Madeline mau tak mau menghentikan langkahnya. Ia menatap Meredith yang mengatakan kata-kata itu saat selapis keraguan perlahan muncul di hatinya.Mengapa masa lalu Mereith dan Jeremy sama persis dengan pengalamannya bersama Jeremy dulu?Lagi pula, bukankah April Hill juga tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya?"Jeremy, aku tak butuh apa-apa, tapi aku benar-benar tak bisa kehilangan dirimu. Tolong jangan tinggalkan aku, oke?" Suara lembut Meredith menarik kembali lamunan Madeline.Ia melihat kedua mata Meredith penuh dengan air mata saat gadis itu menatap Jeremy dengan sebuah tatapan penuh harap.Meskipun Jeremy belum merespons, pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan untuk membalut luka Meredith. Dia masih sangat memperdulikan Meredith."Jeremy...""Berhenti bicara. Aku akan membawamu ke rumah sakit."Meredith menatap Jeremy dengan penuh kasih sayang "Jeremy, dengan kau ada di sini menemaniku, aku tak akan merasa kesakitan. Aku tahu dirimu akan melindungiku selamanya."Madeline
Tidak akan.Melihat Madeline berbalik dan hendak pergi, Jeremy menarik kedua sudut bibirnya menjadi sebuah senyuman. "Miss Vera, kau sepertinya ingin menarik sebuah garis yang jelas denganku?"Madeline menoleh dan tertawa kecil. "Mr. Whitman, Anda dan saya selama ini hanyalah orang-orang yang lewat. Tak perlu menarik garis yang jelas."Cepat-cepat ia membawa Lilly ke mobil dan kembali ke apartemen.Sesaat setelah selesai mandi, ia bersiap menidurkan Lilly ketika ponselnya berdering lagi.Setelah melihat siapa yang menelepon, ternyata itu adalah Meredith.Madeline berjalan ke balkon untuk menjawab teleponnya, dan suara interogasi Meredith terdengar dari ujung satunya, "Vera Quinn, di mana Jeremy sekarang? Apa kau sedang bersamanya?"Madeline tertawa dalam suara rendah. "Miss Crawford, kenapa Anda datang padaku untuk bertanya apakah tunangan Anda hilang? Anda benar-benar menarik.""Vera Quinn, kau tak perlu berpura-pura! Bukankah operasi plastikmu supaya mirip dengan mantan istri Jeremy
Suara itu terdengar familiar dan saraf-sarafnya mengatakan padanya kalau pemilik suara itu membuatnya sangat muak.Ia memutar kedua matanya ke atas dan melihat ke samping. Lampu-lampu di koridor sangat terang dan Madeline tak bisa melihat dengan jelas wajah jelek dan kasar Tanner muncul dalam pandangannya.Ketika Tanner mabuk, dia mengira kalau wanita ini hanya terlihat sedikit familier saat melihat profilnya sampingnya. Akan tetapi, sekarang setelah dia bisa melihat wajah Madeline dengan jelas, dia seketika syok! Dia mundur, lagi dan lagi, dan sebagai hasilnya, dua kakinya tersandung. Dia jatuh tertelungkup.Madeline berdiri tenang di pintu masuk ruangan, melihat Tanner berubah menjadi pucat terbalut ketakutan. Dia terlihat seperti merangkak mundur dalam kepanikan, dan Madeline tersenyum cerah dengan kedua sudut bibir indahnya."Tuan… Ada masalah?" Ia bertanya dengan senyum penuh teka teki tersungging di wajah cantiknya. "Apa kau baik-baik saja? Apakah kau ingin aku membantumu berdiri
Ia mencoba menarik kembali tangannya, namun Jeremy sepertinya tak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskan. “Tolong lepaskan saya, Mr. Whitman.” “Aku tak akan membiarkanmu pergi lagi.” Apa? Madeline terkejut dengan pengakuan Jeremy yang tak terduga. Ia berbalik menatap pria ini dalam kebingungan, tak menyangka Jeremy akan tiba-tiba menariknya ke dalam pelukannya. Karena ia memakai sepatu hak tinggi, Madeline kehilangan pijakan kakinya karena sentakan yang mendadak dan jatuh menimpa tubuh Jeremy. Untuk sepersekian detik, ia merasakan kehangatan yang akrab meskipun mereka berjauhan. Jeremy mungkin tak pernah mencintainya, tapi itu tak berarti tidak ada apa pun yang pernah terjadi di antara mereka. Cepat-cepat menguasai kembali emosinya, Madeline mencoba untuk mendorong dirinya sendiri lepas dari tubuh pria ini hanya untuk Jeremy melingkarkan satu lengannya di pinggangnya. “Apa yang Anda lakukan, Mr. Whitman?” Karena merasa tidak nyaman, Madeline berusaha melepaskan diri dari re
Meredith berlari ke arah mereka bagaikan perempuan gila, sama sekali melupakan citranya yang lembut dan baik di depan Jeremy. Dia mengangkat botol itu dan mengarahkannya ke wajah Madeline. Di saat kritis itu, Jeremy mengangkat tangannya untuk menghentikan Meredith. Dia menarik Madeline ke belakangnya. Mabuk, seperti yang mungkin terlihat beberapa saat yang lalu, Jeremy sekarang memelototi Meredith dengan tatapan tidak senang, dalam kondisi benar-benar sadar.“Apa yang kau lakukan?” Melihat Jeremy melindungi Madeline membuat Meredith berjuang keras untuk tetap murka. Namun, dia juga tahu bahwa air mata dan bertindak lemah adalah satu-satunya hal yang dapat dia lakukan dalam situasi ini. “Aku sebenarnya tidak ingin memukulnya, Jeremy. Aku hanya tidak ingin melihat wanita ini selalu bersamamu." Dia mengeluh dengan nada dizalimi, meletakkan botol itu kembali. “Tidakkah kau tahu, Jeremy? Dia bahkan melakukan operasi plastik supaya terlihat seperti Madeline agar bisa menarik perhatianm
Tatapan Jackson dengan cepat beralih saat melihat senyuman Meredith. “Aku perlu Dad untuk menandatangani sesuatu.” Meredith tersenyum hangat saat buku kerja ditangan Jackson menarik perhatiannya. “Bagaimana kalau aku yang menandatanganinya saja?” Jackson mencubit sudut buku kerjanya dan berpaling untuk menatap Jeremy dengan penuh harap. “Biarkan ibumu saja yang menandatanganinya. Jangan tidur terlalu larut.” Kemudian, Jeremy menutup pintu kamarnya. Menatap pintu yang tertutup, semua cahaya di sepasang mata Jackson digantikan oleh ketakutan dan kegelapan yang tak dikenal. Berbalik, dia berjalan dengan cepat ke kamarnya sendiri. Ditolak oleh pintu, Meredith segera menjatuhkan senyuman di wajahnya. Benar-benar kesal, dia berjalan ke kamar Jackson. Dia menendang pintu terbuka tepat di saat bocah itu akan menutupnya. Kata 'Mom' sudah ada di ujung lidah Jackson, namun dia tak berani memanggil Meredith sama sekali. “Ada apa, Jack? Aku ibumu. Kenapa kau selalu terlihat sedih setiap k
“Apakah itu kau, Maddie?” Menatap Madeline dengan serius, Jackson akhirnya mengerahkan keberaniannya untuk bertanya. Terpana sejenak, Madeline lalu menjawab sambil tersenyum, “Hei, Sobat. Aku ibu Lilian. Aku bisa memberitahumu namaku kalau kau mau? Senang bertemu denganmu, aku Vera Quinn.” Ia memperkenalkan dirinya dengan sebuah senyuman, menyadari bahwa Jackson sedang menganalisanya. Wajah mungil di depan matanya adalah salah satu fitur yang sangat indah, hasil dari gen ulung Jeremy. Untuk beberapa alasan, Madeline merasa ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih mendesak di dalam bola arwah Jackson yang berwarna onyx. Mungkin karena cahayanya. Masalah apa yang bisa dimiliki oleh anak kecil seperti itu? Kenangan tentang bagaimana Meredith telah menyayat pipi Jackson untuk menjebaknya muncul di benak Madeline. Ia masih ingat betapa banyaknya darah mengalir dan bagaimana anak laki-laki itu meratap. Pasti sangat sakit. Melihat pipinya yang sempurna sekarang, Madeline menghela nafas
“Hei, Jackie? Apa kau tahu kenapa satu ditambah satu sama dengan dua?”“Kenapa dua apel ditambah satu pisang sama dengan tiga?”“Jackie, Jackie. Apa kau suka jamur?”Seolah-olah berubah menjadi Buku Tentang Pertanyaan, Lilly mulai mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepada Jackson dengan mata bulatnya yang bersinar dengan rasa ingin tahu dan kehidupan. Jackson mungkin baru berusia lima tahun, namun dia tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Dengan serius dia mencoba menjawab setiap pertanyaan Lilly. Dia akan mengulangi jawabannya dengan sabar saat Lilly menunjukkan bahkan sedikit kebingungan. Madeline awalnya takut akan ada yang tidak beres jika Lilly dan Jackson berteman. Namun pemandangan di depannya meredakan kekhawatiran itu, karena Jackson bersikap seperti seorang kakak yang pengertian yang mencintai adik perempuannya tanpa batas. Pemandangan yang menghangatkan hati itu meluluhkan hatinya. Namun, senyum Madeline tak bertahan lama. Mungkin Lilian akan punya seorang kakak p