Huek!!!Ini sudah kali ketiga Kayla muntah. Perutnya terus bergejolak tanpa henti."Yang, kita ke dokter aja ya?" ajak Radit karena tidak tega melihat Kayla.Kayla mengatur nafasnya. Kepala yang ikut berdenyut semakin menambah penderitaannya."Kita ke dokter ya, yang?" Radit mengulang pertanyaannya dan meminta persetujuan Kayla.Kayla mengangguk. Sepertinya dia butuh bantuan tenaga medis.*Kayla melempar senyum pada perempuan yang duduk di seberangnya. Mereka sama-sama menunggu giliran di tempat praktik dokter 24 jam."Ibu Mikayla!" Seru seorang perawat yang baru keluar dari ruangan dokter dan berdiri di depan pintu.Kayla langsung berdiri.Perawat itu tersenyum dan mempersilahkan Kayla dan Radit masuk.Radit merangkul hangat pundak Kayla. Begitu hangat. Sampai Kayla merasa langkahnya sangat ringan.Sang dokter, perempuan separuh baya, tersenyum ramah melihat kedatangan mereka."Ibu Mikayla, ada keluhan apa?" tanyanya langsung tanpa berbasa-basi."Saya muntah-muntah, Dok, kepala saya
Malam ini, pulang bermain futsal Ari mampir di rumah Nabil. Mereka duduk di teras sambil mengobrol.Sedang asyik bercerita, tiba-tiba Dea datang bersama Kevin."Siapa tu, geng?" tanya Ari saat melihat Dea berjalan mendekati mereka."Sssst!!!" Nabil menyikut lengan Ari, menyuruhnya untuk diam."Om Nabil, kita main puzzle, yuk!" Kevin berlari mendekati Nabil dan langsung duduk di pangkuannya."Tunggu sebentar ya, Om Nabil lagi cerita sama teman Om, ini Om Ari namanya. Kevin main sama kakek dulu ya."Kevin memperhatikan Ari sekilas, lalu masuk ke dalam rumah."Nabil, maaf ganggu kamu lagi. Tadi Kevin maksa, katanya mau main sama kamu," kata Dea merasa tidak enak hati pada Nabil."Nggak apa-apa, De, namanya juga anak-anak.""Hmmm... Bil, kalau gitu saya pulang dulu, ya," Dea berpamitan sambil melirik Ari sekilas dan meninggalkan senyum."Siapa tu? Cantik banget," kata Ari setelah Dea pergi."Tetangga," jawab Nabil singkat."Kenapa nggak bilang-bilang kalo punya tetangga cantik?""Nggak pe
Situasi ini begitu dilematis.Nabil tidak mungkin mengiyakan. Tapi dia juga tidak tega melihat semburat kecewa di wajah Kevin nan polos. Nabil ingin menolak, tapi pasti akan berpengaruh pada mental Kevin. Lebih baik dia mengambil jalan tengah saja."Iya, kamu boleh panggil papa sama Om Nabil. Tapi maaf, Om Nabil belum bisa menjadi papa kamu."Kevin menatap mata Nabil begitu dalam. Kata-kata Nabil membuatnya kebingungan. Dea yang mengerti maksudnya langsung cepat tanggap dan menjelaskan."Kevin, mulai sekarang kamu boleh panggil papa sam Om Nabil. Tapi Om Nabil belum bisa tinggal di rumah kita," kata Dea menjelaskan."Kenapa gitu, Ma?"Dea menghela nafas. Susah baginya untuk menjelaskan semua ini pada anak seusia Kevin."Karena mama belum menikah sama Om Nabil," jawab Dea. "Menikah itu apa, Ma?" Dea menjadi kebingungan untuk menjawab pertanyaan Kevin yang tidak berujung. Dia menoleh pada Nabil, memohon pertolongan agar membantunya menjawab pertanyaan Kevin.Nabil menggaruk-menggaruk
Sore itu sepulang kerja, Nabil baru saja akan merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan beristirahat. Tapi ia terpaksa mengurungkan niatnya saat Kevin datang dan menangis."Vin, kamu kenapa nangis?" tanya Nabil sambil berlutut agar tubuhnya sejajar dengan anak itu. "Trus mama kamu mana?" Nabil bertanya, heran karena setiap ke rumahnya Kevin selalu diantar Dea."Mama di rumah. Mamanya lagi nangis, makanya aku juga nangis," Kevin kembali tersedu-sedu. "Mama kamu nangis kenapa?"Kevin menggeleng dalam tangis. Tangannya menarik lengan Nabil agar ikut dengannya. Nabil pun terpaksa mengikuti Kevin ke rumahnya walau saat ini dia sangat lelah.Nabil menunggu di teras dan menyuruh Kevin memanggil Dea agar menemuinya. Sesaat kemudian, Dea keluar dengan mata bengkak dan merah. Jejak panjang air mata membayang samar di pipinya."Dea, kamu kenapa?" tanya Nabil begitu Dea sudah duduk di kursi."Saya dipecat, Bil," jawan Dea dengan suara lirih."Dipecat?" Nabil mengernyitkan dahi. "Kenapa bisa? Apak
Aku mempunyai sahabat yang hidup di kepala. Liar dan tidak terkendalikan. Dia bisa datang tiba-tiba membawa kebahagiaan. Lalu pergi secara mendadak meninggalkan duka dan luka, sehingga terkadang membuatku ingin menyakiti diri sendiri.Dia adalah sahabatku yang tidak bersahabat. Dia menakutkan serta menyakitkan. Namun, aku mencoba untuk bersahabat dengannya.Kenalkan, namanya bipolar disorder.Sahabatku si bipolar sangat egois. Dia mengendalikan tubuhku agar mau menurutinya. Dia benar-benar membuatku pasrah dan menyerah. Dan terkadang, dia membujukku untuk mengakhiri hidup.Pada awalnya aku tidak mau menerima keadaanku dan mati-matian menentangnya. Tapi aku sadar, sampai kapan aku akan lari dari kenyataan. Kasihan suamiku, satu-satunya lelaki yang mencintaiku di dunia ini, atau mungkin apakah ada laki-laki lain yang juga mencintaiku selain dia?Oke, bicara tentang Radit, suamiku, dia satu-satunya orang yang paling memahami dan mengerti keadaanku. Dia juga satu-satunya yang kumiliki di
Absurd. Mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan hubungan kita. Aku dan kamu, mengenal belum terlalu jauh. Pada beberapa waktu pandangan kita bertemu. Kita duduk berhadapan, lalu saling bercerita tentang pengembaraan masing-masing. Tentang pencarian yang sia-sia. Tentang masa lalu yang sarat akan pelajaran hidup.Keberanianku mungkin menarik hatimu. Dua orang asing bertemu, lalu sepakat untuk bersatu.Berbekal banyak rakaat, aku membangun keyakinan untuk mengarungi ribuan hari bersamamu.Selama ini aku selalu bersandar pada bahuku sendiri. Aku selalu berlari dan melarikan diri. Kegundahan yang menggumpal. Kegelisahan bak bola salju yang menggelinding. Masa lalu selalu menghantuiku dan menjadi mimpi buruk yang membuatku enggan terlelap dan terus menerorku.Setiap pagi aku membuka mata dan memasang topeng, menyembunyikan luka dan lara, keresahan dan kegelisahan. Dan begitu malam datang, aku akan meringkuk di sudut kamar dan membukanya.Dan kini bersamamu, aku membuang topengku,
Dea merasa kenyataan terlalu mengejutkan. Berkali-kali ia memejamkan mata dan membuka dengan cepat untuk meyakinkan diri kalau yang ada di depan matanya bukanlah mimpi.Sekali lagi Dea memejamkan mata lalu membukanya. Sekarang dirinya berada di kamar utama. Kamar mereka bernuansa lembut dengan wallpaper bunga-bunga. Ada tempat tidur king size terletak agak merapat ke dinding. Lemari pakaian tiga pintu berada di sudut dengan meja rias di sampingnya.Dea memandang wallpaper bunga-bunga itu. Semua pasti perempuan bernama Mikayla itu yang memilihnya, tidak mungkin Nabil.Dea kembali teringat proses ijab kabul. Nabil sampai salah dua kali mengucapkan namanya. Malahan dia menyebut nama mantan istrinya. Dua kali lho, bukan hanya sekali. Jadi itu artinya apa? Sudah hampir jam sepuluh malam, dan Nabil masih belum kembali. Tadi dia mengatakan kalau akan keluar sebentar. Tapi Dea tidak menanyakan dia akan kemana. "Ma, papa kemana? Kenapa masih belum pulang?" Kevin yang sedang nonton film kartu
Kepadaku yang suka mengerami rasa.Saat para pujangga menjadikan cinta sebagai bait andalan dalam syair-syairnya, tapi bagiku ini hanya sebatas rasa yang bisa dinikmati sendiri.Aku tidak pernah merasakan indahnya sentuhan atau manisnya tatapan mesra.Tak peduli sekuat apa pun tanda yang kuluapkan ke udara, ia tak pernah terbaca olehmu.Ada rasa ingin menyerah begitu saja. Tapi cinta di dalam dada semakin kuat bertahta.Rasa perih karena dianggap tidak ada telah aku akrabi sedemikian rupa. Meski jujur terkadang aku ingin berteriak karena merasa sudah setengah gila.Pada malam-malam panjang aku bayangkan, betapa indahnya jika cinta ini mendapatkan balasan.Andai tangan bisa saling bertaut dan berikatan, lunas sudah semua penantian.Tapi hidup terus berjalan, dan cintaku tetap saja terpinggirkan.Seperti proses jatuh hati padamu yang tak pernah direncanakan, cintaku betah bertahan dan tak bisa ditinggalkan.Sebesar itu rasaku padamu, dan kamu membalasnya dengan tatapan datar yang menci
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes