"Trus udah dibawa ke rumah sakit?" Radit menanggapi santai. Benar-benar luar biasa. Ternyata Andrea tidak pernah kehabisan akal untuk menarik perhatiannya"Belum, Pak. Saya lagi nunggu Bapak," jawab Haris."Kenapa harus menunggu saya?" tanya Radit tidak mengerti."Penanggung jawab karyawan disini kan, Bapak, jadi saya harus hubungi siapa lagi kalau bukan Bapak?" Haris beralasan."Kamu jangan mengada-ngada," sergah Radit tidak suka. "Lagian ini bukan lagi jam kerja. Sudah seharusnya dia berada di rumah, ngapain juga dia masih di kantor."Haris mulai ketakutan mendengar Radit yang mengomelinya. "Jadi saya harus bagaimana, Pak?" tanyanya meminta pendapat."Coba kamu siram mukanya pake air. Kalo dia tetap nggak bangun, bawa ke rumah sakit atau sekalian antar pulang biar diurus keluarganya," ketus Radit sambil menahan rasa jengkel.Dengan gerakan cepat ditekannya ditekannya tombol switch off agar tidak ada lagi yang bisa menghubunginya. "Ada apa, beb?" tanya Kayla begitu melihat muka Radi
Kalau tidak salah namanya Diandra. Dia adalah saudara kembar Andrea. Wajah mereka sangat mirip. Anehnya, sifat, sikap, tingkah laku, dan penampilan mereka sangat jauh berbeda. Mereka bagaikan langit dan bumi.Lalu apa hubungannya Diandra dengan Nabil? Apakah mereka hanya berteman biasa? Atau mereka memiliki hubungan khusus? Radit segera menghampiri Kayla, dengan maksud mengajaknya pergi dari sana. Radit tidak ingin Kayla bertemu dengan Nabil. Apalagi kalau sampai Nabil menceritakan tentang kejadian di rumah Andrea waktu itu. Hubungannya dengan Kayla bisa rusak."Yang, ayo kita pergi," ajak Radit sembari menarik pelan tangan Kayla."Tapi ini belum selesai, beb," Kayla menolak dan bertahan di tempatnya."Aku lapar, kita makan dulu, nanti baru kesini lagi," Radit mencari alasan.Kayla menatap heran pada Radit. Padahal sebelum pergi, mereka sudah makan di rumah. Tapi kenapa sudah lapar lagi? Padahal mereka belum ada satu jam disini.Pasti ada seseorang yang ingin dihindari Radit. Yang je
"Bisa kamu jelasin semuanya sekarang?" Kayla langsung mengeluarkan pertanyaan yang disimpannya sejak tadi begitu mereka sampai di rumah."Apa sih, yang, yang harus aku jelasin?" Radit balas bertanya setelah merebahkan tubuhnya di pembaringan. Rasanya sangat lelah dan ingin istirahat, tapi Kayla terus memberondongnya dengan pertanyaan.Kayla duduk di pinggir tempat tidur, di sebelah Radit, lalu mulai menginterogasi. "Apa hubungan Diandra dan Andrea? Apa benar kamu pernah ke rumah Diandra? Kapan? Ngapain? Aku kok nggak tau?"Radit memejamkan mata, lalu menggaruk-garuk kepalanya sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk membungkam mulut Kayla."Jangan tidur dulu, beb," larang Kayla begitu melihat Radit memejamkan matanya."Aku ngantuk, yang. Kamu lupa kalo tadi malam kita 'lembur' sampai pagi? Nanti bangun tidur aku jawab pertanyaan kamu ya.""Apa susahnya sih jawab sekarang?" Kayla mulai kesal karena Radit yang bertele-tele dan terkesan mengulur waktu.Melihat muka Kayla yang dilipat
Radit jadi kepikiran kata-kata Diandra waktu mereka bertemu di mall. Dia bilang Andrea lagi sakit. Jadi apakah benar waktu itu kalau Andrea pingsan betulan dan tidak sedang bersandiwara?Pertanyaan itu terjawab ketika di hari senin Andrea tidak datang ke kantor. Radit mendapat laporan dari Haris kalau waktu itu Andrea sesak nafas dan tidak lama kemudian langsung pingsan. Sekelumit rasa bersalah langsung menelusup di hati Radit, karena sudah berburuk sangka padanya.Keesokan harinya Andrea masih belum masuk hingga tiga hari berturut-turut. "Sebaiknya kita besuk Andrea, Pak," saran Haris pada Radit.Radit diam saja, tapi di dalam hati dia memikirkan saran Haris."Masalahnya ini sudah tiga hari, Pak," lanjut Haris."Kamu aja yang pergi ya sama yang lainnya. Saya tidak bisa," Radit menolak. Dia sungguh tidak ingin bertemu dengan Andrea."Tapi yang lain pada sibuk, Pak. Gimana kalau kita berdua saja yang pergi, Pak?"Masa semuanya sibuk? Atau kamu pergi sendiri aja.""Masalahnya SIM saya
Dengan kasar Radit menyentakkan tangannya yang dipegang Andrea. Ingin rasanya ia memaki. Ternyata iblis betina itu benar-benar ada, dan dia sudah membuktikannya."Dit, maaf, aku nggak sengaja," suara Andrea terdengar lirih, begitu juga dengan wajahnya, terlihat sangat polos.Kadang Radit heran, apakah perempuan ini adalah makhluk sejenis bunglon yang bisa berganti rupa dengan cepat."Apa waktu sekolah dulu kamu tidak pernah diajari budi pekerti? Saya heran, ternyata ada perempuan yang tidak punya harga diri seperti kamu."Andrea membisu mendengar kata-kata Radit yang tidak enak didengar dan membiarkannya pergi. Dia tidak menyangka kalau seorang Radit mampu berkata sekasar itu padanya."Darimana saja kamu?" Nada suara Radit mengandung emosi saat melihat Haris sudah menunggu di tempat parkir."Dari toilet, Pak.""Emang kamu ngapain aja sampai selama itu?" sergah Radit geram."Saya mencret, Pak, mungkin salah makan," jawab Haris beralasan.Radit tidak bertanya lagi, lalu masuk ke mobil,
Kayla dan Radit saling berpandangan begitu mendengar celetukan Nadin."Kita nggak nunda kok. Cuma belum dikasih," Kayla yang menjawab."Bagus, Kay, jangan sampai ditunda. Ntar kalo udah kepala tiga, susah lho," kata Nadin memperingatkan."Iya, Nad, doain aja ya.""Itu pasti, sayang," jawab Nadin kemudian tersenyum.Radit melihat arloji yang menempel di pergelangan tangan kirinya. Kayla langsung mengerti maksudnya."Nad, aku dan Radit pulang dulu ya, udah malam.""Iya, Kay, makasih lho kadonya.""Iya, sama-sama. Oh iya, aku numpang ke kamar mandi ya," Kayla pun masuk ke dalam kamar mandi yang berada di kamar itu.Sekarang hanya tinggal Radit berdua dengan Nadin, karena Azka keluar entah kemana."Selamat, akhirnya kamu berhasil ngedapetin Kayla," desis Nadin dengan suara tertahan, takut Kayla akan mendengar percakapan mereka."Aku bilang juga apa," suara Radit tidak kalah pelan. "Dari dulu aku selalu jadi pemenang," ucapnya penuh percaya diri, bibirnya melengkung miring, seolah tengah
"Iya, aku mau. Gimana kalo kita kesana sekarang?" ajak Kayla bersemangat."Nggak bisa gitu, yang. Kita harus bikin appoinment dulu. Lagian ini udah malam."Radit menjadi heran sendiri. Ngaruh banget ya kata-kata Nadin tadi? Atau Kayla tersentuh karena melihat baby Dzaky dan naluri keibuannya langsung keluar?Entahlah.Begitu sampai di rumah, yang pertama kali dicari Radit adalah kasur. Entah kenapa belakangan ini ia merasa mudah lelah. Mungkin karena kesibukannya yang luar biasa."Makan dulu, beb, nanti ketiduran," kata Kayla memperingatkan saat melihat Radit memejamkan matanya."Nanti aja, yang. Aku capek. Lagian, aku lagi nggak nafsu makan."Kayla mendekati Radit, lalu mengusap-usap kepalanya penuh cinta."Kenapa nggak nafsu? Masakan aku nggak enak ya?"Radit kembali membuka mata begitu merasakan sentuhan lembut di kepalanya. "Enak kok, yang. Cuma sekarang aku lagi malas makan.""Kamu kurusan sekarang. Kamu harus jaga kesehatan. Jangan terlalu sibuk dan banyak pikiran.""Iya, sayan
Sekali lagi Ryo memandang wajah Kayla. Rasanya dia tidak tega mengecewakannya. Sebenci apa pun dirinya pada Radit, tapi tidak adil jika ia juga melampiaskannya pada Kayla."Kay... ""Iya, Yo.""Hmm... apa kamu sangat mencintai Radit?""Tentu saja. Aku amat sangat mencintainya.""Sebesar apa?"Kayla mengerutkan dahi. Merasa aneh dengan pertanyaan Ryo. "Mungkin sebesar dunia dan seluruh isinya.""Wow!" Ryo bertepuk tangan. "Aku salut sama kamu, Kay."Kayla tersenyum tipis. Sesungguhnya dia sudah tidak tahan lagi. Keresahan semakin menguasainya. Ia ingin pulang secepatnya."Yo, jadi gimana? Boleh aku pulang?" ulang Kayla untuk ke sekian kali."Boleh," putus Ryo akhirnya. "Daripada nanti dia mati," sambungnya."Ih, jangan gitu dong!"Ryo tertawa melihat wajah Kayla yang berubah cemberut."Sorry, aku becanda," ujarnya kemudian.Kayla tau kalau Ryo hanya becanda. Tapi tetap saja dia trauma mendengar kata mati."Makasih ya, kamu baik banget.""Buat kamu apa sih yang nggak?"***Dalam dua pu
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes