Mario membuka pintu ruangan Alvian dengan kasar, membuat Alvian yang sedang anteng bekerja terkejut bukan main. Mario mendekati Alvian, namun dia tidak langsung berbicara.Suaranya seakan tersendat di leher, napas Mario bahkan tersenggal – senggal karena dia berlari menuju ruangan Alvian.“Ada apa? Kamu tidak sopan masuk seperti tadi.” Tegur Alvian pada Mario.Mario mencoba menormalkan napasnya, dia hirup udara dalam – dalam kemudian dia lepaskan secara perlahan.“Bang, Chava –“ Mario mengantungkan ucapannya, dia kembali lagi mencoba menetralkan napasnya.Alvian mengeryitkan dahi, “Chava? Ada apa dengan istri aku?!” Teriak Alvian yang matanya terbuka lebar.“Chava, udah tahu semuanya tentang aku, dari Aluna.” Ucap Mario yang kini sudah bisa berbicara lancar.Jantung Alvian seperti akan keluar dari dalam sana, mulutnya terbuka sedikit. Mendadak waktu seperti berhenti sesaat. Rahasia yang selama ini dia tutup dengan rapat, kini sudah terbongkar.“Tadi aku mengikuti Aluna, karena Aluna t
“The first time when i meet you, kamu masih pakai seragam SMA. Kamu datang dengan ceria, mata kamu penuh dengan binar kebahagiaan, kamu memanggil – manggil Gara dengan penuh semangat. Kamu bahkan bercerita pada Gara tanpa peduli akan kehadiran aku yang masih orang asing untuk kamu.”Alvian memulai pembicaraan kembali dengan menceritakan tentang awal pertemuan dia dengan Chava. Ingatan itu bahkan selalu menempel di pikirannya, meski itu sudah bertahun – tahun.“Aku enggak pernah peduli sama orang lain, apalagi orang yang gak aku kenal. Namun saat itu aku berdoa dan berharap, semoga kebahagiaan selalu mendatangi kamu.” Ucap Alvian yang kini tersenyum simpul.Alvian sangat ingat, bagaimana Chava seakan memancarkan kebahagiaan pada Alvian yang saat itu sedang merasakan pusing oleh projek yang Gara buat.“Lalu?” Dengan tak sabar Chava seakan menuntut Alvian untuk segera menceritakan alasannya.“Aku pikir kita enggak akan pernah dekat, namun takdir membawa aku berdekatan dengan kamu. Rasa s
Alvian mengerjap – ngerjapkan matanya, saat cahaya matahari mengenai kelopak mata dia yang tertutup. Kemarin malam setelah pertengkaran yang besar antara dirinya dan Chava, Chava sama sekali tidak mengeluarkan suara lagi, dia hanya memeluk Alvian.Seharusnya setelah pertengkaran semalam, Alvian tidak akan tidur nyenyak, namun dia tidur sangat nyenyak. Bahkan dia tidak terbangun sama sekali.“Ca?” Panggil Alvian mencari Chava.Tidak ada jawaban, Alvian kini meraba nakas yang berada di sampingnya, mengambil ponsel yang baterainya masih penuh.“Gila! Jam dua belas siang, aku tidur lama sekali.” Pekik Alvian tatkala melihat layar ponselnya yang kini sudah menunjukan tengah hari.Alvian membawa tubuhnya bangkit dari kasur. Dia juga merasa aneh, dia tidak pernah tidur selama ini. Chava juga sama sekali tidak membangunkan dia.Pantas saja Chava sudah tidak ada di rumah, istrinya itu pasti sedang berada di kantor. Alvian bergegas ke kamar mandi, dia akan membersihkan dan menyegarkan tubuhnya.
