Kayla terbangun pagi ini dengan desakan yang sama dari dalam perutnya seperti tengah malam tadi. Dan kini gejolak yang bersumber dari bagian tengah tubuhnya itu bercampur dengan rasa mual luar biasa. Kayla merasa ingin muntah. Setengah berlari ia menuju kamar mandi karena takut muntahannya tumpah di tempat tidur.Tapi ternyata kamar mandi tertutup rapat karena Radit ada di dalamnya. Kayla akhirnya muntah di wastafel. Ia mengeluarkan semua isi perutnya sampai akhirnya tidak ada lagi yang bisa dikeluarkannya.Kayla mengangkat muka dan berkaca di cermin yang berada di dinding di atas wastafel, lalu menyibak rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Mukanya pucat seperti tak berdarah. Nafasnya yang tersengal-sengal membuat dadanya ikut sesak."Udah bangun ya, yang?" Radit yang baru keluar dari kamar mandi mendekap Kayla dari belakang dan mencium tengkuknya. Radit ikut berkaca di cermin dan mendapati muka Kayla yag pasi. "Yang, masih sakit ya?" lanjutnya lagi.Kayla mengangguk pelan. "Mual b
Sikap Fadlan yang selalu mengelak membuat Radit bertambah curiga. Kalau tidak ada apa-apa, tidak semestinya Fadlan bertingkah demikian."Oke, Dit, oke. Saya akan kasih tau tapi tolong lepaskan tangan saya dulu!" sergah Fadlan ketika tidak mampu lagi bertahan.Radit akhirnya melepaskan cekalannya dari tangan Fadlan. Radit tahu sikapnya tidak sopan. Tapi tindakannya itu dipicu oleh rasa penasarannya. Tadi ia memang melihat sekilas tulisan di tangan Fadlan, ketika laki-laki itu baru keluar dari toilet. Namun tidak terlalu jelas, dan Radit ingin meyakinkan hatinya kalau yang dilihatnya itu salah.Fadlan menyingsingkan kembali lengan kemejanya sampai siku, lalu menunjukkan pergelangan tangan kirinya pada Radit. Fadlan sudah pasrah atas apapun yang terjadi. Kendati belum siap, namun ia akan menghadapi apapun resiko dan respon Radit padanya nanti.Perlahan, Radit mengarahkan pandangannya pada rajah di pergelangan tangan Fadlan. Ia mengeja di dalam hati huruf demi huruf yang ditangkap kornean
Semua tiba-tiba menjadi fast forward dan blur di mata Kayla. Radit yang mengambil baju-baju di lemari, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kemudian, dengan gerakan cepat dia pergi. Kayla memanggilnya dan mencegah agar jangan pergi dan tidak meninggalkannya, namun Radit hanya menatapnya sekilas. Mukanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam.Kayla terpaku sambil mengingat kembali perdebatan dengan Radit tadi. Kayla merenungi sikapnya dan tindakan Radit. Apakah yang dilakukannya sudah tepat atau malah sebaliknya.Kayla menggigit bibirnya kuat-kuat. Sakit. Sesakit perasaannya saat ini.Kayla memang belum bisa mencintai Radit, namun ada rasa kehilangan di hatinya saat Radit pergi meninggalkannya.Kayla mengambil ponsel, dan menghubungi Radit, namun laki-laki yang bersatus sebagai suaminya itu tidak menjawab telepon darinya, meski Kayla mendial sampai berkali-kali.Kayla mendesah pelan, kemudian mencoba memahami. Mungkin saat ini Radit butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan diri. Kayla me
Nabil sedang berada di jalan bersama Keyzia ketika telepon selulernya berdering.Dahinya berkerut saat melihat nama si penelepon yang tertera di layar.Kayla."Lagi dimana, Bil?" Terdengar suara Kayla begitu Nabil selesai mengucapkan salam."Lagi di jalan, Kay, kenapa?""Lagi nyetir ya?""Iya.""Kalo gitu nanti aku telfon lagi kalo kamu udah sampai di rumah ya."Nabil belum sempat menjawab tapi panggilan sudah terputus. Nabil mengira-ngira di dalam hati, pasti ada sesuatu yang penting sehingga Kayla menghubunginya.Nabil menoleh pada Keyzia yang berada di sebelahnya dan mengarahkan pandangannya keluar. "Key, kita nggak kemana-mana lagi kan?""Iya, Bil, langsung pulang aja, aku capek banget." Bekerja dari pagi sampai sore sebenarnya adalah hal yang biasa, dan sudah menjadi rutinitas Keyzia. Tapi hari ini energinya terforsir habis untuk beberapa meeting diluar pada tempat yang berbeda-beda.Sebenarnya Nabil juga sangat lelah. Pulang dari kantor tadi, ia langsung menjemput Keyzia. Dan
Kayla menyandarkan tubuhnya ke sandaran tempat tidur sambil memandangi layar ponsel pintarnya. Belum ada jawaban dari Radit hingga saat ini. Bahkan status pesan yang dikirimnya masih pending.Ini sudah hari ketiga Radit pergi dan tidak ada kabar. Apakah Radit memang semarah itu padanya? Bahkan untuk memberi kabar pun enggan.Kayla turun dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju lemari. Kayla membukanya. Diantara jejeran pakaian yang terlipat rapi masih banyak baju-baju Radit disana.Itu artinya Radit tidak pergi selamanya. Dia pasti pulang. Sama seperti yang dikatakan Nabil. Dan Kayla mempercayai serta memegang teguh keyakinan itu.Kayla kembali ke tempat tidur. Ia memejamkan mata sambil mengusap-usap perutnya. Kayla membayangkan wajah Radit.Radit pasti akan sangat bahagia jika mengetahui Kayla hamil. Mereka akan menjadi pasangan paling berbahagia di dunia. Dan kebahagiaan itu tak kan terganti dengan apapun juga.***Radit menekuri laptop di hadapannya. Ia mencari-cari email lama
Setelah berjam-jam lamanya, akhirnya mereka bisa bernapas lega karena pesawat akan segera take off. Tidak pernah Keyzia membayangkan diberi kesempatan berduaan dengan Radit, bahkan di dalam khayalannya sekalipun ia tidak berani. Putri pasti panas dingin andai mengetahui hal ini.Keyzia merasakan kesedihan yang begitu kentara di wajah Radit. Keyzia sebenarnya bukanlah tipe manusia yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi entah kenapa ia merasa tergelitik untuk mengetahuinya."Dit, lagi ada masalah ya?" tanya Keyzia hati-hati.Radit mengembangkan senyum. Memberi isyarat dengan gerakan bibir bahwa semua baik-baik saja.Begitu tahu kalau Radit tidak ingin menceritakannya, Keyzia tidak bertanya lagi. Tapi ia ingin tahu soal yang lain, apa tujuan Radit datang ke Jakarta."Dit, kamu ke Jakarta ngapain? Urusan kerja juga?"Radit tidak tahu apakah Keyzia bisa dipercaya atau tidak. Namun melihat Keyzia yang sepertinya lebih dewasa dari Putri, Radit memilih untuk jujur."Key, kamu bisa dipe
Setelah pesawat landing, Radit dan Keyzia bepisah di bandara menuju tempat tujuan masing-masing. "Hati-hati ya, Dit," pesan Keyzia sebelum pergi mengembangkan senyum sedih."Kamu juga," balas Radit membalas senyum Keyzia.Menurut anggapan Keyzia, Radit sudah tinggal berangkat. Padahal masih banyak yang harus diurus Radit sebelum pergi. Ia harus ke CVAC untuk mengurus perpanjangan visa serta beberapa dokumen lain. Tidak semudah yang dipikirkan orang-orang. Bepergian ke negara lain, khususnya yang membutuhkan visa apalagi untuk tujuan bekerja, proses izinnya lebih ketat dibanding izin untuk kunjungan sebagai wisatawan. Namun, karena sebelumnya sudah pernah bekerja pada negara yang sama, mungkin prosesnya akan menjadi lebih cepat.Radit memilih hotel di dekat bandara.Ia sudah mengajukan janji temu biometrik pada pihak terkait dan tinggal menunggu panggilan. Seharusnya hari ini atau maksimal besok Radit sudah mendapat panggilan. Radit berharap agar semua prosesnya berjalan lancar dan ia
Tanpa pikir panjang lagi, Radit segera memesan tiket pesawat untuk penerbangan nanti sore. Ia tersenyum senang setelah menyatakan mengkonfirmasi.Rasanya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang istri tercinta. Setelah bertemu nanti Radit ingin meminta maaf pada Kayla. Sudah berkali-kali melakukan kesalahan, dan sudah berulang-ulang pula ia meminta maaf. Semoga saja ini adalah kali terakhir kali ia melakukan kesalahan.Radit sudah membayangkan tubuh mungil Kayla ada dalam dekapannya. Lalu ia akan menciuminya berulang-ulang dan tidak ingin lagi melepasnya.Masih ada waktu tiga jam lagi sebelum jadwal penerbangannya. Namun Radit tidak ingin berlama-lama. Ia langsung mengemasi barang-barangnya, dan check out dari hotel kemudian berangkat ke bandara.Tidak semua keinginan serta merta bisa terwujud. Niat Radit untuk segera bertemu Kayla terpaksa pending. Kondisi udara yang buruk serta jauh dari kata sehat akibat kabut asap membuat banyak penerbangan tertunda bahkan ada yang batal. Muka-
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes