Kayla sedang membersihkan rumah saat sudut matanya menangkap sesuatu. Sebuah plastik cetik berwarna biru, khas rumah sakit, yang terjatuh di kaki meja.Kayla mengambilnya, lalu membaca tulisan yang tertera pada label. Plastik itu berisi obat-obatan yang diresepkan oleh dr. Beny, Sp.KJ.Spesialis kejiwaan? Obat apa lagi ini? Nabil pergi ke spesialis kejiwaan, itu artinya?Dia harus segera mendapatkan jawabannya, langsung dari mulut Nabil. Ia tak ingin berasumsi yang macam-macam, yang hanya akan membuat kepalanya sakit.Nabil belum pulang. Tadi pagi katanya cuma mau pergi main futsal, tapi hingga matahari naik, belum ada tanda-tanda dia akan kembali.Selang beberapa menit kemudian, Nabil datang. Kayla langsung menyongsongnya."Bil, ini obat apa?" tanyanya tidak sabar.Nabil memperhatikan pastik kecil berisi obat yang ditunjukkan Kayla padanya."Aku baru pulang, kamu nggak nawarin minum dulu?" tanyanya."Bukannya tadi kamu bawa air minum?" Kayla balik bertanya."Ya ampun, Kay, air cuma
Radit menoleh, "Kamu kelilipan ya?""Bukan, aku nggak bisa ngeliat apa pun!" pekik Kayla histeris."Jangan main-main Kayla, nggak lucu," timpal Radit yang mulai panik."Aku nggak main-main, aku serius!" seru Kayla keras sambil terus menggosok matanya.Radit menepikan mobil dan parkir di pinggir jalan. Rasa khawatir mulai menjalari hatinya."Coba cuci mata kamu dulu." Radit mengambil sebotol air mineral dari dalam ranselnya. Dia membantu Kayla membasuh muka dan fokus di bagian mata.Kayla mengerjap berkali-kali dan mengucek matanya pelan-pelan."Dit, aku bisa lihat kamu sekarang."Tanpa sadar Kayla merangkul Radit.Awalnya Radit ragu, tapi akhirnya ia membalas dan mendekap lebih erat.Hingga beberapa menit kemudian, Kayla melepaskannya."Sorry!" ucapnya begitu sadar.Radit tersenyum tipis. Lalu kembali menyetir, melanjutkan perjalanan pulang.Hening. Mereka saling diam dan lebih memilih berbicara dengan hati masing-masing. Hingga sampai di rumah Radit."Kok malah ngelamun?" tegur Radi
Semua mengalir begitu saja. Tanpa ada kata maaf atas semua yang pernah terjadi. Cinta memang membuat luka dan terkadang mengalahkan logika. Dan semua itu akan menjadi masalah bila hati tidak rela menerima."Yang... Aku mau ajak kamu jalan," ujar Radit sore itu, beberapa saat sebelum senja menjelang."Beb, sorry, bukannya nggak mau, tapi aku udah ada janji," tolak Kayla halus."Janji sama siapa?""Sama Nabil."Radit menatap Kayla lekat-lekat dengan ekspresi memohon dan meminta."Tidak bisakah aku menjadi yang pertama?"Kayla menunduk, memandang ujung sepatunya. Selalu akan ada situasi seperti ini, selama dia masih belum bisa memilih.Radit memalingkan muka, menyembunyikan rasa kecewa. Lalu menyeret langkah lelah, menjauh."Beb, tunggu!" tahan Kayla sebelum Radit semakin jauh.Radit berhenti di tempatnya. Ia mulai menghitung dalam hati. Satu, dua, tiga..."Iya, aku mau." Terdengar suara Kayla di belakangnya.Radit membalikkan badan, menatap pemilik wajah manis itu, lalu menebar senyum
Reni mengajak Kayla bergabung dengan ibu-ibu DW lainnya. Sedangkan Nabil dan Ari pergi. Entah ke mana. Mungkin melanjutkan pekerjaan masing-masing. Terserah merekalah. Ini kan acara perempuan. Namanya juga dharma wanita."Tumben Kayla bisa datang," kata Ari setelah mereka kembali ke ruangan."Kebetulan dia lagi nggak sibuk," jawab Nabil sekenanya. "Oh. Ngomong-ngomong kalian baik-baik aja kan?" tanya Ari agak ragu dan hati-hati."Iya, emang kenapa?""Nggak apa-apa."Nabil merasa ada yang aneh dengan Ari. Entah kenapa mukanya terlihat tegang dan kata-katanya terdengar serius. Padahal biasanya itu orang suka becanda. Ah, sudahlah. Nabil menepis kecurigaannya yang tidak beralasan.*Akhirnya selesai juga acara yang menurut Kayla sangat membosankan. Dan sekarang, ia tengah menunggu Nabil di tempat parkir.Tadi Reni tidak menyinggung apa pun tentang pertemuan mereka kemarin. Tinggal tunggu reaksi Nabil nanti seperti apa. Ia berharap Ari tidak membocorkannya.Dari jauh Kayla melihat Nabil
"Aku nggak tahu namanya apa, tapi orang-orang nyebutnya gitu.""Kayla, ini gila. Kita tinggal di Indonesia, bukan Himalaya!"Kayla diam saja, membiarkan Radit bicara sendiri."Di negara kita, itu tidak lazim. Masih sangat tabu. Aku pernah lihat di TV, ada yang dipenjara karena ngelakuin itu. Bahkan aku nggak tahu, di agama kita dibolehkan atau tidak.""Tapi paling nggak, kita udah terhindar dari dosa," cetus Kayla menangggapi. "Lagian, aku ngelakuin cuma sama kamu. Itu kan inti sebenarnya?"Radit memegang kedua pundak Kayla, hingga wajah mereka berhadapan dan sejajar."Sayang, coba kamu dengar aku. Pernikahan itu bukan mainan. Aku nggak mau kalau cuma sekedar status. Lagian apa susahnya ninggalin dia? Kalau memang kamu nggak bahagia, seharusnya gampang aja kan? Nggak perlu ada beban apa pun.""Bukan itu masalahnya, Dit.""Jadi apa masalahnya? Rasa sayang kamu ke dia? Jadi hanya berapa persen kadar cinta kamu ke aku?""Seratus persen, semuanya untuk kamu.""Lalu untuk dia?""Mungkin ha
Braaaaak!!!Nabil buru-buru menginjak rem begitu merasakan benturan keras di bagian depan mobilnya.Betul-betul sial!Tadi ia hampir saja menabrak pengendara motor yang berhenti mendadak di perempatan lampu merah. Untung polisi lalu lintas yang sedang bertugas tengah sibuk mengatur jalan di bagian lain.Dan sekarang, ia tidak tahu benda apa yang dihantamnya.Nabil segera turun untuk melihatnya. Ternyata ia menabrak sebuah pot bunga besar. Untung saja tidak sampai hancur atau pun pecah.Nabil segera meninggalkan tempat itu dan menuju kamar tempat Kayla dirawat yang diberitahu Radit padanya.Ya, Radit.Pria itu yang mengiriminya pesan pendek tadi. Nabil tidak tahu darimana dia mendapatkan nomor ponselnya.Mungkin dari kontak di handphone Kayla. Tapi ponsel Kayla kan dikunci. Bagaimana bisa dia membukanya?Ah, sudahlah. Itu tidak penting. Yang penting sekarang, dia harus tahu kondisi Kayla.Nabil memacu langkah agar segera tiba di tempat yang dituju. Menyusuri bangunan besar bercat puti
Pernahkah kamu merasa dijajah?Bukan. Bukan dijajah oleh orang lain. Tapi oleh pikiranmu sendiri. Yang terus membuatmu fokus pada kepingan ingatan tentang seseorang. Dan membuat blur akan hal-hal lain yang ada di duniamu.Cinta itu masalah hati. Cinta itu tentang perasaan. Oke. Jika ada yang bilang waktu akan menyembuhkan luka, itu salah. Atau bila ada yang berkata, kamu akan bisa melupakan dirinya bila sudah menemukan pengganti, itu tidak sepenuhnya benar.Tidak pernah ada alasan pasti kenapa harus mencinta. Sekali lagi, karena cinta adalah masalah hati, dan tentang perasaan.So, let it flow.*Hari ketiga tanpa cinta, tanpa wanita, tanpa Kayla. Radit mengetuk-ngetukkan pena yang terselip di antara ibu jari dan telunjuk kirinya ke atas meja. Sebuah bahasa tubuh yang menyiratkan kebingungan serta kegalauan.Beberapa hari dipeluk kesendirian membuatnya merasa dunia ini sunyi meski berjuta manusia menghuninya.Dia telah berusaha menghalau rindu yang datang tanpa permisi. Tapi hanya s
"Dit, sorry, aku nggak bisa," ujar Kayla dengan rasa bersalah."Kenapa nggak bisa?" tanya Radit tidak dapat menyembunyikan rasa kecewa."Tadi aku udah bilang sama Nabil kalau hari ini nggak akan pulang malam. Mungkin sekarang dia udah nunggu di bawah."Kayla berjalan ke arah jendela kaca. Lalu mengarahkan pandangan ke jalanan di bawah sana. Benar saja. Mobil Nabil sudah terparkir di sana. Tak lama kemudian sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Nabil. Yang memberitahu kalau dia sudah menunggu."Aku harus pulang sekarang," kata Kayla pada Radit.Radit menatapnya dengan ekspresi sedih bercampur kecewa."Yang... Aku butuh kamu malam ini. Please stay here with me!"Kayla menggeleng pelan. Rasa bersalah menggayutinya. Namun ia harus bersikap tegas. "Sekali ini saja, tolong mengalah dan mengerti posisiku."Radit mematung di tempatnya. Membiarkan pujaannya berlalu begitu saja. Tanpa bisa ia cegah.Dia menelan rasa kecewa, bersama air ludah yang terasa pahit di kerongkongan.Selalu menjadi n
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat