempersilakan.Nabil menarik kursi dengan gerakan perlahan dan duduk di sana, berhadapan dengan perempuan itu."Jadi gini, Pak, kenalkan nama saya Lidya, saya dari bagian keuangan, ada yang harus saya bicarakan dengan Bapak. Sebelumnya saya
Tiba-tiba Nadin teringat sesuatu. Ia seperti menemukan cahaya terang didalam kegelapan."Semua karyawan di kantor aku kan diasuransikan, Bil, itu artinya Kayla juga.""Iya, Nad, tapi Ryo bilang asuransi tidak mengcover 100%. Masalahnya asuransi kesehatan perusahaan kalian bukan punya pemerintah seperti asuransi kesehatan di kantorku, tapi swasta."Nadin kembali terlihat lesu. "Atau gimana kalau kita kabur aja, Bil?" celetuknya lagi."Kabur?" ulang Nabil mengernyit."I mean, kita nggak usah datang kesini lagi. Mereka pasti nggak akan bisa cari kita. Kita bebas dari semua ini," kata Nadin memberi saran."Nggak, Nad, aku nggak setuju," Nabil menolak keras ide gila Nadin. "Itu namanya menelantarkan Kayla. Coba kamu pikir, kalau kita melarikan diri, bisa saja mereka akan mencabut alat-alat yang dibutuhkan Kayla untuk menyambung nyawanya. Seharusnya Kayla bisa selamat, tapi karena kebodohan kita nyawanya jadi melayang," kata Nabil memberikan argumen."Ya udah kalau gitu, aku mau melihat Kay
"Radit ... " gumam Nabil tak mampu menahan rasa yang kini bergejolak di hatinya."Iya, Bil, ini aku. Kayla sakit apa?" desak Radit dengan suara panik."Kayla sudah seminggu tidak sadar. Kamu di mana sekarang? Kemana aja? Tolong pulang sekarang!" Nabil melampiaskan emosinya yang meluap-luap pada Radit."Tidak sadar?""Iya, Dit. Bahkan ini lebih dari tidak sadar. Kayla koma. Dan sebentar lagi menuju titik.""Bil, Nabil, tolong jangan main-main. Jangan becanda, Bil, ini nggak lucu.""Aku nggak lagi becanda atau main-main, Dit. Kayla mencoba bunuh diri gara-gara kamu tinggalin! Sekarang ada di ruang ICU rumah sakit Nusantara," Nabil mengatakan dengan suara keras. Ia betul-betul geram karena Radit menganggapnya tidak serius.Nabil baru menyadari kalau sambungan telepon sudah terputus ketika mendengar bunyi tut ... tut ... tut ..."Radit!!!! Radit!!!! Radit!!!!" panggil Nabil berulang kali tapi tidak ada jawaban karena telepon sudah terputus.Nabil meredial nomor Radit, tapi sudah tidak bis
Radit melangkah gemetar memasuki ruang ICU. Kakinya yang goyah tak lagi kuasa menopang tubuhnya yang terasa lunglai. Di sana, Kayla terbaring lemah atau lebih tepatnya terbujur kaku. Hati Radit teriris melihat berbagai peralatan medis yang terpasang di tubuh Kayla."Sayang ... aku datang," ucap Radit dengan bibir bergetar, lalu menciumi pipi Kayla. Air matanya kembali tumpah, tidak sanggup lagi menahan kesedihan dan rasa bersalah yang tak berkesudahan.Begitu lama Radit menempelkan pipinya di muka Kayla. Penyesalan yang kini semakin mencuat membuatnya terbunuh rasa bersalah. Andai saja waktu itu dia tidak pergi mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin semua akan baik-baik saja dan mereka masih bahagia.Radit mengangkat mukanya dari wajah Kayla ketika merasa sudah terlalu lama berada di sana. Ia beralih menggenggam tangan Kayla yang sedingin es. Ditatapnya wajah istrinya dengan pandangan buram karena tertutupi air matanya sendiri."Sayang, tolong maafkan aku. Aku nggak pernah meny
Radit keluar dari parkiran rumah sakit dan hampir saja menabrak mobil yang baru masuk dari luar. Ternyata ia salah jalur. Seharusnya tadi ia mengambil jalur sebelah kiri, bukan sebelah kanan. Terdengar umpatan keras dari pengemudi mobil yang hampir ia tabrak, tapi Radit tidak memedulikannya. Tujuannya sekarang hanya satu.***Radit memasuki sebuah komplek perumahan. Setelah meninggalkan kartu pengenal di pos sekuriti, ia melanjutkan perjalanan. Radit berhenti di depan sebuah rumah bergaya mediterania. Ia menimbang-nimbang sekali lagi sebelum turun dari mobil. Apakah tindakannya ini benar atau salah.Setelah membulatkan tekad, Radit memilih turun. Tapi sebuah mobil yang berhenti dibelakangnya membuat niat itu tertunda.Seorang laki-laki muda. Ryo. Dia terlihat heran saat ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan menghalangi untuk masuk.Radit pun turun dari mobil saat laki-laki itu mengetuk kaca mobilnya."Radit!" ucapnya terkejut, tak menyangka kalau Radit yang berada di dalam mob
Radit menggeliat, dan hampir saja ia jatuh ke lantai kalau tidak menyadari saat ini ia tidur di kursi ruang tunggu bukannya di tempat tidur. Seluruh badannya terasa pegal, terlebih bagian belakang.Seorang perawat masuk ke ruang ICU menggantikan perawat lain yang semalam bertugas menjaga Kayla.Radit melangkah pelan dan kembali melihat Kayla dari luar. "Sayang .... kenapa kamu belum bangun? ini sudah pagi.""Radit!"Radit menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata Nabil. Dan sepagi ini dia sudah ada disini."Kamu nggak kerja?" tanya Radit melihat Nabil yang hanya mengenakan baju biasa."Ini kan hari minggu," kata Nabil mengingatkan. Ia melihat gurat-gurat kekhawatiran terukir di wajah lelah Radit.Radit tertegun sejenak, "Oh iya, aku lupa," ucapnya kemudian. Bahkan saat ini ia sudah tidak bisa lagi membedakan hari."Aku bawa ini, Dit," kata Nabil sambil memberikan sebuah kantong hitam berukuran besar pada Radit.Radit menerima dan melihat isinya. Ada handuk, perlengkapan
Perlahan, Kayla membuka matanya. Ia tidak melihat apapun. Semuanya nampak buram. Namun kemudian, sedikit demi sedikit ia mulai bisa melihat keadaan di sekelilingnya walau masih belum terlalu jelas.Begitu banyak orang yang mengelilinginya. Ada yang berbaju putih, juga berbaju hijau. Kayla tidak megenal siapa mereka. Kayla ingin bertanya tapi hanya erangan kecil yang terdengar dari mulutnya. Ia belum mampu berkata."Ibu, sekarang Ibu sudah sadar. Apa yang Ibu rasakan sekarang?" Seorang laki-laki berbaju putih mengajaknya bicara.Kayla menggerakkan mulutnya dan mencoba untuk bicara. Namun hanya sepotong kata yang keluar. "Alan."Dokter dan tenaga medis lainnya saling berpandangan. Mengira-ngira apa atau siapa yang dimaksudkan oleh Kayla."Alan?" ulang dokter.Kayla mengiyakan dengan gerakan mata.Dokter kemudian memandang perawat yang kebagian tugas menjaga Kayla dan berkata padanya, "Sus, mungkin yang dia maksudkan adalah suaminya. Tolong suruh dia masuk.""Baik, Dok," jawab perawat la
Kayla ditangani oleh tim dokter yang terdiri dari dokter jiwa, dokter saraf dan juga dokter bedah.Saat ini Radit dan Nabil sedang berhadapan dengan dokter spesialis kejiwaan yang akan memberikan keterangan pada mereka mengenai kondisi Kayla.Dokter mulai menjelaskan dari segi medis dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh orang awam. "Setelah beberapa pemeriksaan dan serangkaian tes pada Ibu Mikayla, kami menyimpulkan kalau Ibu Mikayla mengalami memory repression atau repressed memory. Kita sebut saja namanya represi. Saat koma, seseorang akan masuk ke alam bawah sadarnya. Dan di alam bawah sadar itu ada yang namanya positif dan negatif. Pada Ibu Mikayla hal-hal positif lebih mendominasi daripada hal-hal negatif. Sehingga dia hanya mengingat hal-hal positif yang pernah ada dan terjadi dalam hidupnya dan melupakan hal-hal negatif karena itu sakit menyakitkan baginya. Jadi saat ini dia hanya mengingat memori secara mundur, sepuluh atau lima belas tahun ke belakang. Karena pada masa-masa
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat