Madeline mengambil kesempatan untuk mengusir Jeremy dan menambahkan dengan nada yang jauh lebih dingin, "Aku tidak ingat apa yang terjadi sebelum aku kehilangan ingatanku, dan aku tidak berniat untuk mengingatnya. Sekarang, aku hanya memiliki kebencian terhadapmu, apa kau mengerti? Jangan datang dan cari aku. Aku tak ingin melihatmu lagi."Sepasang mata Madeline tampak dingin saat dia berbalik tanpa ampun. "Ayo pergi, Felipe.""Baiklah." Felipe bersikap sebagai pria sejati saat membukakan pintu untuk Madeline. Sebelum masuk ke dalam mobil, Felipe melirik Jeremy yang diam di tengah angin kencang. Mata Felipe berbinar-binar seolah baru keluar sebagai pemenang.Blaaar!Badai pertama mendarat di malam pertama musim panas.Mereka yang tidak berpayung berlari untuk menghindar dari hujan, kecuali Jeremy yang jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Dia masih berdiri di tengah hujan.Matanya menjadi lembap saat dirinya basah kuyup diguyur air hujan.Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan hanya mel
"Linnie! Linnie!"Di tengah kebingungannya, Madeline mendengar seseorang memanggilnya dengan gugup.Dia berusaha keras membuka kedua matanya namun semua usahanya berakhir dengan sia-sia.Setelah kehilangan kesadarannya, Madeline memulai mimpi panjangnya.Di sebuah daerah bersalju, dia bermimpi dirinya tenggelam di danau sedingin es. Dia tak bisa berenang dan berjuang untuk memanjat ke tepian. Jeremy ada di sana, berdiri di tepi danau.Pria itu berdiri tegak dan perkasa. Seulas senyum tak acuh terpampang di wajahnya yang menawan.Madeline berteriak, "Selamatkan aku, Jeremy!"Pria itu tidak bergerak sedikitpun dan bahkan menatapnya dengan hina.Cahaya tipis harapan yang Madeline pegang menghilang sedikit demi sedikit saat dia terus tenggelam lebih dalam ke dalam danau yang dingin.Menghadapi situasi putus asa seperti itu, dia melihat Meredith memeluk Jeremy. Mereka berdua bermesraan di depannya.Madeline merasakan jantungnya langsung tenggelam ke dasar danau. Pada saat itu, dia bisa deng
Dia membuka jendela yang terbentang dari langit-langit ke lantai dan angin dingin menerpanya, meniup rambut panjangnya.Dia melihat ke arah lautan tak berujung dan matahari keemasan yang bersinar tepat di atas permukaan laut. Saat angin melewatinya, gelombang demi gelombang terbentuk di lautan. Cabang-cabang pohon palem di samping juga mulai melambai.'Sungguh sebuah pemandangan yang indah.’'Tapi di mana tempat ini?'Madeline berpikir keras, berusaha sebaik mungkin untuk mengingat apakah dia pernah ke tempat ini, tapi tak ada yang menyangkut di dalam otaknya.Lalu, Jeremy kembali.Pria itu membawa semangkuk mi seafood dan segelas air hangat. Wajahnya yang menakjubkan tetap menyunggingkan seulas senyum.Ketika melihat Madeline tidak bergerak sama sekali di balkon, dia berkata, "Makanlah, Linnie."Madeline tetap tidak bergerak sampai beberapa saat lalu memiringkan kepalanya dan memasang ekspresi tajam."Apa yang kau rencanakan, Jeremy? Kau mau mengunciku di sini dan menyiksaku sampai ma
Sebilah pisau tajam dan berkilat ditujukan ke dada Jeremy.Jeremy menurunkan bulu-bulu matanya yang lebat dan menunduk, kemudian seulas seyum yang memabukkan muncul di wajahnya saat dia mengangkat kedua matanya.Dia menatap sepasang bola mata indah Madeline yang memberikan getaran berani yang luar biasa.Tampaknya Madeline serius mengenai hal itu dan tidak hanya mencoba menakut-nakuti Jeremy.Namun, Jeremy juga serius."Linnie,” panggilnya lembut. Dia tak gentar namun malah maju seinci lagi. Ujung pisau yang tajam sekarang terbenam dalam menembus kemejanya. Madeline tercengang karena dia tak pernah menyangka Jeremy akan mengambil inisiatif untuk menyambut tikaman pisau itu.Di saat yang sama, pria itu tetap tersenyum padanya."Linnie, aku tahu dirimu telah melupakan semua yang terjadi dulu, tapi tidak masalah karena aku masih mengingat semuanya," katanya sambil tersenyum, sepasang matanya tertuju pada Madeline."Saat itu ketika salju turun dengan lebatnya, aku melakukan hal yang sanga
"Jeremy, aku tak peduli kalau kau mau mati, tapi jangan mengotori tanganku." Madeline menatap pria itu dalam-dalam, dan tiba-tiba saja, detak jantungnya bertambah cepat.Dia kira dirinya akan senang mendengar bahwa seseorang yang dia benci mati-matian ingin mati, namun di saat ini, dia merasakan ketidaknyamanan yang ganjil.Melihat noda darah di kemeja putih Jeremy bertambah luas, air mata tiba-tiba menggenangi kedua matanya. Dia merasa bimbang dan dengan gugup mendorong pria itu menjauh. “Enyah kau, Jeremy, keluar dari sini! Bahkan jika kau mati di depanku, aku tak akan pernah memaafkanmu!"Dia mendorong pria itu sekuat tenaga, tapi Jeremy tetap berdiri tegak. Dia tak berhasil membuat pria itu menjauh tak peduli betapa kuat dia berusaha."Keluar kamu, Jeremy! Kalau kamu tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"Madeline bergegas menuju pintu, dan tepat di saat dirinya melewati pria itu, Jeremy memeluknya erat-erat dari belakang."Jangan pergi, Linnie.""Lepaskan aku!""Tidak, aku tak aka
Madeline memutar kedua bola matanya dan berkata dingin, "Lepaskan tanganku atau aku akan pergi sekarang juga."Jeremy buru-buru melepaskan genggamannya.Madeline tetap diam dan mengeluarkan desinfektan serta kain pembalut luka dari kotak P3K. Dia lalu membuka semua kancing kemeja Jeremy.Dengan sendirinya dada bidang Jeremy terlihat. Tidak seperti pria lain yang berkulit lebih gelap, Jeremy berkulit putih.Ini juga menciptakan kontras yang tinggi antara kulit dan darah di dadanya, membuatnya terlihat lebih mencolok.Meski luka itu tidak dalam, tetap saja mengkhawatirkan. Madeline menggunakan kapas yang dibasahi desinfektan untuk menyeka darah di lukanya. Kemudian, dia mengambil perban steril dan menempelkannya ke luka. Terakhir, dia mengamankan nya dengan selotip.Jeremy tetap diam dan hanya menatap Madeline dengan ekspresi kosong.Wanita itu begitu dekat. Wajah lembut dan cantiknya tertanam dalam melalui jendela jiwanya—sepasang matanya.Kedua alisnya yang ramping, bibirnya yang lembu
"Terima kasih."Madeline terjeda saat mendengar itu. Lalu, dia berjalan keluar.Sorot mata Jeremy lembut saat melihat kepergian Madeline. Dia makan mi dengan hati yang penuh dengan kegembiraan.Keduanya tidak makan apa pun sepanjang hari ini.Pada saat ini, dia senang sekali memakan semangkuk mi yang dimasak oleh Madeline....Eloise dan Sean sangat cemas ketika mengetahui bahwa Madeline masuk ke dalam mobil bersama Jeremy. Madeline terakhir kali terlihat di pintu masuk taman kanak-kanak.Mereka tak bisa menghubungi Jeremy atau Madeline. Mereka juga tidak bisa mengetahui kemana Jeremy membawa Madeline.Jackson duduk di sofa dengan anteng. Dia memandang kedua orang tua itu dengan tatapan bingung dan polos, bertanya, "Grandpa dan Granny, Daddy bilang kalau dia dan Mommy akan membawaku ke taman bermain. Dimana mereka?"Eloise buru-buru membujuk bocah itu dengan senyuman di wajahnya. "Jack, ada urusan yang harus ditangani orang tuamu. Mereka akan pulang dalam dua hari ini. Sekarang sudah
Dia merasa kecewa dan perlahan berjalan maju.Matahari pagi yang indah sangat kontras dengan birunya air laut. Juga menonjolkan fitur-fitur halus wanita di depannya.Madeline bertelanjang kaki dan duduk di tepi pantai.Dia memegang sesuatu di tangannya. Dia menunduk saat seulas senyum muncul di wajahnya.Saat mendengar langkah-langkah kaki, senyum manis di wajah Madeline lenyap begitu melihat Jeremy."Linnie."Madeline mengabaikannya, bangkit, dan berniat pergi.Jeremy merasa kesepian dan diam-diam mengikuti di belakangnya. Wanita itu secara fisik berada tepat di depannya, tapi terasa sangat jauh darinya."Dalam setengah jam, akan ada kapal yang tiba. Saat itu, kau bisa pergi."Madeline mendengar suara Jeremy dari belakang, lalu dia menjawab dengan lembut, "Aku tahu. Aku sudah pergi untuk memeriksanya."Jeremy tahu dia tak bisa membuat Madeline tinggal, jadi dia tertawa getir. "Kau akan berangkat ke Negara F dengan Felipe, ‘kan?""Itu bukan urusanmu."Madeline berhenti berjalan dan be