Sudah dua hari ini Dea sakit. Badannya panas, ia sering menggigau memanggil nama Nabil. Seluruh isi rumah mencemaskan keadaan Dea. Apalagi ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Ibu, Ayah, serta Dion sudah berusaha membujuknya, namun Dea masih keras kepala. Ia menganggap hanya sakit biasa dan tidak perlu penanganan lebih lanjut. Ketiganya memandang Dea dengan sedih apalagi saat Dea terus memanggil nama Nabil dalam tidurnya."Kasihan Dea ya, Yah," ucap ibu dengan raut wajah sedih pada ayah Dea. "Sepertinya Dea cinta banget sama Nabil."Ayah tidak menjawab. Perasaannya gundah luar biasa. Di usianya yang sudah senja ia masih dipaksa berpikir untuk kebahagiaan anak perempuan satu-satunya."Gimana kalo kita suruh Nabil kesini, Yah? ujar ibu meminta persetujuan ayah.Dion yang sedari tadi hanya diam langsung merespon. "Aku nggak setuju, Bu, sebaiknya jangan," tolaknya keras."Tapi kakakmu butuh suaminya," timpal ibu bersikukuh."Masalahnya si Nabil yang nggak jelas itu udah nggak cinta lagi sa
"Yang tadi nelfon mertuaku, Dit," kata Nabil memberitahu sebelum Radit bertanya. "Dia bilang Dea lagi sakit, terus dia minta aku datang ke sana.""Terus?""Aku belum bisa pastiin. Menurut kamu gimana, Dit?" Nabil meminta pendapat Radit. Siapa tahu saran positif darinya bisa jadi bahan pertimbangannya."Bukannya kalian udah pisah?""Iya sih.""Tapi?"Ya gitu.""Ya gitu apa? Masih sayang?""Dikit," jawab Nabil dengan suara hampir tak terdengar telinga normal."Kalo gitu coba tanya lagi hatimu maunya gimana.""Aku maunya nggak usah ke sana, Dit. Tapi masalahnya yang minta aku datang ibunya Dea. Kalo yang minta Dea, aku pastiin 100% nggak akan ke sana. Tapi kalau ibunya. Ahh ... berat, Dit.""Beratnya di mana, Bil?""Masalahnya itu adalah permintaan orang tua. Dan aku sangat menghargai yang namanya orang tua. Bagiku ibunya Dea adalah ibuku juga."Dalam hati Radit merasa tersentil oleh ucapan Nabil. Ia ingat kelakuannya pada papa dulu. Bahkan rasanya permohonan maafnya pada papa belum sep
Minggu pagi menjelang siang.Nabil sudah kembali berada di rumah. Ia sekarang sudah merasa lebih ringan karena semuanya sudah jelas dan tuntas. Walau demikian beragam perasaan bercampur baur mengaduk hatinya. Nabil bertanya pada dirinya sendiri, apa iya dirinya setega itu? Melihat Dea yang kemarin menangis-nangis rasanya Nabil tidak tega. Tapi ia harus tegas. Ia harus memegang teguh perkataannya. Mungkin ada yang mengira kalau ini hanya sekedar salah paham biasa. Tapi seperti yang dikatakannya sebelumnya, hubungannya dan Dea memang sudah tidak bisa dipaksakan karena sudah tidak ada lagi kecocokan satu sama lain. Jadi untuk apa gunanya dipertahankan?Sekarang adalah saatnya menata hati dan menatap lurus ke depan. Nabil tidak peduli apapun anggapan dan penilaian orang atas dua kali kegagalannya. Walau bagaimanapun ia tetap manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan.Orang pertama yang diberitahu Nabil adalah Radit. Nabil tidak ingin menyembunyikannya. Ia akan jujur dan memberitahu
Pulang dari mengantar Kayla, Radit tidak langsung ke rumah. Ia mampir di kantor untuk mengambil flashdisk yang ketinggalan. Ada beberapa data yang dibutuhkannya dalam flashdisk tersebut.Saat sampai di kantor Radit melihat mobil Putri ada di tempat parkir. Radit tidak tahu sedang apa Putri di kantor mereka hari minggu ini."Lembur ya, Put?" tanya Radit begitu masuk ke ruangan kerjanya dan menemukan Putri ada disana."Iya, Dit, nih masih banyak," jawab Putri sambil menunjuk berkas-berkas yang menggunung di atas mejanya. Hari jumat kemarin Alan memang memberinya setumpuk pekerjaan untuk diselesaikan secepat mungkin. Berhubung deadline-nya senin pagi besok, maka dengan terpaksa Putri mengorbankan me time-nya minggu ini untuk over time."Mau dibantuin?" Iseng-iseng Radit menawarkan diri, setelah mengambil flashdisknya di dalam laci.Siapa sangka Putri mengangguk menanggapi keisengannya itu.Radit menarik kursi dan menyalakan komputer. Ia memindahkan sebagian berkas yang ada di meja Putri
Hujan sudah reda ketika Kayla sampai di rumah. Kayla mengarahkan penglihatannya ke arah rumah. Tidak ada motor mereka disana. Berarti Radit belum pulang.Mungkin dia masih di jalan. Ya, kemungkinannya memang begitu."Makasih banyak ya, Lan," ucap Kayla sebelum turun dari mobil Alan."Sama-sama, Kay," jawab Alan mengembangkan senyum.Setelah Alan pergi, Kayla duduk sendiri di kursi plastik yang berada di teras. Ia tidak bisa masuk ke dalam rumah karena kunci rumah mereka dibawa Radit. Sebenarnya ada kunci cadangan lain, tapi Kayla lupa membawanya.Sampai setengah jam Kayla menunggu, Radit masih belum muncul. Berbagai pikiran mulai menguasai kepalanya. Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk pada Radit.Kayla mondar-mandir sendiri di teras rumah dengan perasan gelisah, sampai beberapa saat kemudian terdengar deru mesin motor yang semakin lama kian dekat,Rasa khawatir itu menjelma menjadi senyum lega ketika akhirnya Kayla mengetahui bahwa pengendara motor itu adalah suaminya."Yang, ta
Malamnya begitu sudah berada di rumah dan menyelesaikan makan malam mereka, Radit menyampaikan tawaran Alan tadi siang. Radit sengaja memilih momen yang pas untuk mengatakannya karena biasanya setelah perut kenyang pikiran pun tenang dan akan terbuka."Yang, jadi ceritanya, perusahaan tempat aku bekerja mau buka kantor cabang baru, trus aku ditawarin jadi branch manager. Menurut kamu gimana, Yang?""Bagus dong, Dit. Kamu hebat banget," kata Kayla menanggapi sekaligus memuji."Masalahnya tempatnya jauh, di Padang.""Padang?" Kayla mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk sambil membayangkan kota itu."Gimana menurut kamu?" Radit mengulangi lagi pertanyaannya yang belum terjawab."Nggak apa-apa, Dit, terima aja," jawab Kayla menanggapi. "Untuk sementara kita LDR-an," sambung Kayla lagi.Radit menatap Kayla lama. Itu bukan pilihan yang ia mau. Opsi itu tidak pernah diinginkannya di dalam hidup. Tidak mungkin ia meninggalkan Kayla sendiri disini karena ancaman sudah tersebar di setiap sudu
Masih percaya kalau ada orang yang mau melakukan apapun untuk cinta walaupun tidak bisa memilikinya?Percayalah. Hal itu masih ada, walau tidak banyak di dunia ini. Alan buktinya. Alan rela mengorbankan apapun demi kebahagiaan Kayla, meskipun ia tidak bisa memiliki perempuan itu. Dengan segala kelebihan yang dimilikinya Alan bisa saja merebut Kayla dari Radit. Apalagi menurut pengakuan Kayla ia tidak mencintai laki-laki itu. Tapi Alan bukanlah musuh dalam selimut yang akan menusuk dari belakang.***Kayla mengembangkan senyum saat memandang banner dan neon box bertuliskan "KAYRA BOUTIQUE" di hadapannya. Setelah melewati proses panjang, akhirnya kini ia memasuki sebuah dunia baru yang sebelumnya tidak pernah digelutinya.Semua berkat bantuan Alan. Alan yang memodalinya. Memberinya ruko untuk dijadikan Kayla sebagai tempat usaha. Kayla menjadikan lantai satu sebagai butik tempatnya menjual berbagai pakaian wanita kualitas premium, sama seperti yang dikunjunginya di mall bersama Alan wak
Sudah lama Radit tidak bertemu Nabil. Dan, pulang kerja sore ini entah apa yang mempengaruhinya sehingga keinginannya begitu kuat untuk mengunjungi kakaknya itu.Nabil tidak berada di rumah atau mungkin belum pulang ketika Radit sampai di rumahnya. Akan menjadi hal yang sia-sia jika setelah melalui perjalanan panjang dan berjuang melalui kecamaetan tapi ia tidak berhasil menemui Nabil.Radit duduk di kursi rotan yang berada di teras rumah Nabil. Sambil menunggu, Radit mengeluarkan ponsel dan memainkannya. Radit mengirimi Kayla pesan bahwa ia akan terlambat pulang.Bosan men-slide menu kanan kiri atas bawah, akhirnya Radit hanya bisa memandangi wajah Kayla yang ia jadikan wallpapaer di smartphonenya. Radit bersyukur di dalam hati. Kayla sangat lihai mengembangkan usahanya. Ternyata Kayla punya bakat jadi entrepreneur. Setiap hari ada saja pembeli di butik mereka. Meskipun bukan hari libur dan weekend, tapi tak pernah sepi pembeli. Iklan berbayar yang dipasang Kayla di sosmed berpengaru
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat