Ekspresi Madeline berubah mendengar kata-kata Eloise. Tanda lahir. Rencananya akan dipaksa untuk diakhiri andaikan Eloise membicarakan tanda lahir di tubuhnya. “Tanda lahir apa?” Jeremy bertanya dengan penasaran. “Sebuah ku—” “Aku merasa sedikit pusing, Jeremy…” Kedua alis Madeline mengerut tepat di saat Eloise mulai mendeskripsikan tanda lahir berbentuk kupu-kupu itu. Dia kemudian bersandar lemah di dada Jeremy. Perhatian Jeremy seketika kembali ke Madeline. Dia langsung membawanya pergi. “Aku akan membawamu ke rumah sakit.” “Tidak usah, cuma capek saja kok,” jawab Madeline lembut saat menyandarkan dirinya ke bahu Jeremy. Entah mengapa mata Eloise dan Sean bersinar dengan kekhawatiran saat mereka menyaksikan Jeremy membawa Madeline pergi. Malam semakin kelam di kala angin menggesek dedaunan di pohon di depan bingkai jendela. Madeline berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, berpura-pura tidur meskipun dia bahkan tidak mengantuk. Malam ini adalah malam pertama mer
Bibir merah muda Madeline mengerucut saat dia menatap dengan acuh tak acuh wajah bahagia pria yang sedang tidur di hadapannya.‘Seingatku kau bilang kalau kau menderita insomnia selama tiga tahun belakangan ini?’ ‘Namun pagi ini tampaknya kau tidur dengan nyenyak.’‘Hmph. Pernahkah kau merasa bersalah atau tidak tenang dengan kematianku, Jeremy?’ ‘Tidak, kau tidak pernah.’ Madeline langsung membasuh wajahnya dan berganti pakaian setelah menyempatkan waktu untuk memberikan lirikan terakhir pada wajah pria itu. Keluar dari kamar, dia bertemu Jackson yang juga sedang keluar dari kamarnya. “Selamat pagi, Jack.’ Dia tersenyum dan menghampiri anak itu. “Sudah waktunya berangkat ke sekolah, ya? Kau mau Kakak Vera membuatkanmu sarapan?” Jackson mengedipkan matanya dan mengangguk dengan polos saat menatap Madeline. “Ya.” Emosi Madeline berkurang drastis saat menatap wajah menggemaskan bocah kecil itu. Meskipun pelayan sudah menyiapkan sarapan, Madeline memasak lagi. Sarapan yang lebih
Baik mata Madeline maupun Eloise membelalak mendengar komentar Jackson. Eloise Patton juga seorang desainer, jadi dia bisa menggambar kembali tanda lahir Madeline dengan sempurna di atas kertas A4. Madeline mulai mengira-ngira apakah Jackson pernah kebetulan lewat saat tanda lahirnya terlihat. “Kau pernah melihat kupu-kupu ini, Jack? Di mana?” Eloise membungkuk untuk menanyai bocah itu, keinginan kuat bersinar di kedua matanya yang berkaca-kaca. “Kenapa kau mencetak begitu banyak selebaran, Mrs. Montgomery? Apa kau mencoba untuk mencari putrimu?” Madeline dengan tenang mengalihkan topik pembicaraan. Eloise mengangguk. “Aku juga mengunggahnya ke dunia maya, namun semua selebaran ini hanya pilihan lain. Aku mencoba semua cara jika itu artinya aku bisa menemukan putriku!” Kata-katanya tidak mengandung maksud lain kecuali harapan dan ketulusan. Wanita itu sungguh-sungguh berharap bisa menemukan putrinya yang lama hilang. Madeline merasakan hatinya bergetar dan jantungnya terkepal d
Sean menatap Madeline dengan bingung. “Kenapa kau membawa istriku ke rumah sakit, Miss Quinn?” “Itu karena…” Madeline hampir memberikan penjelasan ketika suara isakan terdengar dari dalam kamar. Ekspresi Sean berubah dan dia segera berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Menghela nafas dalam-dalam, Madeline memasuki kamar seolah tak terjadi apa-apa. Eloise benar-benar sudah sadar dan wanita itu saat ini sedang menangis tersedu-sedu. Sean menghampiri istrinya dengan khawatir. “Ada apa, Ellie? Apa yang membuatmu begitu sedih?” Baru saat itulah Eloise tampaknya menyadari kehadiran Sean. Dia menatap suaminya dengan mata memerah karena tangisannya. Ada rasa sakit yang tak bisa dipulihkan dan tak bisa disembuhkan dalam tatapan sedihnya.“Kenapa Tuhan harus menghukum kita seperti ini, Sean? Kenapa…” Suara Eloise bergetar saat air mata berjatuhan bagaikan mutiara dari kedua matanya.Bingung, Sean merasakan hatinya bertambah panik. “Apa maksudmu, Ellie? Jangan menangis. Shh, tenanglah. B
Dalam waktu sepersekian detik, Eloise dan Sean mendengar teriakan Madeline.Meskipun beberapa saat sebelumnya Eloise telah bertekad untuk mengikuti putrinya ke alam baka, wanita itu berbalik karena terkejut dan memanjat kembali ke dalam setelah mendengar kata-kata Madeline. Air mata mengalir deras di kedua pipinya saat dia menatap Madeline yang berdiri tidak terlalu jauh. Dia linglung. Lewat air matanya yang berkilauan, dia menyadari bahwa gadis itu memiliki penampakan yang sama dengan yang terkubur dalam-dalam secara menyakitkan di benaknya. “Eveline-mu masih hidup, Mom. Kau tak perlu mati untukku,” kata Madeline sambil tersenyum lembut. “Turunlah. Dad semakin cemas, hmm?” “Eveline…” Eloise berjalan menjauh dari batas bahaya sambil menatap Madeline seperti kesurupan. Sean berkedip kosong pada Madeline untuk beberapa saat sebelum kembali tersadar dan menarik Eloise ke dalam kamar rumah sakit yang aman. Kemudian, dia mengunci pintu ke balkon. “Apa ... apa kau Madeline? Apa kau ben
Saat kau melihat keluar dari satu sisi jendela transparan setinggi langit-langit, kau akan melihat sebuah tepian sungai yang rimbun. Sisi lainnya mengizinkan mereka yang ada di kantor untuk mengawasi setiap jengkal kota di bawah. Sungguh sebuah tempat yang luar biasa untuk sebuah kantor, dan pastinya bukan tempat yang bisa dimiliki oleh sembarang Tom, Dick, atau Harry jika mereka mau. Dia pernah dicabut haknya untuk mengunjungi tempat ini.Jeremy adalah suaminya, dan sementara dia tidak pernah diizinkan masuk ke kantornya, pria itu membiarkan wanita lain datang dan pergi sesuka hati. Sepasang bibir Madeline melengkung ke atas saat dia diam-diam mengeluarkan makanan yang dibelinya. Dia tak akan pernah memakai celemek dan memasak untuk pria ini lagi, karena kerelaan apa pun yang dia beri dulu kini sudah tidak ada lagi. Jeremy jelas sedang dalam suasana hati yang bagus saat pria itu makan dengan gembira tanpa curiga apakah Madeline sendiri yang benar-benar memasak makanan itu atau tid
Madeline tak punya waktu lagi untuk menghentikan wanita itu saat Eloise terlanjur mengucapkan kalimat seperti itu.Untuk sesaat udara di sekitar mereka menjadi senyap, dan Madeline memperhatikan reaksi Jeremy lewat kedua sudut matanya. Ekspresi pria itu agak sedikit rumit, seakan dia barusan saja mendengar sebuah berita yang tak terduga. Namun, juga terlihat tenang.Madeline merenung selama beberapa detik sebelum memecahkan kesunyian. "Mr. Montgomery, Mrs. Montgomery, kalian sungguh-sungguh berpikir kalau Madeline adalah putri kandung kalian?"Eloise menatapnya, berucap, "Meskipun belum ada verifikasi secara ilmiah, aku sudah 90% yakin kalau Madeline adalah putriku!"Intonasi wanita itu sangat yakin, dan kedua matanya yang berkaca-kaca dengan selapis kabut menatap wajah Madeline dengan nostalgia yang tak tertandingi."Miss Vera punya seorang putri, benar?" Tiba-tiba Eloise bertanya.Madeline mengangguk. "Yeah.""Ketika aku melihat putrimu di pintu masuk taman kanak-kanak, aku terkejut
Madeline tersenyum dan hampir mengatakan sesuatu saat ponselnya berbunyi.Dia melihat ke layar dan ternyata itu dari Felipe.Dengan santai dia mengangkat telepon itu dan menutupnya setelah beberapa kalimat singkat."Jeremy, sesuatu terjadi di tokoku. Aku harus kesana sekarang.""Aku akan mengantarmu.""Tidak perlu, kita akan bertemu lagi malam ini,” jawab Madeline sambil berbalik. Saat dia hendak pergi, Jeremy mengulurkan tangannya dan memeluknya. Ketika Madeline menatap balik dengan ragu-ragu, Jeremy menundukkan kepalanya dan mencium bibirnya."Ciuman perpisahan.""..."Madeline menerimanya sambil tersenyum meskipun ingin menolak.Setelah melihat Madeline berbalik dan pergi, senyuman di sudut bibirnya berangsur-angsur menghilang sementara ketajaman di sepasang matanya memudar, hanya menyisakan sedikit penyesalan.Ketika Eloise mengatakan bahwa Madeline sebenarnya adalah putri kandungnya barusan, asumsi itu telah memberikan jawaban paling sempurna atas pertanyaan-pertanyaan yang membel