'Apa?!'Karen tak pernah menyangka kalau Madeline akan dengan berani menyebut dirinya bodoh pada kesempatan seperti ini.Meski statusnya tidak lagi sama seperti sebelumnya, sebagian besar orang di Glendale tahu Madeline adalah istri Jeremy. Dengan demikian, mereka juga akan tahu bahwa bibi yang disebutkan Madeline tidak lain adalah dirinya!Keributan pecah di tempat itu ketika para penonton mulai berdiskusi dengan panas.Jeremy sedang duduk tidak jauh dari situ. Wajahnya tertutup lapisan es tipis meskipun dia tidak berbicara.Eloise dan Sean, yang duduk di depan Karen, berbalik. "Karen, apa kau melakukan sesuatu untuk menyakiti putri ku lagi? Apa maksud pernyataan yang dilontarkan oleh keponakanmu itu?!" Eloise bertanya.Mendengar komentar Eloise, semua orang menyadari bahwa Karen adalah bibi bodoh yang disebutkan Madeline.Menghadapi begitu banyak tatapan curiga, Karen segera berdiri. "Madeline, apa yang kau ocehkan dalam situasi seperti ini? Aku masih ingin menjaga harga diriku meski
"Pantas saja bisnis Tuan Muda Whitman merosot drastis. Mungkin karena memiliki ibu seperti itu!""Tapi, Tuan Muda Whitman memiliki istri yang cakap. Aku yakin itu akan menjadi tugas yang mudah untuk memulai dari awal lagi."Setelah mendengar komentar dari para penonton, Karen mengambil tasnya sambil merasa malu dan kabur dari tempat kejadian.Dia tak punya pilihan selain melarikan diri dari tempat kejadian untuk mencegah penghinaan lebih lanjut."Keamanan, tolong keluarkan orang rendahan ini dari sini. Mari kita lanjutkan kompetisinya." Para juri memelototi Yvonne.Yvonne mengepalkan kedua tinjunya, rasa tidak puas muncul dari lubuk hatinya.“Jangan sentuh aku. Aku bisa jalan sendiri!"Dia marah dan mendorong petugas keamanan. Hanya setelah memelototi Madeline, dia bersedia meninggalkan tempat itu.Jeremy menurunkan pandangannya dan memegang tangan Madeline. "Linnie, kenapa kamu tidak memberitahuku bahwa mereka berencana melawanmu di belakang punggung mu ?"Madeline tersenyum dan berka
'Kita akan berpisah.'Kalimat yang terdengar familiar itu seperti tombak sedingin es yang menembus jantung Jeremy.Dia teringat kembali pada hari yang menentukan itu tiga tahun yang lalu.Madeline telah kehilangan penglihatannya dan datang ke upacara pertunangan nya dengan Meredith.Pada saat itu, wanita itu sudah sakit parah dan berada di ambang kematian.Namun, Madeline mengumpulkan setiap kekuatan yang tersisa di dalam dirinya untuk menopang tubuhnya sendiri dan berkata kepadanya dengan tegas, "Jeremy, terima kasih telah datang ke dalam hidupku. Terima kasih untuk semua kenangan indah yang telah kamu berikan padaku dulu. Namun, dengan ini aku kembalikan semuanya kepadamu, termasuk abuku. Mulai hari ini dan seterusnya, kita tidak saling berhutang budi lagi. Kuharap aku tidak akan bertemu denganmu di kehidupan selanjutnya…"Sekarang, wanita itu mengucapkan kalimat yang sama.Dia merasakan sebuah jepitan hatinya. Jeremy menatap wajah cantik Madeline, tak bisa berkata-kata.'Linnie, kau
Madeline mengambil kesempatan untuk mengusir Jeremy dan menambahkan dengan nada yang jauh lebih dingin, "Aku tidak ingat apa yang terjadi sebelum aku kehilangan ingatanku, dan aku tidak berniat untuk mengingatnya. Sekarang, aku hanya memiliki kebencian terhadapmu, apa kau mengerti? Jangan datang dan cari aku. Aku tak ingin melihatmu lagi."Sepasang mata Madeline tampak dingin saat dia berbalik tanpa ampun. "Ayo pergi, Felipe.""Baiklah." Felipe bersikap sebagai pria sejati saat membukakan pintu untuk Madeline. Sebelum masuk ke dalam mobil, Felipe melirik Jeremy yang diam di tengah angin kencang. Mata Felipe berbinar-binar seolah baru keluar sebagai pemenang.Blaaar!Badai pertama mendarat di malam pertama musim panas.Mereka yang tidak berpayung berlari untuk menghindar dari hujan, kecuali Jeremy yang jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Dia masih berdiri di tengah hujan.Matanya menjadi lembap saat dirinya basah kuyup diguyur air hujan.Dia memejamkan matanya rapat-rapat dan hanya mel
"Linnie! Linnie!"Di tengah kebingungannya, Madeline mendengar seseorang memanggilnya dengan gugup.Dia berusaha keras membuka kedua matanya namun semua usahanya berakhir dengan sia-sia.Setelah kehilangan kesadarannya, Madeline memulai mimpi panjangnya.Di sebuah daerah bersalju, dia bermimpi dirinya tenggelam di danau sedingin es. Dia tak bisa berenang dan berjuang untuk memanjat ke tepian. Jeremy ada di sana, berdiri di tepi danau.Pria itu berdiri tegak dan perkasa. Seulas senyum tak acuh terpampang di wajahnya yang menawan.Madeline berteriak, "Selamatkan aku, Jeremy!"Pria itu tidak bergerak sedikitpun dan bahkan menatapnya dengan hina.Cahaya tipis harapan yang Madeline pegang menghilang sedikit demi sedikit saat dia terus tenggelam lebih dalam ke dalam danau yang dingin.Menghadapi situasi putus asa seperti itu, dia melihat Meredith memeluk Jeremy. Mereka berdua bermesraan di depannya.Madeline merasakan jantungnya langsung tenggelam ke dasar danau. Pada saat itu, dia bisa deng
Dia membuka jendela yang terbentang dari langit-langit ke lantai dan angin dingin menerpanya, meniup rambut panjangnya.Dia melihat ke arah lautan tak berujung dan matahari keemasan yang bersinar tepat di atas permukaan laut. Saat angin melewatinya, gelombang demi gelombang terbentuk di lautan. Cabang-cabang pohon palem di samping juga mulai melambai.'Sungguh sebuah pemandangan yang indah.’'Tapi di mana tempat ini?'Madeline berpikir keras, berusaha sebaik mungkin untuk mengingat apakah dia pernah ke tempat ini, tapi tak ada yang menyangkut di dalam otaknya.Lalu, Jeremy kembali.Pria itu membawa semangkuk mi seafood dan segelas air hangat. Wajahnya yang menakjubkan tetap menyunggingkan seulas senyum.Ketika melihat Madeline tidak bergerak sama sekali di balkon, dia berkata, "Makanlah, Linnie."Madeline tetap tidak bergerak sampai beberapa saat lalu memiringkan kepalanya dan memasang ekspresi tajam."Apa yang kau rencanakan, Jeremy? Kau mau mengunciku di sini dan menyiksaku sampai ma
Sebilah pisau tajam dan berkilat ditujukan ke dada Jeremy.Jeremy menurunkan bulu-bulu matanya yang lebat dan menunduk, kemudian seulas seyum yang memabukkan muncul di wajahnya saat dia mengangkat kedua matanya.Dia menatap sepasang bola mata indah Madeline yang memberikan getaran berani yang luar biasa.Tampaknya Madeline serius mengenai hal itu dan tidak hanya mencoba menakut-nakuti Jeremy.Namun, Jeremy juga serius."Linnie,” panggilnya lembut. Dia tak gentar namun malah maju seinci lagi. Ujung pisau yang tajam sekarang terbenam dalam menembus kemejanya. Madeline tercengang karena dia tak pernah menyangka Jeremy akan mengambil inisiatif untuk menyambut tikaman pisau itu.Di saat yang sama, pria itu tetap tersenyum padanya."Linnie, aku tahu dirimu telah melupakan semua yang terjadi dulu, tapi tidak masalah karena aku masih mengingat semuanya," katanya sambil tersenyum, sepasang matanya tertuju pada Madeline."Saat itu ketika salju turun dengan lebatnya, aku melakukan hal yang sanga
"Jeremy, aku tak peduli kalau kau mau mati, tapi jangan mengotori tanganku." Madeline menatap pria itu dalam-dalam, dan tiba-tiba saja, detak jantungnya bertambah cepat.Dia kira dirinya akan senang mendengar bahwa seseorang yang dia benci mati-matian ingin mati, namun di saat ini, dia merasakan ketidaknyamanan yang ganjil.Melihat noda darah di kemeja putih Jeremy bertambah luas, air mata tiba-tiba menggenangi kedua matanya. Dia merasa bimbang dan dengan gugup mendorong pria itu menjauh. “Enyah kau, Jeremy, keluar dari sini! Bahkan jika kau mati di depanku, aku tak akan pernah memaafkanmu!"Dia mendorong pria itu sekuat tenaga, tapi Jeremy tetap berdiri tegak. Dia tak berhasil membuat pria itu menjauh tak peduli betapa kuat dia berusaha."Keluar kamu, Jeremy! Kalau kamu tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"Madeline bergegas menuju pintu, dan tepat di saat dirinya melewati pria itu, Jeremy memeluknya erat-erat dari belakang."Jangan pergi, Linnie.""Lepaskan aku!""Tidak, aku tak aka