Alvian membuka matanya, dia terbangun dengan perasaan yang hampa. Rasa sakit pada tubuhnya karena dia tertidur di lantai, seakan tidak terasa. Sunyi, dia tidak dapat lagi mendengar suara lain selain suara detak jantungnya.Alvian bangkit dari tidurnya, dia kini berdiri, memandangi kembali foto pernikahan dia dengan Chava. Tatapannya sungguh kosong, bibir dia terkunci. Tak lama kini air mata yang sejenak hilang karena dia tertidur, mulai bercucuran lagi.Rasa sakit itu kini kembali menyerang, Alvian meremas kaos hitamnya itu dan memukul – mukul dadanya yang semakin nyeri. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa Chava sudah pergi meninggalkan dia, kenyataan yang sangat dia benci.Ponsel di saku celananya kini berdering, dengan sigap dia ambil benda pipih itu, berharap Chava yang menelpon. Namun ternyata bukan, disana tertera nama “Gara”, kakak dari perempuan yang sedang dia cari.“Hallo, ian? Ada apa? Sorry, aku baru buka ponsel. Baru sampai di USA.” Sapa kakak iparnya itu yang kini sedang
Gara menutup sambungan teleponnya secara sepihak. Dia sudah cukup kesal serta kecewa pada Alvian yang sudah menyakiti adiknya. Gara juga tidak merasa bersalah mengenai dia yang sudah berbohong pada Alvian.Kenyataannya, Chava kini berada bersama Gara. Tengah malam adiknya itu datang ke rumah Gara dengan penampilan yang berantakan serta mata yang sembab. Beruntung saat itu Gara belum pergi ke USA, jadinya dia dapat mengajak Chava pergi bersamanya.“Apa yang di katakan Alvian, Bang?” Tanya Chava dari arah belakang Gara.Gara membalikan badan, dia pandangin adik perempuan satu – satunya itu dengan tatapan tajam, “untuk apa kamu ingin tahu tentang pria berengsek itu?” tanya Gara kembali pada Chava.“Aku cuman pengen tahu.” Jawab Chava yang kini menundukan kepala.Gara menghela napasnya, “dia nyariin kamu.” Ucap Gara yang akhirnya memberitahu Chava.Chava mengangkat kepalanya, merasa tertarik dengan perkataan Gara, “lalu?” Alis Chava kini saling bertemu.“Abang jawab enggak tahu, sesuai de
Alvian sudah sadarkan diri, orang yang pertama kali dia cari adalah Chava. Alvian juga sempat memberontak, ingin melepaskan alat infus yang dia pasang, dia ingin mencari Chava lagi.Namun hal itu berhasil di cegah oleh air mata yang di keluarkan oleh Jane, Alvian sangat lemah melihat air mata itu. Alhasil, berhari – hari di rawat, kini Alvian sudah sembuh. Pria itu bahkan sudah mulai bekerja lagi.Tok tok tok“Alvian?”Tatapan mata Alvian setajam elang, ketika dirinya melihat perempuan yang menjadi sebab akan kepergian istrinya. Wajah Alvian memerah, apalagi Aluna kini tersenyum cerah ke arah dirinya.“Aku masuk ya … “ Aluna kini berjalan ke arah Alvian, tanpa menunggu jawaban Alvian.Aluna bahkan tidak memedulikan Alvian yang menunjukan ekspresi ketidaksukaannya pada Aluna. Pria itu bahkan tidak mengatakan apapun.“Alvian, aku dengar kamu baru sembuh ya? Nih aku tadi masakin sup kesukaan kamu. Dimakan ya!” Ucap Aluna dengan meletakan tas yang berisi makanan ke meja Alvian.Alvian men
Sedari tadi Chava berguling kesana kemari, mencari posisi nyaman untuk tidur. Namun hasilnya nihil, bukan kenyamanan yang dia dapat, melainkan sprei kasur yang menjadi berantakan.Semenjak berjauhan dengan Alvian, Chava kesulitan untuk tertidur. Biasanya Chava akan tertidur di pelukan Alvian. Chava juga sudah terbiasa tidur ada yang menemani.Cklek!Pintu kamarnya tiba – tiba terbuka, dapat Chava lihat di ambang pintu kini ada keponakannya.“Ada apa, Art” Tanya Chava.“Aku boleh tidur sama Aunty, enggak? Aku tidak bisa tertidur.” Jawab anak yang berusia 5 tahun itu.Chava tersenyum lebar, ternyata bukan dia saja yang mengalami kesulitan untuk tertidur. “Boleh, sayang. Sini?” Ucap Chava yang kini melebarkan kedua tangannya.Artemis yang di ijinkan untuk tidur bersama tantenya, kini mengembangkan senyum. Dengan segera anak itu berlari dan melompat ke atas kasur Chava. Bahkan Artemis kini berbaring sambil memeluk Chava.Chava yang merasa gemas, menciumi wajah Artemis. Dia pandangi kepona
Alvian menghisap tembakau yang kini dia pegang dengan dua jarinya, kemudian dia keluarkan asapnya secara perlahan. Sudah beberapa hari ini, Alvian tidak pulang ke rumah miliknya dan Chava, dia menginap di rumah Ibunya.Jika dia pulang kesana, kesepian dan kesedihan Alvian akan sangat terasa. Setiap ruangan disana selalu mengingatkan Alvian pada Chava. Bukan maksud Alvian ingin melupakan Chava, dia masih mencari istrinya itu.Namun rasanya sungguh pengap dan sesak jika dia pulang ke rumah miliknya dan Chava.“Merokok terus.” Ujar Mario yang kini menghampiri sang kakak yang sedang merokok di balkon rumahnya.Alvian melirik Mario sekilas, dia tidak mempedulikan kehadiran Mario, dia kembali melanjutkan aktivitasnya. Alvian memang sudah bisa tertidur, namun hanya tiga jam saja, selebihnya dia akan bergadang.Dia akan menyibukan dirinya dengan bekerja di kegelapan malam, atau jika tidak ada kerjaan, Alvian akan merokok sampai habis beberapa batang sambil memikirkan Chava. Rutinitas yang san
Alvian menghela napas panjang sambil berbaring di sofa di ruang TV, menatap langit-langit dengan pikiran yang melayang-layang. Apa sebenarnya kesalahan yang telah ia lakukan pada Chava? Seharian ini, Chava menghindarinya, tak mau bicara sedikit pun. Ia bahkan melarang Alvian masuk ke kamar, membuatnya terpaksa tidur di ruang TV.Alvian sudah mencoba berbagai cara untuk meluluhkan hati Chava. Berkali-kali ia meminta maaf, meski ia sendiri tak merasa telah melakukan kesalahan yang cukup serius untuk membuat Chava marah. Namun, tetap saja Chava tak memberi respons.“Ting!”Ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan. Ia meraih ponsel yang terletak di sampingnya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Mata Alvian terbelalak. Pesan dari Chava itu langsung membuatnya bergegas.[ Cepat masuk ke kamar, kalau lima menit kamu enggak masuk, aku akan kunci lagi! ]Tanpa pikir panjang, Alvian segera melompat dari sofa dan berlari menuju kamar. Benar saja, pintu kamar yang tadinya terkunci kin
“Geli banget deh aku!” jerit Joya, begitu masuk ke dalam ruangan. Suaranya melengking, membuat Chava dan Binar langsung mengerutkan dahi. Joya baru tiba, tapi sudah menghebohkan suasana. Wajahnya menahan geli sekaligus ngeri, bahkan bahunya ikut bergidik.“Kenapa?” Binar bertanya, penasaran.Joya duduk di depan mereka, menarik napas sebelum mengeluarkan ponselnya. “Nih, lihat,” katanya sambil menunjuk layar ponselnya yang menampilkan foto Gavin, mantan pacar Chava, bersama seorang pria.Sekilas, foto itu terlihat biasa saja, hanya dua orang yang duduk bersama. Namun, ketika Chava dan Binar melihat caption foto itu, mereka langsung mengerti mengapa Joya sampai merinding. Tertulis dengan jelas: "My beloved, Gavin."Joya menarik kembali ponselnya, lalu menggeleng pelan sambil menghela napas. “Si Gavin, setelah putus dari kamu, jadi aneh banget kelakuannya. Masa pacaran sama sejenisnya, sih?”Faktanya, Chava memang sudah tahu soal ini sejak lama, bahkan kabar ini sempat membantunya untuk
Gavin melangkah keluar dari ruangan Alvian, berusaha tetap tenang meski hatinya bergolak. Situasi semakin tidak nyaman, dan yang lebih menghantam perasaannya adalah pengakuan mantan kekasihnya, Chava, bahwa ia telah menikah dengan Alvian. Meskipun Gavin sudah tahu hal ini lewat unggahan media sosial teman Chava, mendengarnya langsung dari mulut Chava menimbulkan rasa sakit yang mendalam.Sejenak, Gavin menyesali keputusannya di masa lalu. Seandainya saja ia bisa memperlakukan Chava dengan lebih baik, mungkin cincin yang melingkar di jari manis Chava adalah cincin dari dirinya, bukan dari Alvian. Ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan Chava dalam kondisi seperti ini.Saat Gavin mengetahui kerja sama yang datang dari perusahaan milik Alvian, Gavin langsung menyetujuinya. Gavin bahkan berani menunjukan wajahnya pada Alvian, padahal orang – orang yang pernah bekerja sama dengan dia tidak pernah ada yang tahu wajah Gavin. Gavin juga sengaja menyamarkan namanya.Hal tersebut dia lakuk
Hari ini hari pertama Alvian bekerja sama dengan Gavin, mereka akan bertemu. Pertemuan ini adalah awal dari rencana pembangunan kantor baru Alvian, namun rasa gelisah menguasai hatinya. Alvian merasa enggan, bahkan sedikit malas, untuk bertatap muka apalagi berbicara dengan Gavin.Namun, demi Chava, Alvian tahu ia harus melakukannya. Ia bertekad menyingkirkan perasaannya demi keprofesionalan dia.Saat pintu ruangannya terbuka, Alvian melihat Mario masuk lebih dulu, diikuti oleh Gavin di belakangnya. "Pak Alvian, ini Pak Gavin," kata Mario, mencoba mencairkan suasana dengan sapaan formal yang terdengar datar.Alvian bangkit dari kursinya, mengulurkan tangan dengan sikap profesional meskipun hatinya terasa berat. Ia sadar, bagaimanapun, Gavin adalah tamunya, dan sebagai tuan rumah, ia harus menunjukkan sikap yang baik. Dalam hatinya, ada perasaan campur aduk—rasa tidak nyaman yang tak bisa ia abaikan.Gavin menyambut uluran tangan Alvian dengan senyuman lebar, membuat suasana seakan-ak
Sepulang dari kantor, Alvian sama sekali tidak membuka mulut, suaranya pun tidak Chava dengar. Wajah Alvian memang terlihat sudah biasa saja, tidak menunjukan ekspresi marah seperti saat di Kantor tadi. Maka dari itu Chava simpulkan, suaminya masih kesal padanya.Chava melingkarkan kedua tangannya dari arah belakang pada dada Alvian yang sedang menyesap rokok elektronik di Rooftop rumahnya. Dia juga menempelkan kepalanya pada punggung Alvian. Alvian yang tiba – tiba saja dipeluk, membuat Alvian terkejut, namun tidak membuat dia berbalik untuk melihat Chava.“Masuk, Ca. Aku lagi ngerokok.” Akhirnya Alvian mengeluarkan suara hanya untuk memperingatkan Chava.Alvian jika ingin merokok, dia akan merokok di Rooftop ataupun ditempat lain yang tidak ada Chava. Karena Alvian tidak ingin membuat Chava terbatuk – batuk menghirup asap rokok.“Enggak mau,” tolak Chava, dia memang sengaja menyusul Alvian ke Rooftop untuk membujuk Alvian. Dia bahkan menahan agar dia tidak batuk saat asap rokok itu
Alvian sudah menjalankan rutinitas harian seperti biasanya, setelah mengetahui kondisi Chava mulai membaik. Bahkan istrinya itu sudah pulang ke rumah dua hari lalu. Hanya saja Dokter memberikan pesan pada Alvian, agar tetap mengawasi Chava.Tadinya Alvian menolak untuk pergi bekerja, dia berencana akan mengambil cuti kembali karena kondisi Chava. Namun Chava menolak, dia menyuruh Alvian untuk pergi bekerja, karena Chava tahu Alvian sudah banyak sekali tidak hadir. Meski perusahaan itu milik Alvian, tapi Chava ingin Alvian pula menepati peraturan yang dia buat.“Bos, apa kamu tahu siapa arsitek yang akan mendesain pembangunan kantor baru, kamu?” Tanya Mario yang kini sedang duduk diseberang Alvian.“Tidak, saya hanya tahu bahwa nama dia Alend.” Ucap Alvian yang tidak mengalihkan perhatian matanya saat Mario bertanya.Memang Alvian berencana untuk membangun kantor baru yang lebih luas dari kantornya sekarang. Alvian akan lebih banyak merekrut karyawan, apalagi penjualan dari usaha pakai
