Rumah kembali sepi. Nabil, Dea, dan Papa sudah pergi dari tadi.Dan Radit pun ikut menghilang.Kayla tidak tahu kemana suaminya itu pergi.Dia raib begitu saja.Mungkin dia pergi menghindari Nabil dan Papa.Kayla mematikan lampu kamar lalu merebahkan tubuhnya di kasur dan memeluk guling erat-erat.Walaupun phobia kegelapan tapi saat ini ia ingin berada di dalam gelap.Rasanya ia sangat lelah.Bukan hanya tubuh, tapi juga hati dan pikirannya."Yang ... "Sayup-sayup Kayla mendengar suara Radit memanggilnya.Kayla tidak menjawab. Ia memilih untu menutup mata. Bibirnya terkatup rapat dan enggan bicara."Tumben lampunya dimatiin," ujar Radit lalu mendekati Kayla yang tidur danmenutup mukanya dengan bantal.Radit mengambil bantal yang menutupi muka Kayla. Tanpa sengaja ia menyentuh muka istrinya itu. Dan terasa basah.Radit melangkah mendekati pintu, lalu menekan saklar. Lampu pun menyala.Radit kembali mendekati Kayla.Ia terkejut melihat istrinya itu. Bukan hanya basah, tapi matanya jug
Tak terasa Kayla sampai ketiduran karena lelah menangis.Perut yang bernyanyi kencang membuatnya membuka mata.Sudah jam dua belas siang, jadi wajar kalau tubuhnya menuntut asupan.Kayla bangkit dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Aliran air dingin di tubuhnya membuatnya menggigil, padahal biasanya tidak seperti ini.Ia cepat-cepat menyudahi ritual pagi itu.Tidak ada makanan apa pun di meja makan. Begitu juga ketika ia membuka kulkas.Hanya ada satu kardus persediaan mie instan.Kayla mengambilnya sebungkus, lalu memasaknya dengan cara biasa, tanpa ada inovasi dan add on.Tidak butuh waktu lama. Dalam hitungan menit semangkok mie instan sudah tersaji di depannya.Ia meniup uap panas yang masih mengepul.Kayla mencicipinya sesendok, tapi tidak berasa apa pun di lidahnya. Bukan karena ia lupa memasukkan bumbu, tapi karena hatinya yang bermasalah.Kendati demikian, makanan tak bergizi itu lolos ke dalam perutnya.Ia merasa sedikit kenyang, tapi tidak mend
Kayla tersenyum kecut. Ia merasa malu karena Nabil selalu membalikkan pertanyaannya. Ia pun memilih diam dan melempar pandangan keluar."Kamu sudah makan?" Nabil bertanya padanya.Tanpa sadar Kayla memegang perut. Jujur, ia merasa lapar. Semangkok mie instan tadi tidak cukup lama bertahan memberi rasa kenyang. Tapi ia merasa sungkan untuk mengatakannya pada Nabil."Ini sudah waktunya makan siang," gumam Nabil pelan.Dan tanpa meminta persetujuan Kayla, Nabil berbelok memasuki halaman sebuah resto yang tanpa sengaja mereka lewati."Kita ngapain di sini, Bil?" dengan polos Kayla bertanya. Namun sesaat kemudian ia menyadari pertanyaan bodohnya. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan di tempat makan kalau bukan mengisi perut.Kita makan siang dulu ya, aku lapar, belum makan dari tadi," jawab Nabil seraya mengajak Kayla turun.Kayla tidak menolak dan mengikuti langkah Nabil.Di dalam resto, Kayla memilih untuk duduk di sebelah Nabil, dan bukan di seberangnya. Ia tidak ingin berhadapan yang
"Dit!!! Radit!!!" Kayla berteriak memanggil nama Radit berkali-kali. Tapi tentu saja Radit sudah tidak mendengarnya karena panggilan sudah terputus.Menyadari hal itu Kayla balik menelepon Radit .Tangannya gemetar memegang handphone.Dan ia harus menelan kekecewaan yang mendalam saat nomor Radit sudah tidak bisa dihubungi.Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain menangis.Kenapa Radit tega melakukan semua ini padanya?Kenapa ia mengulangi lagi kesalahannya yang dulu?Apakah dia ingin Kayla jatuh lagi ke tangan lelaki lain dan kemudian dia baru kembali dengan sejuta penyesalan seperti dulu?Dan yang membuat Kayla menjadi kesal. Radit begitu pengecut, tidak memberinya kesempatan untuk bicara.Coba kalau dia menjelaskan dengan baik-baik kemana dia akan pergi dan apa alasannya, mungkin Kayla akan menerima atau setidaknya mencoba untuk mengerti.Kayla merasa langit sudah runtuh.Ia sudah sebatang kara sejak lama, tapi ia merasa tidak sendiri karena masih ada Radit.Tapi sekarang ia b
I'll do my crying in the rainIf I wait for cloudy skiesYou won't know the rain from the tears in my eyesYou'll never know that I still love you***"Ngeliat apa, Kay?" tanya Nadin untuk meyakinkan diri kalau mereka sedang memperhatikan objek yang sama."Itu Radit, Nad," gumam Kayla pelan. Suaranya terkalahkan irama hujan."Mana?" tanya Nadin penasaran sekaligus heran."Itu!" tunjuk Kayla pada laki-laki berjas hujan biru yang sedari tadi diperhatikannya. Laki-laki itu menunduk sambil melihat ponsel di tangannya."Masa sih?" Nadin seperti kurang percaya karena tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas."Iya, Nad, itu beneran Radit," ujar Kayla menegaskan. Wajahnya yang tadi murung berubah menjadi riang. Tak ingin kehilangan lagi, Kayla berlari ke arah laki-laki itu dan memanggilnya keras-keras. Suaranya bersaing dengan bunyi hujan.Tapi sepertinya takdir belum ingin bersahabat dengannya.Laki-laki itu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana, lalu segera memakai helm serta me
"Aku nggak ngerti, Dit, maksudnya jaga gimana?""Ya jaga, Bil, tolong kamu gantiin peran aku dulu.""Apa? Kamu udah nggak waras ya? Jangan asal bicara, Dit. Tidak semua hal bisa dijadikan bahan gurauan," kata Nabil mulai marah."Bil, cobalah mengerti. Aku minta tolong sekali ini aja," suara Radit terdengar seperti memohon."Kalau kamu mau minta tolong untuk beliin obat Kayla mungkin aku bisa. Tapi kalau gantiin peran kamu aku nggak bisa. Itu namanya mengada-ngada. Paham?"Nabil mematikan telepon dengan geram. Ucapan Radit membuatnya berang. Sepertinya Radit memang menganggapnya sebagai tempat penitipan.Gila! Nabil kembali ke kamar dan merebahkan tubuh disamping Dea. Ia bermaksud tidur dan melupakan semua kata-kata Radit tadi. Tapi kalimat-kalimat itu berputar-putar mengitari pikirannya. Sepertinya Radit begitu tertekan dengan masalahnya sampai-sampai dia bicara sembarangan. Tapi kira-kira Kayla sakit apa? Kenapa Radit seperti menyembunyikannya?Nabil melirik Dea yang tidur disebelah
Menunggu, yang biasanya merupakan hal yang membosankan, kini terasa sangat mengerikan. Nyaris satu jam Kayla berada dalam ruang IGD. Tidak ada satu pun petugas medis yang keluar dari sana. Setidaknya untuk memberitahu kalau Kayla baik-baik saja.Nabil dan Nadin nampak tegang. Seluruh indra mereka waspada. Setiap mendengar langkah kaki, bahkan denting besi beradu membuat mereka spontan terlonjak dari kursi."Bil, kita harus menghubungi siapa?" Nadin mengeluarkan suara serak. Mukanya terlihat kuyu. Riasan di wajahnya sudah terhapus air mata yang kini meninggalkan jejak-jejak panjang nan samar."Tidak ada, Nad. Kayla tidak punya siapa pun kecuali kita," gumam Nabil lemah.Kasihan Kayla. Nasibnya benar-benar malang. Sudah sebatang kara, ditinggal suami pula.Nadin mendesah resah. Ya Tuhan, semoga Kayla baik-baik saja. Semoga ia kuat.Nabil dan Nadin saling memanjatkan doa dalam hati masing-masing dengan kalimat yang berbeda namun maksudnya sama. Keselamatan Kayla.Pintu ruang IGD terbuka.
Nabil terpaku di tempatnya sambil memandang langkah Dea yang menjauh meninggalkannya. Ia menjadi serba salah. Entah apa yang harus dilakukannya. Pergi atau tetap tinggal. Dea sedang mengandung anaknya. Jika sampai terjadi sesuatu pada istrinya itu Nabil tidak akan bisa memaafkan dirinya. Sementara Kayla bagaimana? Oke, memang ada perawat atau suster menjaga Kayla di ruangan ICU. Tapi tetap harus ada pihak keluarga. Siapa tahu nanti dirinya dibutuhkan untuk persetujuan sebuah tindakan.Ah ... bikin pusing. Semua ini gara-gara Radit."Dea, tunggu!"seru Nabil lalu berlari mengejar Dea.Dea tidak menyahut dan semakin mempercepat langkahnya. Nabil terus mengejar hingga langkah mereka sejajar."Sayang, aku ikut pulang sama kamu," ujar Nabil seraya menggandeng tangan Dea.Dea tidak menanggapi kata-kata Nabil. Mulutnya terkatup rapat seperti dikunci. Dan selama perjalanan pulang sampai di rumah Dea masih bungkam. Mukanya yang merengut menggambarkan kesedihan, kekesalan, serta kekecewaan hati
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat