Akhirnya paket yang dikirimkan Nabil sampai juga. Paket itu terdiri dari tiga buah box besar seukuran kotak televisi tabung 29". Dea membuka isinya dan mengeluarkan satu persatu. Semua pakaiannya ada di sana. Juga tas, sepatu, sandal, dokumen dan yang lainnya. Tapi Dea tidak menemukan dress tosca kesayangannya. Apa Nabil lupa memasukkannya? Tosca adalah warna kesukaannya. Dalam psikologi, warna tosca melambangkan keseimbangan emosional, ketenangan, dan kesabaran. Dea berharap filosofi positif itu bisa menular padanya. Tapi nyatanya ia masih bermasalah dengan tiga elemen tersebut. Emosinya masih suka meledak-ledak. Dirinya masih suka panik dan jauh dari kata tenang dalam menghadapi masalah. Yang terakhir, kesabarannya begitu mudah tergerus oleh hal-hal kecil sekalipun.Dea memalingkan muka dan tak berminat lagi melihat barang-barang yang sekarang berserakan memenuhi lantai kamarnya. Jelas sudah semuanya kini. Daripada terus meratap dan menyesali diri better ia bangkit dan melanjutkan
Hari kedua di Bali.Dari tadi Radit berbaring resah di atas tempat tidur, tapi matanya tak ingin terpejam. Suara debur ombak yang menenangkan tak mampu membuatnya terlelap. Hotel tempat Radit menginap sekaligus training diselenggarakan memang terletak di dekat pantai. Sambil mengerang putus asa, Radit menendang selimut hingga tersingkir dari tubuhnya, kemudian beranjak menjauhi tempat tidur. Sia-sia ia memaksakan diri untuk tidur jika pada dasarnya keinginannya tidak sinkron dengan matanya.Radit mengganti celana pendek yang dipakainya dengan celana jeans dan T-shirt, serta jaket, lalu keluar dari kamar. Radit meninggalkan hotel, ia melintasi kolam renang yang sepi. Kedua kakinya membawa langkahnya ke pantai.Terpaan angin malam membuatnya kedinginan meski ia sudah memakai jaket. Radit melipat kedua tangannya di depan dada, berusaha menghangatkan tubuhnya, walau ia tahu hal itu sia-sia, namun ia tidak mau kembali ke hotel. Ia terus berjalan sampai ke tepi pantai. Air yang pasang membu
Seperti yang sudah-sudah, hari ini Kayla kembali disibukkan dengan rutinitasnya sebagai kasir di sebuah hypermarket. Untungnya dalam seminggu ini ia selalu kebagian shift pagi, yang berarti ia tidak akan pulang malam. Masalahnya tidak ada Radit. Jika pulang malam Kayla merasa was-was melewati jalan menuju rumah mereka yang kecil dan sepi.Kayla terlalu serius dengan antrian pembeli yang membludak sehingga ia tidak memperhatikan ada seraut wajah familliar di antara mereka. Pemilik wajah itu memperhatikan gerak-gerik Kayla yang sedang menghitung belanjaannya dengan senyum yang tak lepas menghiasi bibir.Kayla baru sadar siapa konsumennya begitu menerima uang belanjaan.Alan."Pulang jam berapa?" tanya laki-laki itu pada Kayla."Jam enam," Kayla menjawab seraya memberikan kantong belanjaan Alan dan mengembalikan sisa uangnya. "Terima kasih, semoga datang kembali," ujar Kayla sama seperti yang ia lakukan kepada para pembeli lainnya.Alan tersenyum, lalu pergi, menghilang di antara puluhan
Sudah beberapa hari ini Nabil tidak lagi mendengar kabar Dea.Dea tidak pernah lagi menguhubungi sejak Nabil mengirimkan barang-barangnya.Mungkin dia lelah karena usahanya meluluhkan Nabil tidak berhasil. Dan, sejak hidup sendiri Nabil lebih banyak menghabiskan waktu diluar. Ia menghabiskan waktu dengan mengisinya dengan hal-hal positif, seperti ikut komunitas-komunitas yang berkaitan dengan dunia olahraga. Nabil memang pecinta berat olahraga. Selain rutin bermain futsal setiap hari minggu, sekarang Nabil juga mulai mengikuti dan bergabung dalam komunitas olahraga lari yang menjadi primadona dewasa ini.Bukan apa-apa, sendirian berada di rumah membuatnya selalu ingat pada Dea. Mungkin akan lebih baik jika mengalihkan waktu dan pikirannya pada hal-hal yang jauh lebih bermanfaat.Dan malam ini Nabil baru kembali dari komunitas yang diikutinya.Nabil membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Lemari tiga pintu itu kini sudah menyisakan banyak ruang karena tidak ada lagi baju-baju De
Usai maghrib Nabil berangkat ke bandara.Dari jauh Nabil sudah melihat Radit berjalan ke arahnya bersama Putri. Wajah keduanya terlihat lelah. Mungkin akibat penerbangan panjang yang mereka tempuh.Nabil memberi isyarat pada Radit agar duduk di depan bersamanya. Tapi Radit mengabaikan kode itu, dan berpura-pura tidak mengerti. Putri pun kelihatannya juga canggung. Tapi apa boleh buat, Radit sepertinya serius ingin mendekatkannya dengan Nabil.Nabil sendiri merasa canggung. Ia tidak tahu harus mulai percakapan dari mana. "Apa kabar, Put?" Akhirnya itu kalimat pertama yang lolos keluar dari mulutnya."Baik," jawab Putri kaku menanggapi pertanyaan basa-basi itu."Gimana training-nya?" lanjut Nabil."Seru sih. Dapet ilmu, pengalaman, dan juga temen-temen dari berbagai daerah," jawab Putri sambil membayangkan masa-masa yang telah dilewatinya. "Dapet kenanagan juga," sambungnya lagi."Kenangan indah pastinya kan?" timpal Nabil sambil tersenyum."Iya, Bil. indah banget," gumam Putri. Bibirny
Saat ini Nabil hanya tinggal berdua dengan Putri setelah mengantar Radit ke rumahnya tadi. Putri tidak banyak bicara, begitu pun Nabil.Untung mengusir kekakuan Nabil menyalakan radio mobil dan mencari-cari frekwensi. Tuhan sepertinya hanya membolehkan mereka mendengarkan yang indah-indah malam ini. Karena setiap Nabil berganti saluran, hanya ada lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu, membangun suasana melow di antara mereka."Yang ini aja, Bil," kata Putri saat mendengar Mantan Terindah-nya Raisa.Nabil menghela nafas berat. Lagu ini yang tak ingin didengarkannya saat ini tapi terpaka harus ia simak.“Aku suka banget lagu ini,” celetuk Putri tiba-tiba. Ia merasa kesulitan membangun percakapan dengan pria irit bicara di sebelahnya. Dan satu-satunya tema yang bisa memancing mungkin lagu sejuta makna ini.“Aku nggak suka,” balas Nabil. Saat mendengar liriknya ia merasa sedang dihakimi.“Kenapa?” lirik Putri pada Nabil yang sedang menyetir dan memandang lurus ke depan. “Padahal maknanya dale
Sudah dua hari ini Dea sakit. Badannya panas, ia sering menggigau memanggil nama Nabil. Seluruh isi rumah mencemaskan keadaan Dea. Apalagi ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Ibu, Ayah, serta Dion sudah berusaha membujuknya, namun Dea masih keras kepala. Ia menganggap hanya sakit biasa dan tidak perlu penanganan lebih lanjut. Ketiganya memandang Dea dengan sedih apalagi saat Dea terus memanggil nama Nabil dalam tidurnya."Kasihan Dea ya, Yah," ucap ibu dengan raut wajah sedih pada ayah Dea. "Sepertinya Dea cinta banget sama Nabil."Ayah tidak menjawab. Perasaannya gundah luar biasa. Di usianya yang sudah senja ia masih dipaksa berpikir untuk kebahagiaan anak perempuan satu-satunya."Gimana kalo kita suruh Nabil kesini, Yah? ujar ibu meminta persetujuan ayah.Dion yang sedari tadi hanya diam langsung merespon. "Aku nggak setuju, Bu, sebaiknya jangan," tolaknya keras."Tapi kakakmu butuh suaminya," timpal ibu bersikukuh."Masalahnya si Nabil yang nggak jelas itu udah nggak cinta lagi sa
"Yang tadi nelfon mertuaku, Dit," kata Nabil memberitahu sebelum Radit bertanya. "Dia bilang Dea lagi sakit, terus dia minta aku datang ke sana.""Terus?""Aku belum bisa pastiin. Menurut kamu gimana, Dit?" Nabil meminta pendapat Radit. Siapa tahu saran positif darinya bisa jadi bahan pertimbangannya."Bukannya kalian udah pisah?""Iya sih.""Tapi?"Ya gitu.""Ya gitu apa? Masih sayang?""Dikit," jawab Nabil dengan suara hampir tak terdengar telinga normal."Kalo gitu coba tanya lagi hatimu maunya gimana.""Aku maunya nggak usah ke sana, Dit. Tapi masalahnya yang minta aku datang ibunya Dea. Kalo yang minta Dea, aku pastiin 100% nggak akan ke sana. Tapi kalau ibunya. Ahh ... berat, Dit.""Beratnya di mana, Bil?""Masalahnya itu adalah permintaan orang tua. Dan aku sangat menghargai yang namanya orang tua. Bagiku ibunya Dea adalah ibuku juga."Dalam hati Radit merasa tersentil oleh ucapan Nabil. Ia ingat kelakuannya pada papa dulu. Bahkan rasanya permohonan maafnya pada papa belum sep
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes