Sean menatap Madeline dengan bingung. “Kenapa kau membawa istriku ke rumah sakit, Miss Quinn?” “Itu karena…” Madeline hampir memberikan penjelasan ketika suara isakan terdengar dari dalam kamar. Ekspresi Sean berubah dan dia segera berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Menghela nafas dalam-dalam, Madeline memasuki kamar seolah tak terjadi apa-apa. Eloise benar-benar sudah sadar dan wanita itu saat ini sedang menangis tersedu-sedu. Sean menghampiri istrinya dengan khawatir. “Ada apa, Ellie? Apa yang membuatmu begitu sedih?” Baru saat itulah Eloise tampaknya menyadari kehadiran Sean. Dia menatap suaminya dengan mata memerah karena tangisannya. Ada rasa sakit yang tak bisa dipulihkan dan tak bisa disembuhkan dalam tatapan sedihnya.“Kenapa Tuhan harus menghukum kita seperti ini, Sean? Kenapa…” Suara Eloise bergetar saat air mata berjatuhan bagaikan mutiara dari kedua matanya.Bingung, Sean merasakan hatinya bertambah panik. “Apa maksudmu, Ellie? Jangan menangis. Shh, tenanglah. B
Dalam waktu sepersekian detik, Eloise dan Sean mendengar teriakan Madeline.Meskipun beberapa saat sebelumnya Eloise telah bertekad untuk mengikuti putrinya ke alam baka, wanita itu berbalik karena terkejut dan memanjat kembali ke dalam setelah mendengar kata-kata Madeline. Air mata mengalir deras di kedua pipinya saat dia menatap Madeline yang berdiri tidak terlalu jauh. Dia linglung. Lewat air matanya yang berkilauan, dia menyadari bahwa gadis itu memiliki penampakan yang sama dengan yang terkubur dalam-dalam secara menyakitkan di benaknya. “Eveline-mu masih hidup, Mom. Kau tak perlu mati untukku,” kata Madeline sambil tersenyum lembut. “Turunlah. Dad semakin cemas, hmm?” “Eveline…” Eloise berjalan menjauh dari batas bahaya sambil menatap Madeline seperti kesurupan. Sean berkedip kosong pada Madeline untuk beberapa saat sebelum kembali tersadar dan menarik Eloise ke dalam kamar rumah sakit yang aman. Kemudian, dia mengunci pintu ke balkon. “Apa ... apa kau Madeline? Apa kau ben
Saat kau melihat keluar dari satu sisi jendela transparan setinggi langit-langit, kau akan melihat sebuah tepian sungai yang rimbun. Sisi lainnya mengizinkan mereka yang ada di kantor untuk mengawasi setiap jengkal kota di bawah. Sungguh sebuah tempat yang luar biasa untuk sebuah kantor, dan pastinya bukan tempat yang bisa dimiliki oleh sembarang Tom, Dick, atau Harry jika mereka mau. Dia pernah dicabut haknya untuk mengunjungi tempat ini.Jeremy adalah suaminya, dan sementara dia tidak pernah diizinkan masuk ke kantornya, pria itu membiarkan wanita lain datang dan pergi sesuka hati. Sepasang bibir Madeline melengkung ke atas saat dia diam-diam mengeluarkan makanan yang dibelinya. Dia tak akan pernah memakai celemek dan memasak untuk pria ini lagi, karena kerelaan apa pun yang dia beri dulu kini sudah tidak ada lagi. Jeremy jelas sedang dalam suasana hati yang bagus saat pria itu makan dengan gembira tanpa curiga apakah Madeline sendiri yang benar-benar memasak makanan itu atau tid
Madeline tak punya waktu lagi untuk menghentikan wanita itu saat Eloise terlanjur mengucapkan kalimat seperti itu.Untuk sesaat udara di sekitar mereka menjadi senyap, dan Madeline memperhatikan reaksi Jeremy lewat kedua sudut matanya. Ekspresi pria itu agak sedikit rumit, seakan dia barusan saja mendengar sebuah berita yang tak terduga. Namun, juga terlihat tenang.Madeline merenung selama beberapa detik sebelum memecahkan kesunyian. "Mr. Montgomery, Mrs. Montgomery, kalian sungguh-sungguh berpikir kalau Madeline adalah putri kandung kalian?"Eloise menatapnya, berucap, "Meskipun belum ada verifikasi secara ilmiah, aku sudah 90% yakin kalau Madeline adalah putriku!"Intonasi wanita itu sangat yakin, dan kedua matanya yang berkaca-kaca dengan selapis kabut menatap wajah Madeline dengan nostalgia yang tak tertandingi."Miss Vera punya seorang putri, benar?" Tiba-tiba Eloise bertanya.Madeline mengangguk. "Yeah.""Ketika aku melihat putrimu di pintu masuk taman kanak-kanak, aku terkejut
Madeline tersenyum dan hampir mengatakan sesuatu saat ponselnya berbunyi.Dia melihat ke layar dan ternyata itu dari Felipe.Dengan santai dia mengangkat telepon itu dan menutupnya setelah beberapa kalimat singkat."Jeremy, sesuatu terjadi di tokoku. Aku harus kesana sekarang.""Aku akan mengantarmu.""Tidak perlu, kita akan bertemu lagi malam ini,” jawab Madeline sambil berbalik. Saat dia hendak pergi, Jeremy mengulurkan tangannya dan memeluknya. Ketika Madeline menatap balik dengan ragu-ragu, Jeremy menundukkan kepalanya dan mencium bibirnya."Ciuman perpisahan.""..."Madeline menerimanya sambil tersenyum meskipun ingin menolak.Setelah melihat Madeline berbalik dan pergi, senyuman di sudut bibirnya berangsur-angsur menghilang sementara ketajaman di sepasang matanya memudar, hanya menyisakan sedikit penyesalan.Ketika Eloise mengatakan bahwa Madeline sebenarnya adalah putri kandungnya barusan, asumsi itu telah memberikan jawaban paling sempurna atas pertanyaan-pertanyaan yang membel
Jeremy memegang ponselnya dalam diam, mendengarkan Sean memberitahunya hasil dari tes identifikasi itu kata demi kata…Nada bicara Sean sangat rumit. Ada kebahagiaan di sana, tapi masih ada sentuhan kesedihan dalam kegembiraan itu.Bisa dipastikan, setelah mendengarkan apa yang Sean katakan, tsunami melanda hati Jeremy."Jeremy, kau sudah pulang."Panggilan belum ditutup saat sebuah suara merdu terdengar di depannya.Jeremy mengangkat sepasang matanya dan melihat Madeline berjalan ke arahnya.Wajah indah yang tersembunyi jauh di dalam hatinya berangsur-angsur membesar di sepasang matanya yang dalam."Aku menunggumu pulang untuk makan malam." Madeline menghampiri Jeremy dan mengulurkan tangannya untuk membantu pria itu melepas jasnya.Jeremy diam-diam menutup telepon, sepasang matanya sepanjang waktu tertuju pada wajah Madeline yang dihiasi seulas senyum samar.Melihat Madeline berbalik untuk menggantung jasnya, dia tiba-tiba meraih pergelangan tangan wanita itu.Madeline menoleh ke bel
Eloise dan Sean mengikuti Jeremy dengan langkah-langkah kaki yang berat. Mereka akhirnya sampai di makam yang telah hancur berkeping-keping."Ini... Disini Madeline dimakamkan?" Mata Eloise membelalak karena terkejut.Dia benar-benar tak bisa menerima pemandangan di depannya.Makam itu hancur berantakan, dan bahkan batu nisannya pun hancur berkeping-keping sampai tak bisa lagi disatukan kembali."Meredith-lah yang menyebabkan kehancuran ini," jawab Jeremy ringan.Dua pasang mata Eloise dan Sean bersamaan menyala dalam amarah, tapi saat ini ada lebih banyak sakit hati dan kesedihan.Eloise meletakkan buket di tangannya, berjalan ke bongkahan bebatuan yang berserakan, dan perlahan berjongkok.Dia mengambil sepotong kecil batu nisan dan mengelusnya dengan lembut dan sangat hati-hati seolah-olah dia sedang memegang sebuah harta karun.Air mata penyesalan menetes diam-diam ke bebatuan, meninggalkan noda air mata yang berat."Putriku sayang..."Sean berjongkok dan memeluk Eloise, menangis da
Saat Eloise mengatakan itu, Jeremy dan Sean berbarengan menatapnya.Meskipun Madeline selama ini menganggap Len Samuels sebagai kakeknya, jelas sudah bahwa pria itu bukan kakek Madeline yang sesungguhnya.Bagaimana Eloise bisa tahu Len Samuels?"Eloise, kau sungguh-sungguh pernah melihat nama ini di rumah?" Sean terkejut.Entah itu seorang pelayan ataupun keluarga mereka atau teman-teman mereka, dia yakin kalau tak satupun dari mereka bernama Len Samuels.Eloise mengangguk dengan pasti. "Dengan Diana!"“Diana?" Jeremy sedikit mengerutkan keningnya."Dia pengurus rumah tangga kami. Dia sudah bekerja pada kami sejak berusia 20-an. Sudah selama 32 tahun." Eloise menjelaskan. "Aku melihat nama Len Samuels dari nama keluarganya.""Nama lengkap Diana adalah Diana Samuels, dan nama keluarganya adalah Samuels..." Mengatakan ini, emosi Eloise berangsur-angsur menjadi semakin gelisah saat sebuah dugaan tertentu muncul di hatinya."Sean, mungkinkah kalau... Kita harus pulang dan menanyakan hal in