Perlahan, Kayla membuka matanya. Ia tidak melihat apapun. Semuanya nampak buram. Namun kemudian, sedikit demi sedikit ia mulai bisa melihat keadaan di sekelilingnya walau masih belum terlalu jelas.Begitu banyak orang yang mengelilinginya. Ada yang berbaju putih, juga berbaju hijau. Kayla tidak megenal siapa mereka. Kayla ingin bertanya tapi hanya erangan kecil yang terdengar dari mulutnya. Ia belum mampu berkata."Ibu, sekarang Ibu sudah sadar. Apa yang Ibu rasakan sekarang?" Seorang laki-laki berbaju putih mengajaknya bicara.Kayla menggerakkan mulutnya dan mencoba untuk bicara. Namun hanya sepotong kata yang keluar. "Alan."Dokter dan tenaga medis lainnya saling berpandangan. Mengira-ngira apa atau siapa yang dimaksudkan oleh Kayla."Alan?" ulang dokter.Kayla mengiyakan dengan gerakan mata.Dokter kemudian memandang perawat yang kebagian tugas menjaga Kayla dan berkata padanya, "Sus, mungkin yang dia maksudkan adalah suaminya. Tolong suruh dia masuk.""Baik, Dok," jawab perawat la
Kayla ditangani oleh tim dokter yang terdiri dari dokter jiwa, dokter saraf dan juga dokter bedah.Saat ini Radit dan Nabil sedang berhadapan dengan dokter spesialis kejiwaan yang akan memberikan keterangan pada mereka mengenai kondisi Kayla.Dokter mulai menjelaskan dari segi medis dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh orang awam. "Setelah beberapa pemeriksaan dan serangkaian tes pada Ibu Mikayla, kami menyimpulkan kalau Ibu Mikayla mengalami memory repression atau repressed memory. Kita sebut saja namanya represi. Saat koma, seseorang akan masuk ke alam bawah sadarnya. Dan di alam bawah sadar itu ada yang namanya positif dan negatif. Pada Ibu Mikayla hal-hal positif lebih mendominasi daripada hal-hal negatif. Sehingga dia hanya mengingat hal-hal positif yang pernah ada dan terjadi dalam hidupnya dan melupakan hal-hal negatif karena itu sakit menyakitkan baginya. Jadi saat ini dia hanya mengingat memori secara mundur, sepuluh atau lima belas tahun ke belakang. Karena pada masa-masa
Radit sudah kembali berada di ruangan dokter Alya, dokter spesialis kejiwaan. Di sampingnya Nabil nampak tegang. Entah apa isi pembicaraan mereka selama dia diluar tadi."Oke, Pak Radit. Tadi Pak Nabil sudah menceritakan semuanya tentang kehidupannya pasca menikah dengan Ibu Mikayla. Sekarang saya ingin mendengar dari Bapak. Tolong ceritakan bagaimana awalnya sampai Bapak bertemu dengan Ibu Mikayla kembali?"Radit melirik Nabil sekilas. Ia merasa kurang nyaman bercerita jika Nabil ikut mendengarkannya."Apa aku perlu ke luar dulu, Dit?" Nabil bertanya bagai ikut merasakan perasaan Radit.Radit sebenarnya ingin mengiyakan, tapi dokter keburu bicara, meminta Nabil agar tetap berada di tempatnya."Silahkan, Pak," kata dokter meminta Radit agar kembali bercerita.Radit mengatur perasaannya yang sedari tadi tidak menentu.Ia takut Nabil kembali terluka setelah mendengarkan penjelasannya."Setelah dua tahun, saya kembali pulang kesini. Saya mencari Kayla ke mana-mana, tapi tidak menemukanny
Radit menarik tangan Nabil dan mengajaknya menjauh dari Kayla. "Tolong jangan aneh-aneh, Bil," ujarnya setengah berbisik."Dit, tolong kamu mengerti dan tahan perasaan dulu ya. Semua demi kesembuhan Kayla," kata Nabil mencoba memberi pengertian."Dengan cara membiarkannya bersama orang lain dan melupakanku? Begitu?" kata Radit tidak terima.Nabil menghela napas. Ia mengerti perasaan Radit. Semua ini pasti berat baginya. Tapi tidak ada jalan lain. Mereka harus menjalani skenario yang sudah ditulis tuhan.Nabil kembali mendekati Kayla dan mengajaknya bicara. "Kayla, boleh saya tahu Alan itu siapa?" tanya Nabil hati-hati. Ia tahu pendekatan personal seperti inilah cara terbaik untuk mendekati Kayla.Kayla menatap Nabil. Wajahnya menenangkan, matanya meneduhkan. Sangat berbeda dengan laki-laki yang kini sedang berdiri dan memandangnya tajam. Laki-laki yang mengaku-ngaku sebagai suaminya. Dia terlalu agresif, hingga membuatnya ketakutan."Nabil, bisa suruh dia keluar? Aku merasa kurang ny
"Cakep banget," kata Nina berbisik pada Kayla. Sepasang matanya memandang Fabian penuh kekaguman.Kayla menyikut lengan Nina, memberi isyarat bahwa mereka sedang duduk paling depan. Bisasaja sikapnya itu menarik perhatian sang asisten.Fabian pun mulai membawakan materi matematika. Lebih tepatnya matematika bisnis, sebagai mata kuliah wajib untuk mahasiswa semester awal. Fabian membawakannya dengan cara berbeda. Menarik dan tidak membosankan. Sangat kontras dengan dosen aslinya yang menyajikan materi tanpa inovasi dan membuat kebanyakan mahasiswa menguap."Nina!" Kayla menyikut Nina yang sedari tadi bukannya memperhatikan materi yang dibawakan, malah fokus pada si pemateri.Nina segera sadar dan mengalihkan pandangan dari Fabian. Ia mencoba membangun konsentrasi penuh. Matematika adalah pelajaran yang tidak disukainya, ditambah lagi kata bisnis dibelakangnya. Mumet.Lima belas menit sebelum kuliah berakhir, Fabian mengambil absen. Tindakannya itu begitu berbeda dengan kebiasaan dosen
"Kayaknya aku pernah dengar ada orang yang mengatakan kalimat itu," gumam Kayla pelan."Siapa?" kejar Radit cepat. Sepertinya usahanya mulai menampakkan hasil.Kayla memegang kepalanya yang mulai terasa sakit. Perlahan, bayangan seorang laki-laki dan seorang perempuan melintas di depan matanya. Seperti pasangan kekasih atau mungkin pasangan suami istri. Mereka begitu mesra dan terlihat bahagia."Kayla, cepat katakan siapa yang mengatakannya dan kamu dengar di mana?" desak Radit tidak sabar."Aku pernah melihat dan mendengarnya dari televisi, di sebuah drama korea."Jawaban polos Kayla sukses membuat Radit lemas. Meleset, ternyata jauh dari bayangannya."Oke Kayla, satu pertanyaan lagi. Apakah ada orang yang memanggil kamu dengan sebutan yang atau sayang?""Ada.""Siapa?" Radit bertambah penasaran dan tidak sabar. Ia yakin pasti dirinyalah yang dimaksudkan Kayla.Kayla tersenyum simpul. Hatinya berbunga-bunga mengingat seseorang yang memanggil namanya dengan panggilan mesra."Kayla, si
Kayla baru saja akan mengetuk pintu, namun pintu berwarna coklat tua itu keburu dibuka dari dalam. Seraut wajah dengan sepasang mata teduh menyembul keluar."Kenapa baru pulang?" tanyanya. Raut wajahnya yang mulai keriput tidak bisa menyembunyikan rasa cemas."Aku lembur, Yah," jawab Kayla sembari melirik jam dinding. Sudah hampir jam 11 malam, wajar jika Ayah mengkhawatirkannya."Diantar laki-laki itu lagi?"Langkah Kayla menuju kamar terhenti mendengar pertanyaan Ayah."Namanya Radit, Yah," jawab Kayla kurang senang.Ayah memang tidak menyukai Radit. Dan selalu menyebutnya dengan sebutan 'laki-laki itu'. Radit, laki-laki berkulit terang itu adalah kekasih Kayla. Dia berperawakan tinggi, berbadan tegap dan berwajah tampan sedikit kebulean. Radit juga lulusan universitas ternama di luar negeri. Namun entah apa kurangnya Radit di mata Ayah."Nanti kamu bisa cepat pulang kan?" tanya Ayah ketika keesokan paginya mereka sarapan bersama."Hmmm... kayaknya aku nggak bisa, Yah," jawab Kayla
Hampir enam bulan sejak kepergian Radit. Hari-hari terasa lama berlalu. Waktu berputar lebih lambat dari semestinya. Kayla merasa hatinya hampa. Apa pun yang dilakukan terasa sangat menjemukan. Dia kehilangan gairah untuk hidup."Kamu harus move on, Kay," ujar Nadin pada suatu hari."Aku nggak bisa, Nad. Tidak ada yang bisa menggantikan Radit disini," lirih Kayla berkata seraya menunjuk dadanya."Sudah cukup. Sudah terlalu lama. Hentikan kebodohan itu, Kay!""Aku memang bodoh. Sangat bodoh. Mencintai orang yang mungkin tidak menginginkanku. Aku..." Kayla tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca, dan tidak lama bendungan itu bobol. Air bening mulai terjun bebas, membasahi pipinya yang tirus.Setiap hal tentang Radit selalu mengundang air matanya.Nadin mengusap-usap punggung Kayla. Dia ikut merasakan kesedihan sahabatnya itu. Kayla sangat mencintai Radit dengan tulus. Cintanya pada lelaki itu sangat besar. Tak tergambar dan tak bisa dibandingkan, bahkan dengan cinta Ju
"Kayaknya aku pernah dengar ada orang yang mengatakan kalimat itu," gumam Kayla pelan."Siapa?" kejar Radit cepat. Sepertinya usahanya mulai menampakkan hasil.Kayla memegang kepalanya yang mulai terasa sakit. Perlahan, bayangan seorang laki-laki dan seorang perempuan melintas di depan matanya. Seperti pasangan kekasih atau mungkin pasangan suami istri. Mereka begitu mesra dan terlihat bahagia."Kayla, cepat katakan siapa yang mengatakannya dan kamu dengar di mana?" desak Radit tidak sabar."Aku pernah melihat dan mendengarnya dari televisi, di sebuah drama korea."Jawaban polos Kayla sukses membuat Radit lemas. Meleset, ternyata jauh dari bayangannya."Oke Kayla, satu pertanyaan lagi. Apakah ada orang yang memanggil kamu dengan sebutan yang atau sayang?""Ada.""Siapa?" Radit bertambah penasaran dan tidak sabar. Ia yakin pasti dirinyalah yang dimaksudkan Kayla.Kayla tersenyum simpul. Hatinya berbunga-bunga mengingat seseorang yang memanggil namanya dengan panggilan mesra."Kayla, si
"Cakep banget," kata Nina berbisik pada Kayla. Sepasang matanya memandang Fabian penuh kekaguman.Kayla menyikut lengan Nina, memberi isyarat bahwa mereka sedang duduk paling depan. Bisasaja sikapnya itu menarik perhatian sang asisten.Fabian pun mulai membawakan materi matematika. Lebih tepatnya matematika bisnis, sebagai mata kuliah wajib untuk mahasiswa semester awal. Fabian membawakannya dengan cara berbeda. Menarik dan tidak membosankan. Sangat kontras dengan dosen aslinya yang menyajikan materi tanpa inovasi dan membuat kebanyakan mahasiswa menguap."Nina!" Kayla menyikut Nina yang sedari tadi bukannya memperhatikan materi yang dibawakan, malah fokus pada si pemateri.Nina segera sadar dan mengalihkan pandangan dari Fabian. Ia mencoba membangun konsentrasi penuh. Matematika adalah pelajaran yang tidak disukainya, ditambah lagi kata bisnis dibelakangnya. Mumet.Lima belas menit sebelum kuliah berakhir, Fabian mengambil absen. Tindakannya itu begitu berbeda dengan kebiasaan dosen
Radit menarik tangan Nabil dan mengajaknya menjauh dari Kayla. "Tolong jangan aneh-aneh, Bil," ujarnya setengah berbisik."Dit, tolong kamu mengerti dan tahan perasaan dulu ya. Semua demi kesembuhan Kayla," kata Nabil mencoba memberi pengertian."Dengan cara membiarkannya bersama orang lain dan melupakanku? Begitu?" kata Radit tidak terima.Nabil menghela napas. Ia mengerti perasaan Radit. Semua ini pasti berat baginya. Tapi tidak ada jalan lain. Mereka harus menjalani skenario yang sudah ditulis tuhan.Nabil kembali mendekati Kayla dan mengajaknya bicara. "Kayla, boleh saya tahu Alan itu siapa?" tanya Nabil hati-hati. Ia tahu pendekatan personal seperti inilah cara terbaik untuk mendekati Kayla.Kayla menatap Nabil. Wajahnya menenangkan, matanya meneduhkan. Sangat berbeda dengan laki-laki yang kini sedang berdiri dan memandangnya tajam. Laki-laki yang mengaku-ngaku sebagai suaminya. Dia terlalu agresif, hingga membuatnya ketakutan."Nabil, bisa suruh dia keluar? Aku merasa kurang ny
Radit sudah kembali berada di ruangan dokter Alya, dokter spesialis kejiwaan. Di sampingnya Nabil nampak tegang. Entah apa isi pembicaraan mereka selama dia diluar tadi."Oke, Pak Radit. Tadi Pak Nabil sudah menceritakan semuanya tentang kehidupannya pasca menikah dengan Ibu Mikayla. Sekarang saya ingin mendengar dari Bapak. Tolong ceritakan bagaimana awalnya sampai Bapak bertemu dengan Ibu Mikayla kembali?"Radit melirik Nabil sekilas. Ia merasa kurang nyaman bercerita jika Nabil ikut mendengarkannya."Apa aku perlu ke luar dulu, Dit?" Nabil bertanya bagai ikut merasakan perasaan Radit.Radit sebenarnya ingin mengiyakan, tapi dokter keburu bicara, meminta Nabil agar tetap berada di tempatnya."Silahkan, Pak," kata dokter meminta Radit agar kembali bercerita.Radit mengatur perasaannya yang sedari tadi tidak menentu.Ia takut Nabil kembali terluka setelah mendengarkan penjelasannya."Setelah dua tahun, saya kembali pulang kesini. Saya mencari Kayla ke mana-mana, tapi tidak menemukanny
Kayla ditangani oleh tim dokter yang terdiri dari dokter jiwa, dokter saraf dan juga dokter bedah.Saat ini Radit dan Nabil sedang berhadapan dengan dokter spesialis kejiwaan yang akan memberikan keterangan pada mereka mengenai kondisi Kayla.Dokter mulai menjelaskan dari segi medis dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh orang awam. "Setelah beberapa pemeriksaan dan serangkaian tes pada Ibu Mikayla, kami menyimpulkan kalau Ibu Mikayla mengalami memory repression atau repressed memory. Kita sebut saja namanya represi. Saat koma, seseorang akan masuk ke alam bawah sadarnya. Dan di alam bawah sadar itu ada yang namanya positif dan negatif. Pada Ibu Mikayla hal-hal positif lebih mendominasi daripada hal-hal negatif. Sehingga dia hanya mengingat hal-hal positif yang pernah ada dan terjadi dalam hidupnya dan melupakan hal-hal negatif karena itu sakit menyakitkan baginya. Jadi saat ini dia hanya mengingat memori secara mundur, sepuluh atau lima belas tahun ke belakang. Karena pada masa-masa
Perlahan, Kayla membuka matanya. Ia tidak melihat apapun. Semuanya nampak buram. Namun kemudian, sedikit demi sedikit ia mulai bisa melihat keadaan di sekelilingnya walau masih belum terlalu jelas.Begitu banyak orang yang mengelilinginya. Ada yang berbaju putih, juga berbaju hijau. Kayla tidak megenal siapa mereka. Kayla ingin bertanya tapi hanya erangan kecil yang terdengar dari mulutnya. Ia belum mampu berkata."Ibu, sekarang Ibu sudah sadar. Apa yang Ibu rasakan sekarang?" Seorang laki-laki berbaju putih mengajaknya bicara.Kayla menggerakkan mulutnya dan mencoba untuk bicara. Namun hanya sepotong kata yang keluar. "Alan."Dokter dan tenaga medis lainnya saling berpandangan. Mengira-ngira apa atau siapa yang dimaksudkan oleh Kayla."Alan?" ulang dokter.Kayla mengiyakan dengan gerakan mata.Dokter kemudian memandang perawat yang kebagian tugas menjaga Kayla dan berkata padanya, "Sus, mungkin yang dia maksudkan adalah suaminya. Tolong suruh dia masuk.""Baik, Dok," jawab perawat la
Radit menggeliat, dan hampir saja ia jatuh ke lantai kalau tidak menyadari saat ini ia tidur di kursi ruang tunggu bukannya di tempat tidur. Seluruh badannya terasa pegal, terlebih bagian belakang.Seorang perawat masuk ke ruang ICU menggantikan perawat lain yang semalam bertugas menjaga Kayla.Radit melangkah pelan dan kembali melihat Kayla dari luar. "Sayang .... kenapa kamu belum bangun? ini sudah pagi.""Radit!"Radit menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata Nabil. Dan sepagi ini dia sudah ada disini."Kamu nggak kerja?" tanya Radit melihat Nabil yang hanya mengenakan baju biasa."Ini kan hari minggu," kata Nabil mengingatkan. Ia melihat gurat-gurat kekhawatiran terukir di wajah lelah Radit.Radit tertegun sejenak, "Oh iya, aku lupa," ucapnya kemudian. Bahkan saat ini ia sudah tidak bisa lagi membedakan hari."Aku bawa ini, Dit," kata Nabil sambil memberikan sebuah kantong hitam berukuran besar pada Radit.Radit menerima dan melihat isinya. Ada handuk, perlengkapan
Radit keluar dari parkiran rumah sakit dan hampir saja menabrak mobil yang baru masuk dari luar. Ternyata ia salah jalur. Seharusnya tadi ia mengambil jalur sebelah kiri, bukan sebelah kanan. Terdengar umpatan keras dari pengemudi mobil yang hampir ia tabrak, tapi Radit tidak memedulikannya. Tujuannya sekarang hanya satu.***Radit memasuki sebuah komplek perumahan. Setelah meninggalkan kartu pengenal di pos sekuriti, ia melanjutkan perjalanan. Radit berhenti di depan sebuah rumah bergaya mediterania. Ia menimbang-nimbang sekali lagi sebelum turun dari mobil. Apakah tindakannya ini benar atau salah.Setelah membulatkan tekad, Radit memilih turun. Tapi sebuah mobil yang berhenti dibelakangnya membuat niat itu tertunda.Seorang laki-laki muda. Ryo. Dia terlihat heran saat ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan menghalangi untuk masuk.Radit pun turun dari mobil saat laki-laki itu mengetuk kaca mobilnya."Radit!" ucapnya terkejut, tak menyangka kalau Radit yang berada di dalam mob
Radit melangkah gemetar memasuki ruang ICU. Kakinya yang goyah tak lagi kuasa menopang tubuhnya yang terasa lunglai. Di sana, Kayla terbaring lemah atau lebih tepatnya terbujur kaku. Hati Radit teriris melihat berbagai peralatan medis yang terpasang di tubuh Kayla."Sayang ... aku datang," ucap Radit dengan bibir bergetar, lalu menciumi pipi Kayla. Air matanya kembali tumpah, tidak sanggup lagi menahan kesedihan dan rasa bersalah yang tak berkesudahan.Begitu lama Radit menempelkan pipinya di muka Kayla. Penyesalan yang kini semakin mencuat membuatnya terbunuh rasa bersalah. Andai saja waktu itu dia tidak pergi mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin semua akan baik-baik saja dan mereka masih bahagia.Radit mengangkat mukanya dari wajah Kayla ketika merasa sudah terlalu lama berada di sana. Ia beralih menggenggam tangan Kayla yang sedingin es. Ditatapnya wajah istrinya dengan pandangan buram karena tertutupi air matanya sendiri."Sayang, tolong maafkan aku. Aku nggak pernah meny