Gideon datang menjemput Rachel pada Sabtu pagi. Hari di mana pesta ulang tahun keponakan Gideon yang diadakan di rumah kakak perempuannya yang terletak di luar kota tapi tak terlalu jauh, sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggal mereka. Ketika Rachel memasuki mobil Gideon, lelaki yang lebih muda melihat buket bunga yang ada di tangan Rachel dengan raut bingung penuh rasa ingin tahu.“Itu untuk ibumu. Jangan salah paham.”Rachel menatap kembali ke jalan raya, dan dia sadar bahwa dia tidak tahu persis siapa yang dia temui. Apakah hanya keluarga dekat Gideon saja? Atau sepupunya juga? Seberapa besar keluarganya? “Ngomong-ngomong, kau bilang keluargamu ingin bertemu denganku, tapi siapa yang bilang sebenarnya? Siapa saja yang akan hadir di pesta itu?” tanya Rachel pelan.Gideon melirik sebentar ke sampingnya dan seringai kecil mulai terbentuk di bibirnya, “Kenapa? Kau merasa gugup? Kau tidak bisa mundur sekarang.”“Bisakah kau diam dan jawab saja pertanyaannya.”“Oke maaf, tent
Gideon menuntun mereka menyusuri lorong yang menghubungkan pintu masuk ke area utama rumah tempat pesta diadakan. Ujung lorong terbuka ke dapur, yang terhubung dengan ruang makan dan ruang tamu.Saat mereka mendekati ujung lorong, Rachel mendengar banyak suara yang semakin keras hingga mereka akhirnya memasuki dapur untuk menunjukkan kedatangan mereka yang sangat dinantikan. "Kami tidak terlambat kan?" Gideon menyapa dengan santai. Dan saat mendengar suara Gideon, semua mata di ruangan itu langsung tertuju padanya, disertai senyuman cerah dan seringai jenaka.“Gideon! akhirnya, kau di sini!” Seorang wanita yang lebih tua bergegas menyambut mereka terlebih dahulu, yang Rachel asumsikan adalah ibu Gideon. Gideon melepaskan genggamannya di tangan Rachel untuk memeluk dan mencium pipi ibunya. Setelah dia menarik diri, dia mengalihkan kembali perhatiannya ke arah Rachel. "Dan ini adalah ..." lelaki itu memberinya senyuman penuh pengertian, matanya berbinar. Rachel memperhatikan mata ibu Gi
Ketika dia yakin keponakan Gideon sedang sibuk dan anak Gideon—Luna masih fokus pada kartu mainannya, Rachel menggunakan kesempatan ini dan menoleh ke Gideon di sofa sambil berbisik dengan marah, “Hei! Kau menyuruhku untuk berpura-pura kalau aku sangat mencintaimu, tapi kau bahkan tidak berpura-pura kalau kau sangat mencintaiku!Gideon mengangkat alisnya, “Apa maksudmu?! Aku memegang tanganmu tadi!” Lelaki yang lebih muda mendesis membela diri.“Lalu perkenalan membosankan apa tadi? Sebenarnya kau ini ingin aku ada di sini atau tidak?”Gideon melirik ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengarnya dan berbaring ke bantal sofa, seolah menyembunyikan dirinya. “Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersikap mesra. Kupikir aku bisa melakukannya, tapi itu sangat memalukan di depan keluargaku sendiri!”Rachel benar-benar tidak bisa mempercayai lelaki itu. “Hei, berusahalah lebih keras, kau kan aktor!” gertak perempuan itu, “Aku tidak bisa terlihat seperti orang yang l
Gideon, yang masih terkejut dan terpaku pada kenyataan bahwa sepupunya mengenal Rachel, menghindari pertanyaan itu. “Kau mengenal pacarku?”“Tentu saja tidak, duh. Tapi kami masuk universitas yang sama, dia satu tahun di atasku. Aku tidak mengenalnya secara pribadi tetapi aku melihatnya di kampus dan di pesta-pesta. Dia sangat populer. Banyak orang yang tertarik padanya, termasuk aku. Bahkan ketika dia belum menjadi seorang aktris. Tak kusangka kau akan berkencan dengannya.”Ekspresi tidak senang pasti terpancar di wajahnya, karena sepupunya itu cepat membela diri. Rafi mengangkat kedua tangannya seolah mencoba menenangkannya, dan tertawa terbahak-bahak."Jangan khawatir! Semua orang naksir dia, oke? dan itu dulu. Ia adalah orang terpintar di Fakultasnya. Ia juga merupakan kapten tim Cheerleaders. Bukankah itu sangat diminati? Tapi aku rasa Kau sudah mengetahui semua ini.”Gideon tentu saja tidak mengetahui semua ini. Perasaan resah menguasainya saat Gideon menyadari bahwa dia tidak t
"Apapun alasannya aku tidak akan mengambil projek ini.” Perempuan bergaun merah padam itu duduh angkuh dengan kaki kanan yang bertumpu di atas kaki kiri menatap dengan percaya diri ke arah sang manajer yang hanya bisa menghela napas lelah."Aku tahu kau akan melakukan ini, tapi Rachel," Hera sang manager menghela napas sembari memperlihatkan ponsel pintarnya pada perempuan itu. “Di antara aktor dan aktris di negara ini tidak ada yang mau menjadi temanmu dan publik juga tidak menyukaimu.”Rachel yang awalnya menatap kukunya yang mengkilap sehabis pulang dari rentetan perawatan mahalnya lantas mendongak dan mengerutkan kening pada sahabat sekaligus managernya itu. "Memangnya mereka penting untuk karirku?”"Tentu saja, bagaimana kau bisa sukses kalau tidak disukai? Kau ini seorang public figure, Chel."Kedua perempuan itu saling menatap, dan Rachel memecah kesunyian terlebih dahulu. "Omong kosong," katanya blak-blakan sambil mengalihkan perhatiannya kembali ke arah jemari indahnya. Hera
“Kau kelihatan ekstra hari ini? Ada acara fashion week lagi?”Rachel memutar bola matanya malas sebelum membenamkan wajahnya ke lipatan tangan."Jangan ajak aku bicara." Seperti yang perempuan itu harapkan, tidak ada balasan yang datang. Rachel mengangkat kepalanya dan menatap ke sekeliling rupanya wanita yang merupakan staff di perusahaan itu sudah tidak ada di hadapannya. Perempuan itu menghela napas sembari meluruskan punggungnya.Rachel bangkit dari kursinya setelah beberapa saat, berjalan menuju meja rias yang terletak tepat di samping setumpuk pakaian di ruang kerjanya, waktu sudah berlalu entah berapa jam semenjak dia mengunyah tekanan mental untuk memilih pakaian yang tepat. teleponnya sudah mulai berdering sejak tadi. Perempuan itu menatap tubuhnya yang dibalut gaun biru bermanik yang tampak terlalu panjang dari yang ia suka, menghela napas lelah sebelum meraih telepon yang tidak mau diam sejak tadi."Halo?"Rachel berjalan menuju ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan
"Jadi bagaimana kencannya? Tak seburuk yang kau pikirkan bukan?"Hera menyimpan secangkir kopi di depan meja yang membatasi dua perempuan yang tengah berbincang itu, Rachel dengan cepat meraih cangkir itu dan meminumnya sedikit, mencoba melarikan diri dari pertanyaan sembari mengingat kembali apa yang terjadi kemarin malam. Perempuan bersurai cokelat itu meringis. "Entahlah aku tidak tahu, aku tak ingin membicarakan itu saat ini."Perempuan itu memalingkan wajahnya dari Hera, memilih tenggelam dalam lamunan sembari melihat ke arah televisi yang menayangkan program fashion kesayangannya dimana asisten penata gaya tengah membantu model memasang pernak pernik gaun merah terang yang terbuka di belakang punggungnya, "kupikir ini bukan ide yang bagus—""Aku sudah melihat foto yang dirilis wartawan, itu menjadi topik hangat di internet."Rachel menahan napas sembari memutar bola matanya, oh tentu saja. Netizen akan menelan apapun bulat-bulat, perempuan itu bahkan tidak ingin peduli dengan r
"Jadi bagaimana dengan kencanmu kemarin?"Rachel mendelik ke arah Hera ketus, hampir saja make up artist yang sedang mendandaninya salah mencoret eyeliner-nya melebar ke samping kalau ia tak memiliki refleks yang bagus. Jangan salahkan ia soal ini, salahkan saja Rachel yang bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling."Apakah kau tidak memiliki pertanyaan lain untuk ditanyakan padaku selain tentang Gideon?" ketus perempuan itu, kembali duduk tenang menyelesaikan riasannya untuk pemotretan majalah sementara Hera hanya terkikik di sampingnya."Well, tidak ada hal yang seru untuk ditanyakan padamu selain soal Gideon," godanya sembari menarik turunkan alis."Lagipula entah sudah berapa abad aku tidak melihatmu berkencan," lanjut manajernya itu hiperbolis.Rachel baru saja akan mengelak dan berteriak 'kami tidak berkencan, ini hanya pura-pura' kalau saja ia tidak ingat kalau ia berada di tempat pemotretan dan ada banyak kru dari majalah yang ia tidak kenal. Ia tidak bisa menghancurkan karirn
Gideon, yang masih terkejut dan terpaku pada kenyataan bahwa sepupunya mengenal Rachel, menghindari pertanyaan itu. “Kau mengenal pacarku?”“Tentu saja tidak, duh. Tapi kami masuk universitas yang sama, dia satu tahun di atasku. Aku tidak mengenalnya secara pribadi tetapi aku melihatnya di kampus dan di pesta-pesta. Dia sangat populer. Banyak orang yang tertarik padanya, termasuk aku. Bahkan ketika dia belum menjadi seorang aktris. Tak kusangka kau akan berkencan dengannya.”Ekspresi tidak senang pasti terpancar di wajahnya, karena sepupunya itu cepat membela diri. Rafi mengangkat kedua tangannya seolah mencoba menenangkannya, dan tertawa terbahak-bahak."Jangan khawatir! Semua orang naksir dia, oke? dan itu dulu. Ia adalah orang terpintar di Fakultasnya. Ia juga merupakan kapten tim Cheerleaders. Bukankah itu sangat diminati? Tapi aku rasa Kau sudah mengetahui semua ini.”Gideon tentu saja tidak mengetahui semua ini. Perasaan resah menguasainya saat Gideon menyadari bahwa dia tidak t
Ketika dia yakin keponakan Gideon sedang sibuk dan anak Gideon—Luna masih fokus pada kartu mainannya, Rachel menggunakan kesempatan ini dan menoleh ke Gideon di sofa sambil berbisik dengan marah, “Hei! Kau menyuruhku untuk berpura-pura kalau aku sangat mencintaimu, tapi kau bahkan tidak berpura-pura kalau kau sangat mencintaiku!Gideon mengangkat alisnya, “Apa maksudmu?! Aku memegang tanganmu tadi!” Lelaki yang lebih muda mendesis membela diri.“Lalu perkenalan membosankan apa tadi? Sebenarnya kau ini ingin aku ada di sini atau tidak?”Gideon melirik ke sekeliling ruangan untuk memastikan tidak ada yang bisa mendengarnya dan berbaring ke bantal sofa, seolah menyembunyikan dirinya. “Aku tidak bisa memaksakan diri untuk bersikap mesra. Kupikir aku bisa melakukannya, tapi itu sangat memalukan di depan keluargaku sendiri!”Rachel benar-benar tidak bisa mempercayai lelaki itu. “Hei, berusahalah lebih keras, kau kan aktor!” gertak perempuan itu, “Aku tidak bisa terlihat seperti orang yang l
Gideon menuntun mereka menyusuri lorong yang menghubungkan pintu masuk ke area utama rumah tempat pesta diadakan. Ujung lorong terbuka ke dapur, yang terhubung dengan ruang makan dan ruang tamu.Saat mereka mendekati ujung lorong, Rachel mendengar banyak suara yang semakin keras hingga mereka akhirnya memasuki dapur untuk menunjukkan kedatangan mereka yang sangat dinantikan. "Kami tidak terlambat kan?" Gideon menyapa dengan santai. Dan saat mendengar suara Gideon, semua mata di ruangan itu langsung tertuju padanya, disertai senyuman cerah dan seringai jenaka.“Gideon! akhirnya, kau di sini!” Seorang wanita yang lebih tua bergegas menyambut mereka terlebih dahulu, yang Rachel asumsikan adalah ibu Gideon. Gideon melepaskan genggamannya di tangan Rachel untuk memeluk dan mencium pipi ibunya. Setelah dia menarik diri, dia mengalihkan kembali perhatiannya ke arah Rachel. "Dan ini adalah ..." lelaki itu memberinya senyuman penuh pengertian, matanya berbinar. Rachel memperhatikan mata ibu Gi
Gideon datang menjemput Rachel pada Sabtu pagi. Hari di mana pesta ulang tahun keponakan Gideon yang diadakan di rumah kakak perempuannya yang terletak di luar kota tapi tak terlalu jauh, sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggal mereka. Ketika Rachel memasuki mobil Gideon, lelaki yang lebih muda melihat buket bunga yang ada di tangan Rachel dengan raut bingung penuh rasa ingin tahu.“Itu untuk ibumu. Jangan salah paham.”Rachel menatap kembali ke jalan raya, dan dia sadar bahwa dia tidak tahu persis siapa yang dia temui. Apakah hanya keluarga dekat Gideon saja? Atau sepupunya juga? Seberapa besar keluarganya? “Ngomong-ngomong, kau bilang keluargamu ingin bertemu denganku, tapi siapa yang bilang sebenarnya? Siapa saja yang akan hadir di pesta itu?” tanya Rachel pelan.Gideon melirik sebentar ke sampingnya dan seringai kecil mulai terbentuk di bibirnya, “Kenapa? Kau merasa gugup? Kau tidak bisa mundur sekarang.”“Bisakah kau diam dan jawab saja pertanyaannya.”“Oke maaf, tent
Rachel menapaki perjalanan kembali ke perusahaan setelah makan siang yang sama sekali tidak memenuhi asupan energi hariannya melainkan dipenuhi gangguan Gideon seperti sebelumnya. “Berapa umur keponakanmu? Bukankah seharusnya kita membelikannya hadiah?”“Ayi berusia enam tahun. Biar aku saja yang akan membeli sesuatu untuknya dan mencantumkan nama kita berdua di sana.” Gideon menekan tombol di penyeberangan, simbol tangan merah masih menyala."Apa? Tidak mungkin, Aku yakin kau akan memilih hadiah yang membosankan seperti buku tulis atau semacamnya. Biar aku saja membelinya, aku cukup pintar memilih hadiah untuk Luna kan?” sungut Rachel sembari mengerutkan kening.Gideon menyipitkan matanya ke arahnya. “Tidak, kau bahkan tidak mengenal Ayi. Aku yang akan membelinya."“Jika namaku akan tercantum di sana, lebih baik itu menjadi hadiah terbaik di pesta. Pokoknya aku yang harus membelinya.”“Hei! Aku pamannya! Kenapa jadi kau yang harus membelinya?!”“Hei tuan kalau kau lupa, aku pacar (pa
Pagi-pagi sekali Rachel Harus terbangun karena suara lengkingan dering ponsel yang mengganggu tidur pulasnya, ia bahkan baru saja tidur setelah overthinking semalaman. Perempuan itu menghela napas sembari meraba-raba nakas, menempelkan ponsel ke telinganya tanpa melihat dulu siapa penelepon yang berani mengganggu tidurnya, matanya bahkan masih tertutup."Aku akan membelikanmu makan siang, sebagai permintaan maaf, kau mau?"Jadi di sinilah dirinya—ralat ia dan Gideon. Mereka berjalan tanpa suara ke Cherryberry Bakery & Cafe, toko roti lokal kecil yang hanya berjarak tujuh menit dari gedung agensi tempat kerja mereka. Rachel melirik sekilas ke arah lelaki bertubuh jangkung itu, yang anehnya tampak tegang. Lonceng di pintu berbunyi ketika mereka membukanya untuk masuk ke dalam kafe roti di lingkungan kuno, aroma kopi dan makanan panggang menyambut mereka saat mereka masuk. Mereka berjalan melewati meja dan kursi kayu, dan mendekati konter yang terletak di belakang untuk memesan. Pajangan
Rachel menyamankan tubuhnya di atas ranjang, perempuan itu sudah mengganti pakaiannya ke setelan piyama merah muda kesayangannya. Rambut pirangnya tampak tertata bergelombang dan hiasan wajahnya tampak elegan malam itu, jelas saja ia hendak keluar untuk bertemu Gideon. Kalau saja lelaki itu tidak membatalkannya secara tiba-tiba."Setidaknya kalau memang mau membatalkannya lakukan itu dari kemarin! sia-sia aku berdandan seperti ini," keluh Rachel sembari mengunyah popcorn di tangannya kesal. Perempuan itu mengambil laptopnya untuk memutar tayangan episode pertama marriage life simulation yang sebentar lagi akan tayang, perempuan bersurai pirang itu menghela napasnya keras."Lagipula siapa yang mau menonton dengannya! Cih! Aku sudah cukup muak bertemu dengannya hampir setiap hari."Meski begitu Rachel berkali-kali melirik ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur, menunggu penjelasan dan permintaan maaf dari lelaki yang lebih muda. Perempuan itu sebenarnya menebak mungkin karena L
[REKAMAN_DIMULAI_02]Direktor : "Adegan pertama pengambilan gambar kalian pertama kali pindah ke apartemen, lakukan saja secara natural hal-hal yang biasa kalian lakukan saat pertama kali datang ke apartemen."Aktor 1 : "Aku biasanya langsung tidur lalu esok harinya baru berbenah."Direktor : "Jangan bawa kebiasaan burukmu ke depan kamera Gideon, apa kau tidak mendengar tentang kata 'acting' tentu saja maksudku kau harus memolesnya semenarik mungkin!"Aktor 1 : "Kau tidak bilang begitu tadi— baiklah, baiklah! Aku hanya bercanda."Aktor 2 : "Bagaimana kalau kita merencanakannya dari sekarang."Aktor 1 : "Apa yang perlu direncanakan? Bukankah lebih baik kita melakukannya secara spontan agar terlihat lebih meyakinkan?"Aktor 2 : "Aku juga berpikir begitu tapi mengingat aku mengambil gambar denganmu aku tak yakin kita bisa melakukannya dalam satu atau dua kali take, kita bisa saja tidak pulang sampai sore!"Aktor 1 : "Apa maksudmu? Kau lah yang sering membuat kesalahan setiap mengambil ga
[REKAMAN_DIMULAI_01]Direktor : "Camera ... Rolling ... Action!"Aktor 1 : "Sudah dimulai? Apa yang harus aku katakan?"Direktor : "Kamera sudah bergulir sejak tadi."Aktor 1 : "Kau tidak memberi aba-aba! Aku bahkan belum siap!."Direktor : "Tak masalah Gideon. Kita bisa mulai lagi. Kau sudah siap bukan sekarang?"Aktor 1 : "Sebentar, biarkan aku menarik napas ... baiklah aku siap."Direktor : "Oke. Kita ulang, satu dua tiga ... Act—"Aktor 1 : "Aku lebih suka jika kau menghitungnya terbalik pak sutradara."Direktor : "Maaf, apa?"Aktor 1 : "Aku pikir itu akan lebih baik jika hitungannya tiga, dua, satu."Direktor : "Kenapa itu penting, Tuan Gideon yang terhormat?"Aktor 1 : "Itu berpengaruh performaku, kau membuatku kebingungan."Direktor : "Baiklah... Kalau begitu, mari kita mulai dengan hitungan terbalik. Tiga. Dua. Satu. Action!"Aktor 1 : "Hai semua, aku Gideon, dan umurku dua puluh lima-"Direktor : "Berhenti. Berhenti. Bisakah kau membuka perkenalan dengan lebih menawan dan me