Perlahan demi perlahan kelopak mata Chava mulai terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah langit – langit ruangan yang sama sekali dia tidak kenali. Chava mengeryitkan dahi, mencoba mengingat hal yang terjadi.Terakhir kali dirinya sedang berbelanja bersama Alvian, kemudian dia menyuruh Alvian untuk ke mobil terlebih dahulu karena dia akan membawa kue Red velvet yang sudah dia pesan, ketika dia selesai membawa kue dia tidak sengaja menabrak seseorang. Seseorang itu adalah Gavin, mantan kekasihnya.Mendadak rasa takut itu mulai muncul kembali, tubuh Chava kembali menegang akan tetapi kini dia merasakan punggung tangan sebelah kirinya hangat.“Tenang, Sayang.” Suara Alvian kini terdengar merdu di telinga Chava, bagai melodi indah yang menenangkan.Chava menolehkan kepalanya, kini dia dapat melihat Alvian yang sedang duduk disampingnya dan mengembangkan senyuman. Pakaian Suaminya itu bahkan masih sama seperti terakhir kali dia pakai. Meski Alvian tersenyum, Chava bisa melihat tatapan p
“Bang ian, Teh Ca kenapa? Kok bisa sampai masuk Rumah sakit?!”Alvian terperanjat kaget, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba – tiba saja dikejutkan oleh suara adik iparnya yang baru saja memasuki ruangan Chava dengan tergesa – gesa. Bahkan adik iparnya itu, tidak berbasa – basi mengetuk pintu terlebih dahulu.“Ssst, jangan berisik!” Peringat Alvian pada Dylan, Chava masih belum bangun, dia tidak ingin istrinya itu terbangun karena terpaksa. “Ayo kita ngobrol di luar?” Lanjut Alvian kemudian beranjak dari duduknya, menghampiri Dylan yang masih berdiri dengan napas yang tersenggal – senggal.“Yaudah, ayo!” Ucap Dylan menyetujui Alvian.Alvian mengikuti langkah Dylan yang keluar terlebih dahulu. Tidak ada Gara, maka ada Dylan yang sifatnya sangat sama dengan teman dekatnya itu. Bahkan ketika dia mengabari Dylan lewat sambungan telepon, adik iparnya itu terdengar sangat panik.Chava memang beruntung soal keluarga, dia memiliki tiga orang Pria yang melindunginya, ada Papanya, Gara dan D
Chava dan Alvian sudah beres melakukan belanja bulanan, mereka membeli beberapa kebutuhan untuk satu bulan ke depan. Kegiatan ini sungguh menjadi kegiatan yang selama ini Chava inginkan, maka dari itu Chava sangat bersemangat. Alvian juga tidak banyak mendebat dan tidak banyak keinginan, dia lebih menurut apa yang Chava mau.Kini Chava sedang mengambil Kue red velvet di salah satu toko roti langganan dia, Chava juga sudah menyuruh Suaminya untuk menunggu di mobil, karena merasa kasihan jika Alvian harus membawa barang belanjaan di Mall sebesar ini.“Ini ya, Mbak, Cake red velvet ukuran mediumnya. Terima kasih telah berbelanja disini.” Ucap Sang kasir yang kemudian memberikan kue red velvet kesukaan Chava.Dengan antusias Chava menerima kue itu, mencium baunya saja sudah bisa membuat Chava merasa tidak sabar untuk memakan kue itu, “iya, Terima kasih kembali.” Jawab Chava.Chava mulai berjalan keluar dari Toko roti itu, bahkan Chava tidak melihat jalan dengan benar, pandangannya sibuk m