’Kau masih hidup, Maddie.’ ‘Belum lagi, hidupmu luar biasa sekarang.’ ‘Syukurlah…’ Setelah mengakui identitasnya, Madeline menceritakan pengalamannya selama tiga tahun terakhir serta apa yang akan dilakukannya pada kedua sahabatnya itu.Dengan mata memerah, Ava menghela nafas lalu menoleh dan menatap Daniel yang putus asa. “Tidak mungkin, Maddie. Jangan bilang kau sungguh-sungguh akan menikahi Jeremy lagi! Dia hampir membunuhmu! Karena berita pernikahanmu dengan Jeremy-lah yang memaksa Dan dan aku menggunakan cara sedemikian rupa untuk membuatmu mengakui bahwa kamu adalah Maddie.” Dengan kata-kata itu, Ava dengan bangga menabrakkan bahunya dengan bahu Madeline. “Aku tahu dirimu masih peduli padaku, Maddie. Untuk tes ini, kau lulus dengan gemilang!” Madeline tersenyum sebelum mengumpulkan semua emosinya, dia menjadi serius. “Pernikahanku dengan Jeremy adalah sebuah keharusan. Aku harus menikahi pria itu.” “Kenapa?” Ava tak mengerti. “Apa kau lupa bagaimana dia dan Meredith memper
Madeline sudah sampai di pintu saat mendengar Meredith meneriakkan kata-kata itu. Percikan harapan menyala di kedua matanya yang membeku. Jantungnya juga berpacu, jauh melebihi apa yang tubuhnya bisa terima. Meski masih curiga, dia perlahan berbalik dan menaikkan tatapannya. “Kau tahu pasti bahwa fakta seperti itu tak lantas membuatmu menjadi seorang wanita yang tak bersalah.” Sepasang mata Meredith yang memerah memelototinya. “Aku tidak bohong! Anakmu masih hidup. Aku mengatakan kalau dia mati hanya untuk membuatmu merasa hancur. Aku menyembunyikan anakmu agar aku bisa menggunakan anak itu sebagai alat tawar menawar suatu hari nanti!” Madeline menenangkan hati dan emosinya saat perlahan menghampiri Meredith. “Mana buktinya? Katakan padaku kenapa aku harus percaya padamu.” “Kau pilih percaya kalau anakmu hidup atau mati?” Meredith membalas dengan sebuah seringai, karena dia tahu Madeline sangat peduli dengan anak yang tak pernah dia lihat itu.Benar-benar tak pernah terlintas dala
Dia menggelengkan kepala dan menatap Felipe dalam kebingungan, yang membuat pria itu menceritakan sebuah kutipan mengejutkan dari masa lalunya. Dia akhirnya mengerti betapa beratnya rahasia yang Felipe simpan diam-diam di dalam hatinya… Sebelum dia bahkan bisa mencerna cerita Felipe, Madeline menerima telepon dari Jeremy. Kelembutan kembali ke kedua mata Felipe saat menyaksikan Madeline pergi. “Bagaimanapun juga, aku bukan pria sejati. Pria sejati macam apa yang mendorong wanita yang dia cintai jatuh ke dalam pelukan musuhnya?” Dia tersenyum samar, sebuah kilatan berbahaya berkilau di sepasang matanya. Menuruti permintaan Jeremy, Madeline tiba di lobi Whitman Corporation. Tepat ketika dia hendak masuk, Jeremy muncul dari pintu kaca. Kewibawaan terpancar dari setiap langkah yang diambil oleh pria itu. Memusatkan kedua matanya pada Madeline, bunga es di dalam tatapannya langsung mencair menjadi kehangatan yang lembut. “Kau terdengar tidak sabar di telepon. Apa kau perlu sesuatu
Ciuman Jeremy yang tiba-tiba itu mengejutkan Madeline. Pria itu bilang dirinya mencintainya. Dia mencintai seorang wanita yang terlihat sama persis dengan mantan istrinya yang dia benci. Sungguh menggelikan. ‘Kau tak pernah sedikit pun melirikku saat aku menghargaimu dan menganggapmu sebagai satu-satunya di hatiku.’ ‘Berani-beraninya kau mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku saat hatiku sudah menyerah dan tak ada apa pun yang tersisa kecuali rasa benci?’ ‘Terlambat sekali, Jeremy Whitman.’‘Meski jika kau jatuh cinta padaku sekarang, itu tak akan bisa menyembuhkan dan memulihkan semua luka yang kau timbulkan di hatiku.’Dengan alasan tidak enak badan, Madeline tidak membalas ciuman Jeremy. Tetap saja, dia dengan ‘gembira’ menerima lamaran Jeremy. Menatap birunya laut, Madeline mendapati dirinya mengaitkan kebencian di hatinya seperti gelombang dan ombak di hadapannya. ‘Inilah hutangmu padaku, Jeremy. Waktunya untuk melunasinya.’Jantung Jeremy mengencang saat dirinya menatap
Meskipun upacara itu bertentangan dengan keinginan hatinya, paling tidak dia senang karena Jackson bertugas sebagai penebar bunga. Di tengah para undangan, dia mendapati bahwa Eloise dan Sean juga hadir untuk memberikan restu mereka. Secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa dia telah mendapatkan persetujuan kedua orangtuanya. Sementara itu, Mrs. Whitman hanya terlihat kesal melihat situasi ini. Salah satu teman Mrs. Whitman, yang juga adalah istri seorang pria kaya, datang untuk mengucapkan selamat padanya. “Sungguh seorang menantu yang luar biasa, Mrs. Whitman. Gadis itu kaya, menguasai pekerjaannya, dan sangat cantik. Kali ini kau pasti puas, benar ‘kan?” “Terus kenapa kalau gadis itu kaya? Kayak Keluarga Whitman miskin saja! Kau bisa menemukan gadis cantik di seluruh dunia. Penampilan gadis itu biasa-biasa saja!” Mrs. Whitman memutar kedua matanya dengan penghinaan ke arah Madeline yang sedang minum dengan tanu-tamu lain. Setelah berbalik, dia menemukan Eloise dan Sean dan
Ekspresi Madeline berubah mendengar kata-kata Eloise. Tanda lahir. Rencananya akan dipaksa untuk diakhiri andaikan Eloise membicarakan tanda lahir di tubuhnya. “Tanda lahir apa?” Jeremy bertanya dengan penasaran. “Sebuah ku—” “Aku merasa sedikit pusing, Jeremy…” Kedua alis Madeline mengerut tepat di saat Eloise mulai mendeskripsikan tanda lahir berbentuk kupu-kupu itu. Dia kemudian bersandar lemah di dada Jeremy. Perhatian Jeremy seketika kembali ke Madeline. Dia langsung membawanya pergi. “Aku akan membawamu ke rumah sakit.” “Tidak usah, cuma capek saja kok,” jawab Madeline lembut saat menyandarkan dirinya ke bahu Jeremy. Entah mengapa mata Eloise dan Sean bersinar dengan kekhawatiran saat mereka menyaksikan Jeremy membawa Madeline pergi. Malam semakin kelam di kala angin menggesek dedaunan di pohon di depan bingkai jendela. Madeline berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam, berpura-pura tidur meskipun dia bahkan tidak mengantuk. Malam ini adalah malam pertama mer
Bibir merah muda Madeline mengerucut saat dia menatap dengan acuh tak acuh wajah bahagia pria yang sedang tidur di hadapannya.‘Seingatku kau bilang kalau kau menderita insomnia selama tiga tahun belakangan ini?’ ‘Namun pagi ini tampaknya kau tidur dengan nyenyak.’‘Hmph. Pernahkah kau merasa bersalah atau tidak tenang dengan kematianku, Jeremy?’ ‘Tidak, kau tidak pernah.’ Madeline langsung membasuh wajahnya dan berganti pakaian setelah menyempatkan waktu untuk memberikan lirikan terakhir pada wajah pria itu. Keluar dari kamar, dia bertemu Jackson yang juga sedang keluar dari kamarnya. “Selamat pagi, Jack.’ Dia tersenyum dan menghampiri anak itu. “Sudah waktunya berangkat ke sekolah, ya? Kau mau Kakak Vera membuatkanmu sarapan?” Jackson mengedipkan matanya dan mengangguk dengan polos saat menatap Madeline. “Ya.” Emosi Madeline berkurang drastis saat menatap wajah menggemaskan bocah kecil itu. Meskipun pelayan sudah menyiapkan sarapan, Madeline memasak lagi. Sarapan yang lebih
Baik mata Madeline maupun Eloise membelalak mendengar komentar Jackson. Eloise Patton juga seorang desainer, jadi dia bisa menggambar kembali tanda lahir Madeline dengan sempurna di atas kertas A4. Madeline mulai mengira-ngira apakah Jackson pernah kebetulan lewat saat tanda lahirnya terlihat. “Kau pernah melihat kupu-kupu ini, Jack? Di mana?” Eloise membungkuk untuk menanyai bocah itu, keinginan kuat bersinar di kedua matanya yang berkaca-kaca. “Kenapa kau mencetak begitu banyak selebaran, Mrs. Montgomery? Apa kau mencoba untuk mencari putrimu?” Madeline dengan tenang mengalihkan topik pembicaraan. Eloise mengangguk. “Aku juga mengunggahnya ke dunia maya, namun semua selebaran ini hanya pilihan lain. Aku mencoba semua cara jika itu artinya aku bisa menemukan putriku!” Kata-katanya tidak mengandung maksud lain kecuali harapan dan ketulusan. Wanita itu sungguh-sungguh berharap bisa menemukan putrinya yang lama hilang. Madeline merasakan hatinya bergetar dan jantungnya terkepal d