Dia membuka jendela yang terbentang dari langit-langit ke lantai dan angin dingin menerpanya, meniup rambut panjangnya.Dia melihat ke arah lautan tak berujung dan matahari keemasan yang bersinar tepat di atas permukaan laut. Saat angin melewatinya, gelombang demi gelombang terbentuk di lautan. Cabang-cabang pohon palem di samping juga mulai melambai.'Sungguh sebuah pemandangan yang indah.’'Tapi di mana tempat ini?'Madeline berpikir keras, berusaha sebaik mungkin untuk mengingat apakah dia pernah ke tempat ini, tapi tak ada yang menyangkut di dalam otaknya.Lalu, Jeremy kembali.Pria itu membawa semangkuk mi seafood dan segelas air hangat. Wajahnya yang menakjubkan tetap menyunggingkan seulas senyum.Ketika melihat Madeline tidak bergerak sama sekali di balkon, dia berkata, "Makanlah, Linnie."Madeline tetap tidak bergerak sampai beberapa saat lalu memiringkan kepalanya dan memasang ekspresi tajam."Apa yang kau rencanakan, Jeremy? Kau mau mengunciku di sini dan menyiksaku sampai ma
Sebilah pisau tajam dan berkilat ditujukan ke dada Jeremy.Jeremy menurunkan bulu-bulu matanya yang lebat dan menunduk, kemudian seulas seyum yang memabukkan muncul di wajahnya saat dia mengangkat kedua matanya.Dia menatap sepasang bola mata indah Madeline yang memberikan getaran berani yang luar biasa.Tampaknya Madeline serius mengenai hal itu dan tidak hanya mencoba menakut-nakuti Jeremy.Namun, Jeremy juga serius."Linnie,” panggilnya lembut. Dia tak gentar namun malah maju seinci lagi. Ujung pisau yang tajam sekarang terbenam dalam menembus kemejanya. Madeline tercengang karena dia tak pernah menyangka Jeremy akan mengambil inisiatif untuk menyambut tikaman pisau itu.Di saat yang sama, pria itu tetap tersenyum padanya."Linnie, aku tahu dirimu telah melupakan semua yang terjadi dulu, tapi tidak masalah karena aku masih mengingat semuanya," katanya sambil tersenyum, sepasang matanya tertuju pada Madeline."Saat itu ketika salju turun dengan lebatnya, aku melakukan hal yang sanga
"Jeremy, aku tak peduli kalau kau mau mati, tapi jangan mengotori tanganku." Madeline menatap pria itu dalam-dalam, dan tiba-tiba saja, detak jantungnya bertambah cepat.Dia kira dirinya akan senang mendengar bahwa seseorang yang dia benci mati-matian ingin mati, namun di saat ini, dia merasakan ketidaknyamanan yang ganjil.Melihat noda darah di kemeja putih Jeremy bertambah luas, air mata tiba-tiba menggenangi kedua matanya. Dia merasa bimbang dan dengan gugup mendorong pria itu menjauh. “Enyah kau, Jeremy, keluar dari sini! Bahkan jika kau mati di depanku, aku tak akan pernah memaafkanmu!"Dia mendorong pria itu sekuat tenaga, tapi Jeremy tetap berdiri tegak. Dia tak berhasil membuat pria itu menjauh tak peduli betapa kuat dia berusaha."Keluar kamu, Jeremy! Kalau kamu tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"Madeline bergegas menuju pintu, dan tepat di saat dirinya melewati pria itu, Jeremy memeluknya erat-erat dari belakang."Jangan pergi, Linnie.""Lepaskan aku!""Tidak, aku tak aka
Madeline memutar kedua bola matanya dan berkata dingin, "Lepaskan tanganku atau aku akan pergi sekarang juga."Jeremy buru-buru melepaskan genggamannya.Madeline tetap diam dan mengeluarkan desinfektan serta kain pembalut luka dari kotak P3K. Dia lalu membuka semua kancing kemeja Jeremy.Dengan sendirinya dada bidang Jeremy terlihat. Tidak seperti pria lain yang berkulit lebih gelap, Jeremy berkulit putih.Ini juga menciptakan kontras yang tinggi antara kulit dan darah di dadanya, membuatnya terlihat lebih mencolok.Meski luka itu tidak dalam, tetap saja mengkhawatirkan. Madeline menggunakan kapas yang dibasahi desinfektan untuk menyeka darah di lukanya. Kemudian, dia mengambil perban steril dan menempelkannya ke luka. Terakhir, dia mengamankan nya dengan selotip.Jeremy tetap diam dan hanya menatap Madeline dengan ekspresi kosong.Wanita itu begitu dekat. Wajah lembut dan cantiknya tertanam dalam melalui jendela jiwanya—sepasang matanya.Kedua alisnya yang ramping, bibirnya yang lembu
"Terima kasih."Madeline terjeda saat mendengar itu. Lalu, dia berjalan keluar.Sorot mata Jeremy lembut saat melihat kepergian Madeline. Dia makan mi dengan hati yang penuh dengan kegembiraan.Keduanya tidak makan apa pun sepanjang hari ini.Pada saat ini, dia senang sekali memakan semangkuk mi yang dimasak oleh Madeline....Eloise dan Sean sangat cemas ketika mengetahui bahwa Madeline masuk ke dalam mobil bersama Jeremy. Madeline terakhir kali terlihat di pintu masuk taman kanak-kanak.Mereka tak bisa menghubungi Jeremy atau Madeline. Mereka juga tidak bisa mengetahui kemana Jeremy membawa Madeline.Jackson duduk di sofa dengan anteng. Dia memandang kedua orang tua itu dengan tatapan bingung dan polos, bertanya, "Grandpa dan Granny, Daddy bilang kalau dia dan Mommy akan membawaku ke taman bermain. Dimana mereka?"Eloise buru-buru membujuk bocah itu dengan senyuman di wajahnya. "Jack, ada urusan yang harus ditangani orang tuamu. Mereka akan pulang dalam dua hari ini. Sekarang sudah
Dia merasa kecewa dan perlahan berjalan maju.Matahari pagi yang indah sangat kontras dengan birunya air laut. Juga menonjolkan fitur-fitur halus wanita di depannya.Madeline bertelanjang kaki dan duduk di tepi pantai.Dia memegang sesuatu di tangannya. Dia menunduk saat seulas senyum muncul di wajahnya.Saat mendengar langkah-langkah kaki, senyum manis di wajah Madeline lenyap begitu melihat Jeremy."Linnie."Madeline mengabaikannya, bangkit, dan berniat pergi.Jeremy merasa kesepian dan diam-diam mengikuti di belakangnya. Wanita itu secara fisik berada tepat di depannya, tapi terasa sangat jauh darinya."Dalam setengah jam, akan ada kapal yang tiba. Saat itu, kau bisa pergi."Madeline mendengar suara Jeremy dari belakang, lalu dia menjawab dengan lembut, "Aku tahu. Aku sudah pergi untuk memeriksanya."Jeremy tahu dia tak bisa membuat Madeline tinggal, jadi dia tertawa getir. "Kau akan berangkat ke Negara F dengan Felipe, ‘kan?""Itu bukan urusanmu."Madeline berhenti berjalan dan be
’Aku tidak layak untukmu. Selamat tinggal, Linnie tersayang, satu-satunya di hatiku.’Jeremy memandang Madeline untuk yang terakhir kalinya dan berbalik dalam diam.Air mata mengalir dari dalam, mengalir di kedua pipinya.Dia tahu bahwa itu semua adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Dia tak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya sendiri.‘Hatiku sangat sakit. Rasanya aku tak bisa bernapas.’Saat kapal semakin dekat, intensitas angin laut semakin meningkat.Angin mengacak-acak rambut Madeline. Dia mencoba merapikan rambutnya dan sekilas melihat Jeremy yang hendak pergi.Hati Madeline serasa ditusuk saat melihat Jeremy.Dalam keadaan linglung, sesuatu terjatuh dari tangannya.Dia membungkuk untuk mengambilnya. Sayangnya, dia tersandung dan kehilangan keseimbangan.Aaah! Jeremy, yang belum terlalu jauh berjalan, mendengar teriakan minta tolong Madeline. Kemudian, dia mendengar suara seseorang jatuh ke air.Detak jantungnya seketika meningkat. Saat berbalik, dia tidak melihat sosok
Perasaan Jeremy benar-benar hancur berantakan.Dia menundukkan kepalanya dengan putus asa dan menempelkannya ke kening halus Madeline.Tangannya yang gemetar dengan lembut membelai pipi Madeline yang hangat dan halus saat air mata panas yang tak bisa dia tahan mengalir turun."Mengapa kau sangat ingin menyiksa kami? Kenapa aku melakukan hal-hal bodoh seperti itu ketika dirimu sangat mencintaiku? Linnie, tolong jangan tinggalkan aku. Kumohon..."Jeremy memeluk wajah pucat Madeline, hatinya hancur berkeping-keping bersamaan dengan air matanya yang menetes saat rasa sakit menusuk tulang menyerang sekujur tubuhnya."Linnie, jika kau benar-benar ingin pergi ke dunia lain, aku akan menemanimu."Ujung-ujung jarinya yang hangat meraba-raba wajah Madeline sementara kedua matanya diselimuti kegelapan."Aku akan pergi kemanapun dirimu pergi di masa yang akan datang."Dia tersenyum, bibir tipisnya jatuh ke bibir Madeline saat dia mencium wanita itu dalam-dalam.Pada saat itulah Madeline terbatuk.