Begitu sampai di mall, Nabil langsung membawa Kevin ke area playground. Anak itu terlihat gembira. Dia mencoba permainan apa saja yang terdapat di tempat itu.Mulai dari perosotan, mandi bola, rumah-rumahan, pasir kinetik, hingga puzzle.Dengan sabar Nabil menemani Kevin bermain dan mengajarkannya menyusun puzzle. Ketika Kevin mulai terlihat bosan, Nabil mengajaknya pergi dari tempat itu, lalu mengajaknya makan di sebuah restoran cepat saji."Kamu mau juga?" tanya Nabil saat melihat Kevin sedang memperhatikan seorang anak sebayanya sedang makan es krim.Kevin tampak ragu, lalu mengangguk malu."Kalau kamu mau sesuatu bilang aja ya, jangan malu," ujar Nabil pada Kevin seolah mengerti perasaan anak itu."Iya, Om," jawab Kevin pelan."Kamu mau es krimnya rasa apa?""Aku mau rasa coklat. Kalau Om Nabil suka rasa apa?" Kevin balas bertanya."Kalau Om Nabil suka rasa vanila. Kamu mau coba rasa vanila nggak? Atau kamu mau keduanya?""Hmm... kalau dua-duanya boleh, Om?" tanya Kevin sambil m
Kayla berbaring dengan gelisah di atas tempat tidur. Dari tadi dia mencoba memejamkan mata, tapi tak sepicing pun matanya mau terkatup.Ini memang kali pertama dia tidur sendiri sejak menikah dengan Radit.Kayla teringat pertengkarannya dengan Andrea tadi pagi. Rasa sakit di hatinya kembali muncul ke permukaan. Kayla tidak mengerti kenapa Andrea sefrontal itu padanya. Perempuan itu seakan menyimpan dendam pada dirinya, dan begitu ada kesempatan, dia langsung meluapkan habis-habisan,Tapi Kayla salut juga pada trik yang digunakan Andrea untuk mendekatinya. Gadis itu bermain cantik, dengan berpura-pura baik. Sikapnya yang bersahaja sempat membuat Kayla tertipu. Untung dia segera sadar dan terlindung dari segala tipu muslihat perempuan itu.Tiba-tiba Kayla teringat sesuatu. Sepertinya ada yang janggal dengan cerita Andrea selama ini.Cerita tentang Danish, pria beristri yang disukai dan dicintai Andrea setengah mati.Kayla menggigit bibirnya sambil berpikir keras.Apakah mungkin kalau D
"Yang, boleh aku bicara sekarang?" Radit bertanya setelah Kayla tidak lagi bersuara.Kayla membuang muka dan melipat tangan di dada.Radit bangkit dari duduknya lalu bersimpuh di lantai tepat di hadapan Kayla. Diraihnya tangan istrinya itu lalu menggenggamnya hangat."Kayla, sayang... tolong kasih aku kesempatan untuk jelasin semua ini," pinta Radit penuh harap.Kayla diam saja. Rasa marah dan kecewa begitu menggerogoti hatinya. Tak menyangka kalau Radit setega itu padanya. Tapi tidak adil jika dia tidak memberi kesempatan pada Radit untuk memberi penjelasan. Dia tahu, banyak kesalahpahaman terjadi terutama pada pasangan muda karena keegoisan sebelah pihak."Bicaralah," ujar Kayla dengan suara serak.Radit menghela nafas berat, lalu melepaskannya perlahan. Dia tidak tahu harus memulai darimana untuk menerangkan cerita panjang ini."Jadi waktu itu Andrea memintaku berpura-pura menjadi pacarnya," Radit mulai bercerita."Pacar?" Kayla menegang mendengarnya. Emosinya memuncak ke ubun-ubun
Dea mengusap-usap kepala Kevin penuh kasih sayang. Setelah lelah bermain, akhirnya anak itu tertidur sendiri. Dea beranjak menuju ruang tengah, lalu mengumpulkan mainan yang berserakan di lantai. Semua mainan ini Nabil yang membelikan.Ingat Nabil, tanpa sadar Dea tersenyum sendiri. Belakangan, sosok lelaki baik itu mulai mengisi ruang di pikirannya. Bagi Dea, Nabil terlihat berbeda dari lelaki kebanyakan yang dikenalnya. Selain parasnya yang rupawan, kesan cuek dan cool melekat erat pada lelaki itu.Sosok Nabil membuatnya penasaran. Bukannya Dea sombong. Selama ini banyak lelaki yang berusaha mendekatinya meskipun banyak juga diantara mereka yang mundur teratur begitu tau statusnya. Tapi tidak dengan Nabil. Laki-laki itu sedikit pun tidak menunjukkan ketertarikan padanya. Dea berjalan ke dapur. Sudah siang, dan sudah saatnya ia memasak untuk makan siang dan malam nanti. Hanya di hari minggu inilah dia mempunyai kesempatan untuk masak, karena hari ini kebetulan dia off dan tidak a
Huek!!!Ini sudah kali ketiga Kayla muntah. Perutnya terus bergejolak tanpa henti."Yang, kita ke dokter aja ya?" ajak Radit karena tidak tega melihat Kayla.Kayla mengatur nafasnya. Kepala yang ikut berdenyut semakin menambah penderitaannya."Kita ke dokter ya, yang?" Radit mengulang pertanyaannya dan meminta persetujuan Kayla.Kayla mengangguk. Sepertinya dia butuh bantuan tenaga medis.*Kayla melempar senyum pada perempuan yang duduk di seberangnya. Mereka sama-sama menunggu giliran di tempat praktik dokter 24 jam."Ibu Mikayla!" Seru seorang perawat yang baru keluar dari ruangan dokter dan berdiri di depan pintu.Kayla langsung berdiri.Perawat itu tersenyum dan mempersilahkan Kayla dan Radit masuk.Radit merangkul hangat pundak Kayla. Begitu hangat. Sampai Kayla merasa langkahnya sangat ringan.Sang dokter, perempuan separuh baya, tersenyum ramah melihat kedatangan mereka."Ibu Mikayla, ada keluhan apa?" tanyanya langsung tanpa berbasa-basi."Saya muntah-muntah, Dok, kepala saya
Malam ini, pulang bermain futsal Ari mampir di rumah Nabil. Mereka duduk di teras sambil mengobrol.Sedang asyik bercerita, tiba-tiba Dea datang bersama Kevin."Siapa tu, geng?" tanya Ari saat melihat Dea berjalan mendekati mereka."Sssst!!!" Nabil menyikut lengan Ari, menyuruhnya untuk diam."Om Nabil, kita main puzzle, yuk!" Kevin berlari mendekati Nabil dan langsung duduk di pangkuannya."Tunggu sebentar ya, Om Nabil lagi cerita sama teman Om, ini Om Ari namanya. Kevin main sama kakek dulu ya."Kevin memperhatikan Ari sekilas, lalu masuk ke dalam rumah."Nabil, maaf ganggu kamu lagi. Tadi Kevin maksa, katanya mau main sama kamu," kata Dea merasa tidak enak hati pada Nabil."Nggak apa-apa, De, namanya juga anak-anak.""Hmmm... Bil, kalau gitu saya pulang dulu, ya," Dea berpamitan sambil melirik Ari sekilas dan meninggalkan senyum."Siapa tu? Cantik banget," kata Ari setelah Dea pergi."Tetangga," jawab Nabil singkat."Kenapa nggak bilang-bilang kalo punya tetangga cantik?""Nggak pe
Situasi ini begitu dilematis.Nabil tidak mungkin mengiyakan. Tapi dia juga tidak tega melihat semburat kecewa di wajah Kevin nan polos. Nabil ingin menolak, tapi pasti akan berpengaruh pada mental Kevin. Lebih baik dia mengambil jalan tengah saja."Iya, kamu boleh panggil papa sama Om Nabil. Tapi maaf, Om Nabil belum bisa menjadi papa kamu."Kevin menatap mata Nabil begitu dalam. Kata-kata Nabil membuatnya kebingungan. Dea yang mengerti maksudnya langsung cepat tanggap dan menjelaskan."Kevin, mulai sekarang kamu boleh panggil papa sam Om Nabil. Tapi Om Nabil belum bisa tinggal di rumah kita," kata Dea menjelaskan."Kenapa gitu, Ma?"Dea menghela nafas. Susah baginya untuk menjelaskan semua ini pada anak seusia Kevin."Karena mama belum menikah sama Om Nabil," jawab Dea. "Menikah itu apa, Ma?" Dea menjadi kebingungan untuk menjawab pertanyaan Kevin yang tidak berujung. Dia menoleh pada Nabil, memohon pertolongan agar membantunya menjawab pertanyaan Kevin.Nabil menggaruk-menggaruk
Sore itu sepulang kerja, Nabil baru saja akan merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan beristirahat. Tapi ia terpaksa mengurungkan niatnya saat Kevin datang dan menangis."Vin, kamu kenapa nangis?" tanya Nabil sambil berlutut agar tubuhnya sejajar dengan anak itu. "Trus mama kamu mana?" Nabil bertanya, heran karena setiap ke rumahnya Kevin selalu diantar Dea."Mama di rumah. Mamanya lagi nangis, makanya aku juga nangis," Kevin kembali tersedu-sedu. "Mama kamu nangis kenapa?"Kevin menggeleng dalam tangis. Tangannya menarik lengan Nabil agar ikut dengannya. Nabil pun terpaksa mengikuti Kevin ke rumahnya walau saat ini dia sangat lelah.Nabil menunggu di teras dan menyuruh Kevin memanggil Dea agar menemuinya. Sesaat kemudian, Dea keluar dengan mata bengkak dan merah. Jejak panjang air mata membayang samar di pipinya."Dea, kamu kenapa?" tanya Nabil begitu Dea sudah duduk di kursi."Saya dipecat, Bil," jawan Dea dengan suara lirih."Dipecat?" Nabil mengernyitkan dahi. "Kenapa bisa? Apak
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes