Saat ini Nabil hanya tinggal berdua dengan Putri setelah mengantar Radit ke rumahnya tadi. Putri tidak banyak bicara, begitu pun Nabil.Untung mengusir kekakuan Nabil menyalakan radio mobil dan mencari-cari frekwensi. Tuhan sepertinya hanya membolehkan mereka mendengarkan yang indah-indah malam ini. Karena setiap Nabil berganti saluran, hanya ada lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu, membangun suasana melow di antara mereka."Yang ini aja, Bil," kata Putri saat mendengar Mantan Terindah-nya Raisa.Nabil menghela nafas berat. Lagu ini yang tak ingin didengarkannya saat ini tapi terpaka harus ia simak.“Aku suka banget lagu ini,” celetuk Putri tiba-tiba. Ia merasa kesulitan membangun percakapan dengan pria irit bicara di sebelahnya. Dan satu-satunya tema yang bisa memancing mungkin lagu sejuta makna ini.“Aku nggak suka,” balas Nabil. Saat mendengar liriknya ia merasa sedang dihakimi.“Kenapa?” lirik Putri pada Nabil yang sedang menyetir dan memandang lurus ke depan. “Padahal maknanya dale
Sudah dua hari ini Dea sakit. Badannya panas, ia sering menggigau memanggil nama Nabil. Seluruh isi rumah mencemaskan keadaan Dea. Apalagi ia tidak mau dibawa ke rumah sakit. Ibu, Ayah, serta Dion sudah berusaha membujuknya, namun Dea masih keras kepala. Ia menganggap hanya sakit biasa dan tidak perlu penanganan lebih lanjut. Ketiganya memandang Dea dengan sedih apalagi saat Dea terus memanggil nama Nabil dalam tidurnya."Kasihan Dea ya, Yah," ucap ibu dengan raut wajah sedih pada ayah Dea. "Sepertinya Dea cinta banget sama Nabil."Ayah tidak menjawab. Perasaannya gundah luar biasa. Di usianya yang sudah senja ia masih dipaksa berpikir untuk kebahagiaan anak perempuan satu-satunya."Gimana kalo kita suruh Nabil kesini, Yah? ujar ibu meminta persetujuan ayah.Dion yang sedari tadi hanya diam langsung merespon. "Aku nggak setuju, Bu, sebaiknya jangan," tolaknya keras."Tapi kakakmu butuh suaminya," timpal ibu bersikukuh."Masalahnya si Nabil yang nggak jelas itu udah nggak cinta lagi sa
"Yang tadi nelfon mertuaku, Dit," kata Nabil memberitahu sebelum Radit bertanya. "Dia bilang Dea lagi sakit, terus dia minta aku datang ke sana.""Terus?""Aku belum bisa pastiin. Menurut kamu gimana, Dit?" Nabil meminta pendapat Radit. Siapa tahu saran positif darinya bisa jadi bahan pertimbangannya."Bukannya kalian udah pisah?""Iya sih.""Tapi?"Ya gitu.""Ya gitu apa? Masih sayang?""Dikit," jawab Nabil dengan suara hampir tak terdengar telinga normal."Kalo gitu coba tanya lagi hatimu maunya gimana.""Aku maunya nggak usah ke sana, Dit. Tapi masalahnya yang minta aku datang ibunya Dea. Kalo yang minta Dea, aku pastiin 100% nggak akan ke sana. Tapi kalau ibunya. Ahh ... berat, Dit.""Beratnya di mana, Bil?""Masalahnya itu adalah permintaan orang tua. Dan aku sangat menghargai yang namanya orang tua. Bagiku ibunya Dea adalah ibuku juga."Dalam hati Radit merasa tersentil oleh ucapan Nabil. Ia ingat kelakuannya pada papa dulu. Bahkan rasanya permohonan maafnya pada papa belum sep
Minggu pagi menjelang siang.Nabil sudah kembali berada di rumah. Ia sekarang sudah merasa lebih ringan karena semuanya sudah jelas dan tuntas. Walau demikian beragam perasaan bercampur baur mengaduk hatinya. Nabil bertanya pada dirinya sendiri, apa iya dirinya setega itu? Melihat Dea yang kemarin menangis-nangis rasanya Nabil tidak tega. Tapi ia harus tegas. Ia harus memegang teguh perkataannya. Mungkin ada yang mengira kalau ini hanya sekedar salah paham biasa. Tapi seperti yang dikatakannya sebelumnya, hubungannya dan Dea memang sudah tidak bisa dipaksakan karena sudah tidak ada lagi kecocokan satu sama lain. Jadi untuk apa gunanya dipertahankan?Sekarang adalah saatnya menata hati dan menatap lurus ke depan. Nabil tidak peduli apapun anggapan dan penilaian orang atas dua kali kegagalannya. Walau bagaimanapun ia tetap manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan.Orang pertama yang diberitahu Nabil adalah Radit. Nabil tidak ingin menyembunyikannya. Ia akan jujur dan memberitahu
Pulang dari mengantar Kayla, Radit tidak langsung ke rumah. Ia mampir di kantor untuk mengambil flashdisk yang ketinggalan. Ada beberapa data yang dibutuhkannya dalam flashdisk tersebut.Saat sampai di kantor Radit melihat mobil Putri ada di tempat parkir. Radit tidak tahu sedang apa Putri di kantor mereka hari minggu ini."Lembur ya, Put?" tanya Radit begitu masuk ke ruangan kerjanya dan menemukan Putri ada disana."Iya, Dit, nih masih banyak," jawab Putri sambil menunjuk berkas-berkas yang menggunung di atas mejanya. Hari jumat kemarin Alan memang memberinya setumpuk pekerjaan untuk diselesaikan secepat mungkin. Berhubung deadline-nya senin pagi besok, maka dengan terpaksa Putri mengorbankan me time-nya minggu ini untuk over time."Mau dibantuin?" Iseng-iseng Radit menawarkan diri, setelah mengambil flashdisknya di dalam laci.Siapa sangka Putri mengangguk menanggapi keisengannya itu.Radit menarik kursi dan menyalakan komputer. Ia memindahkan sebagian berkas yang ada di meja Putri
Hujan sudah reda ketika Kayla sampai di rumah. Kayla mengarahkan penglihatannya ke arah rumah. Tidak ada motor mereka disana. Berarti Radit belum pulang.Mungkin dia masih di jalan. Ya, kemungkinannya memang begitu."Makasih banyak ya, Lan," ucap Kayla sebelum turun dari mobil Alan."Sama-sama, Kay," jawab Alan mengembangkan senyum.Setelah Alan pergi, Kayla duduk sendiri di kursi plastik yang berada di teras. Ia tidak bisa masuk ke dalam rumah karena kunci rumah mereka dibawa Radit. Sebenarnya ada kunci cadangan lain, tapi Kayla lupa membawanya.Sampai setengah jam Kayla menunggu, Radit masih belum muncul. Berbagai pikiran mulai menguasai kepalanya. Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk pada Radit.Kayla mondar-mandir sendiri di teras rumah dengan perasan gelisah, sampai beberapa saat kemudian terdengar deru mesin motor yang semakin lama kian dekat,Rasa khawatir itu menjelma menjadi senyum lega ketika akhirnya Kayla mengetahui bahwa pengendara motor itu adalah suaminya."Yang, ta
Malamnya begitu sudah berada di rumah dan menyelesaikan makan malam mereka, Radit menyampaikan tawaran Alan tadi siang. Radit sengaja memilih momen yang pas untuk mengatakannya karena biasanya setelah perut kenyang pikiran pun tenang dan akan terbuka."Yang, jadi ceritanya, perusahaan tempat aku bekerja mau buka kantor cabang baru, trus aku ditawarin jadi branch manager. Menurut kamu gimana, Yang?""Bagus dong, Dit. Kamu hebat banget," kata Kayla menanggapi sekaligus memuji."Masalahnya tempatnya jauh, di Padang.""Padang?" Kayla mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk sambil membayangkan kota itu."Gimana menurut kamu?" Radit mengulangi lagi pertanyaannya yang belum terjawab."Nggak apa-apa, Dit, terima aja," jawab Kayla menanggapi. "Untuk sementara kita LDR-an," sambung Kayla lagi.Radit menatap Kayla lama. Itu bukan pilihan yang ia mau. Opsi itu tidak pernah diinginkannya di dalam hidup. Tidak mungkin ia meninggalkan Kayla sendiri disini karena ancaman sudah tersebar di setiap sudu
Masih percaya kalau ada orang yang mau melakukan apapun untuk cinta walaupun tidak bisa memilikinya?Percayalah. Hal itu masih ada, walau tidak banyak di dunia ini. Alan buktinya. Alan rela mengorbankan apapun demi kebahagiaan Kayla, meskipun ia tidak bisa memiliki perempuan itu. Dengan segala kelebihan yang dimilikinya Alan bisa saja merebut Kayla dari Radit. Apalagi menurut pengakuan Kayla ia tidak mencintai laki-laki itu. Tapi Alan bukanlah musuh dalam selimut yang akan menusuk dari belakang.***Kayla mengembangkan senyum saat memandang banner dan neon box bertuliskan "KAYRA BOUTIQUE" di hadapannya. Setelah melewati proses panjang, akhirnya kini ia memasuki sebuah dunia baru yang sebelumnya tidak pernah digelutinya.Semua berkat bantuan Alan. Alan yang memodalinya. Memberinya ruko untuk dijadikan Kayla sebagai tempat usaha. Kayla menjadikan lantai satu sebagai butik tempatnya menjual berbagai pakaian wanita kualitas premium, sama seperti yang dikunjunginya di mall bersama Alan wak
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes