Dia menggelengkan kepala dan menatap Felipe dalam kebingungan, yang membuat pria itu menceritakan sebuah kutipan mengejutkan dari masa lalunya. Dia akhirnya mengerti betapa beratnya rahasia yang Felipe simpan diam-diam di dalam hatinya… Sebelum dia bahkan bisa mencerna cerita Felipe, Madeline menerima telepon dari Jeremy. Kelembutan kembali ke kedua mata Felipe saat menyaksikan Madeline pergi. “Bagaimanapun juga, aku bukan pria sejati. Pria sejati macam apa yang mendorong wanita yang dia cintai jatuh ke dalam pelukan musuhnya?” Dia tersenyum samar, sebuah kilatan berbahaya berkilau di sepasang matanya. Menuruti permintaan Jeremy, Madeline tiba di lobi Whitman Corporation. Tepat ketika dia hendak masuk, Jeremy muncul dari pintu kaca. Kewibawaan terpancar dari setiap langkah yang diambil oleh pria itu. Memusatkan kedua matanya pada Madeline, bunga es di dalam tatapannya langsung mencair menjadi kehangatan yang lembut. “Kau terdengar tidak sabar di telepon. Apa kau perlu sesuatu
Ciuman Jeremy yang tiba-tiba itu mengejutkan Madeline. Pria itu bilang dirinya mencintainya. Dia mencintai seorang wanita yang terlihat sama persis dengan mantan istrinya yang dia benci. Sungguh menggelikan. ‘Kau tak pernah sedikit pun melirikku saat aku menghargaimu dan menganggapmu sebagai satu-satunya di hatiku.’ ‘Berani-beraninya kau mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku saat hatiku sudah menyerah dan tak ada apa pun yang tersisa kecuali rasa benci?’ ‘Terlambat sekali, Jeremy Whitman.’‘Meski jika kau jatuh cinta padaku sekarang, itu tak akan bisa menyembuhkan dan memulihkan semua luka yang kau timbulkan di hatiku.’Dengan alasan tidak enak badan, Madeline tidak membalas ciuman Jeremy. Tetap saja, dia dengan ‘gembira’ menerima lamaran Jeremy. Menatap birunya laut, Madeline mendapati dirinya mengaitkan kebencian di hatinya seperti gelombang dan ombak di hadapannya. ‘Inilah hutangmu padaku, Jeremy. Waktunya untuk melunasinya.’Jantung Jeremy mengencang saat dirinya menatap
Meskipun upacara itu bertentangan dengan keinginan hatinya, paling tidak dia senang karena Jackson bertugas sebagai penebar bunga. Di tengah para undangan, dia mendapati bahwa Eloise dan Sean juga hadir untuk memberikan restu mereka. Secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa dia telah mendapatkan persetujuan kedua orangtuanya. Sementara itu, Mrs. Whitman hanya terlihat kesal melihat situasi ini. Salah satu teman Mrs. Whitman, yang juga adalah istri seorang pria kaya, datang untuk mengucapkan selamat padanya. “Sungguh seorang menantu yang luar biasa, Mrs. Whitman. Gadis itu kaya, menguasai pekerjaannya, dan sangat cantik. Kali ini kau pasti puas, benar ‘kan?” “Terus kenapa kalau gadis itu kaya? Kayak Keluarga Whitman miskin saja! Kau bisa menemukan gadis cantik di seluruh dunia. Penampilan gadis itu biasa-biasa saja!” Mrs. Whitman memutar kedua matanya dengan penghinaan ke arah Madeline yang sedang minum dengan tanu-tamu lain. Setelah berbalik, dia menemukan Eloise dan Sean dan
Ekspresi Madeline berubah mendengar kata-kata Eloise. Tanda lahir. Rencananya akan dipaksa untuk diakhiri andaikan Eloise membicarakan tanda lahir di tubuhnya. “Tanda lahir apa?” Jeremy bertanya dengan penasaran. “Sebuah ku—” “Aku merasa sedikit pusing, Jeremy…” Kedua alis Madeline mengerut tepat di saat Eloise mulai mendeskripsikan tanda lahir berbentuk kupu-kupu itu. Dia kemudian bersandar lemah di dada Jeremy. Perhatian Jeremy seketika kembali ke Madeline. Dia langsung membawanya pergi. “Aku akan membawamu ke rumah sakit.” “Tidak usah, cuma capek saja kok,” jawab Madeline lembut saat menyandarkan dirinya ke bahu Jeremy. Entah mengapa mata Eloise dan Sean bersinar dengan kekhawatiran saat mereka menyaksikan Jeremy membawa Madeline pergi. Malam semakin kelam di kala angin menggesek dedaunan di pohon di depan bingkai jendela. Madeline berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, berpura-pura tidur meskipun dia bahkan tidak mengantuk. Malam ini adalah malam pertama mer
Bibir merah muda Madeline mengerucut saat dia menatap dengan acuh tak acuh wajah bahagia pria yang sedang tidur di hadapannya.‘Seingatku kau bilang kalau kau menderita insomnia selama tiga tahun belakangan ini?’ ‘Namun pagi ini tampaknya kau tidur dengan nyenyak.’‘Hmph. Pernahkah kau merasa bersalah atau tidak tenang dengan kematianku, Jeremy?’ ‘Tidak, kau tidak pernah.’ Madeline langsung membasuh wajahnya dan berganti pakaian setelah menyempatkan waktu untuk memberikan lirikan terakhir pada wajah pria itu. Keluar dari kamar, dia bertemu Jackson yang juga sedang keluar dari kamarnya. “Selamat pagi, Jack.’ Dia tersenyum dan menghampiri anak itu. “Sudah waktunya berangkat ke sekolah, ya? Kau mau Kakak Vera membuatkanmu sarapan?” Jackson mengedipkan matanya dan mengangguk dengan polos saat menatap Madeline. “Ya.” Emosi Madeline berkurang drastis saat menatap wajah menggemaskan bocah kecil itu. Meskipun pelayan sudah menyiapkan sarapan, Madeline memasak lagi. Sarapan yang lebih
Baik mata Madeline maupun Eloise membelalak mendengar komentar Jackson. Eloise Patton juga seorang desainer, jadi dia bisa menggambar kembali tanda lahir Madeline dengan sempurna di atas kertas A4. Madeline mulai mengira-ngira apakah Jackson pernah kebetulan lewat saat tanda lahirnya terlihat. “Kau pernah melihat kupu-kupu ini, Jack? Di mana?” Eloise membungkuk untuk menanyai bocah itu, keinginan kuat bersinar di kedua matanya yang berkaca-kaca. “Kenapa kau mencetak begitu banyak selebaran, Mrs. Montgomery? Apa kau mencoba untuk mencari putrimu?” Madeline dengan tenang mengalihkan topik pembicaraan. Eloise mengangguk. “Aku juga mengunggahnya ke dunia maya, namun semua selebaran ini hanya pilihan lain. Aku mencoba semua cara jika itu artinya aku bisa menemukan putriku!” Kata-katanya tidak mengandung maksud lain kecuali harapan dan ketulusan. Wanita itu sungguh-sungguh berharap bisa menemukan putrinya yang lama hilang. Madeline merasakan hatinya bergetar dan jantungnya terkepal d
Sean menatap Madeline dengan bingung. “Kenapa kau membawa istriku ke rumah sakit, Miss Quinn?” “Itu karena…” Madeline hampir memberikan penjelasan ketika suara isakan terdengar dari dalam kamar. Ekspresi Sean berubah dan dia segera berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Menghela nafas dalam-dalam, Madeline memasuki kamar seolah tak terjadi apa-apa. Eloise benar-benar sudah sadar dan wanita itu saat ini sedang menangis tersedu-sedu. Sean menghampiri istrinya dengan khawatir. “Ada apa, Ellie? Apa yang membuatmu begitu sedih?” Baru saat itulah Eloise tampaknya menyadari kehadiran Sean. Dia menatap suaminya dengan mata memerah karena tangisannya. Ada rasa sakit yang tak bisa dipulihkan dan tak bisa disembuhkan dalam tatapan sedihnya.“Kenapa Tuhan harus menghukum kita seperti ini, Sean? Kenapa…” Suara Eloise bergetar saat air mata berjatuhan bagaikan mutiara dari kedua matanya.Bingung, Sean merasakan hatinya bertambah panik. “Apa maksudmu, Ellie? Jangan menangis. Shh, tenanglah. B
Dalam waktu sepersekian detik, Eloise dan Sean mendengar teriakan Madeline.Meskipun beberapa saat sebelumnya Eloise telah bertekad untuk mengikuti putrinya ke alam baka, wanita itu berbalik karena terkejut dan memanjat kembali ke dalam setelah mendengar kata-kata Madeline. Air mata mengalir deras di kedua pipinya saat dia menatap Madeline yang berdiri tidak terlalu jauh. Dia linglung. Lewat air matanya yang berkilauan, dia menyadari bahwa gadis itu memiliki penampakan yang sama dengan yang terkubur dalam-dalam secara menyakitkan di benaknya. “Eveline-mu masih hidup, Mom. Kau tak perlu mati untukku,” kata Madeline sambil tersenyum lembut. “Turunlah. Dad semakin cemas, hmm?” “Eveline…” Eloise berjalan menjauh dari batas bahaya sambil menatap Madeline seperti kesurupan. Sean berkedip kosong pada Madeline untuk beberapa saat sebelum kembali tersadar dan menarik Eloise ke dalam kamar rumah sakit yang aman. Kemudian, dia mengunci pintu ke balkon. “Apa ... apa kau Madeline? Apa kau ben