"Hana, kata dokter tadi, Viona kenapa? Kandungannya baik-baik saja, kan?" tanya Adel pada Hana."Iya, kandungan Mbak Viona baik-baik saja. Hanya saja perut Mbak Viona tidak bisa menerima makanan. Jadi setiap ia makan selalu muntah. Kata dokter tadi Mbak Viona harus bedrest dulu." Hana menjelaskan apa yang dikatakan oleh dokter tadi."Syukurlah kalau kandungannya nggak apa-apa. Damar sudah diberitahu?" tanya Adel."Kata Mbak Viona, dari tadi ia menelpon Mas Damar, tapi tidak diangkat-angkat. Makanya ia menelpon saya."Adel terlihat emosi. Ia pun berusaha menelpon Damar."Damar, kamu dimana?" Tanpa basa-basi, Adel langsung bertanya pada Damar."Lagi makan diluar sama Mama." Damar menjawab pertanyaan Adel. Mama Laras yang sedang makan, langsung menoleh ke arah Damar ketika namanya disebut oleh Damar."Siapa?" tanya mamanya Laras setengah berbisik pada Damar."Mbak Adel."Mama Laras langsung merebut ponsel Damar."Kami sedang makan diluar. Kamu tahu nggak kami makan sama siapa? Sama Mar
"Mbak, gimana kondisi Viona?" tanya Damar ketika sampai di ruang perawatan Viona. Damar tampak terengah-engah karena berjalan dengan cepat supaya segera bertemu Viona."Viona harus bedrest, demi bayi yang dikandungnya." Adel menjelaskan kondisi Viona pada Damar."Ba-bayi?" Damar sangat terkejut mendengar ucapan Adel. "Benar dugaan Irfan kalau Viona hamil," kata Damar dalam hati."Jangan bilang kalau kamu tidak tahu Viona hamil!" seru Adel."Benar Mbak, aku nggak tahu kalau Viona itu hamil." Damar masih menunjukkan ekspresi terkejutnya. "Kamu itu suaminya atau bukan sih? Kok nggak perhatian dengan istri. Jangan-jangan kamu nggak tahu dia itu siapa," kata Adel sambil menunjuk ke arah Hana.Damar menggelengkan kepalanya. "Damar! Kamu kok sangat keterlaluan sih!" Adel berteriak sambil memukul lengan Damar."Ma, sabar," kata Gibran mengingatkan istrinya."Hana itu yang membawa istrimu ke rumah sakit. Kalau nggak ada Hana, apa yang akan terjadi pada Viona. Kamu di telpon nggak diangkat-a
Ceklek!Pak Yuda membuka pintu ruang perawatan Viona. Pak Yuda masuk diikuti oleh Mama Laras.Deg! Jantung Mama Laras berdetak dengan sangat kencang. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya panas dan berkeringat, padahal ruang perawatan Viona cukup dingin."Damar! Adel," gumam Mama Laras.Yang berada di dalam ruangan juga kaget melihat kedatangan orang tua Damar dan Adel. Pak Yuda mengamati semua ekspresi orang-orang yang ada di ruangan ini. Mama Laras tampak sangat pucat. Ia takut kalau Adel dan Damar keceplosan."Mama?" sapa Damar dan Adel."Siapa yang sakit?" tanya Mama Laras."Viona, Ma." Damar menjawab pertanyaan Mama Laras."Mama, kok Mama ada disini? Bukankah Mama tadi pergi bersama Marcia?" tanya Adel. Adel sengaja mengatakan itu, biar mamanya sadar supaya tidak mengacaukan rumah tangga Damar dan Viona.Mama Laras sangat kaget dengan kata-kata Adel. Ia sangat kesal, karena Adel mengatakan itu."Mama? Benarkah?" tanya Pak Yuda yang pura-pura terkejut mendengar ucapan istrinya.Damar malah
"Mas, aku mau pulang ke rumah Bapak," kata Viona dengan pelan sambil meneteskan air mata. Hatinya sangat kecewa."Iya, nanti kalau sudah sehat, aku antar kamu ke rumah Bapak. Kita disana selama seminggu." Damar menjawab permintaan Viona untuk menenangkannya. Ia takut jika Viona akan menceritakan kehidupan rumah tangganya kepada orang tua Viona."Aku mau pulang sendiri dan nggak akan kembali lagi kesini."Damar terkejut, kemudian menoleh ke arah Viona."Kenapa? Jangan main-main Sayang. Rumah kita disini, kalau kamu disana sendirian dalam waktu yang lama, apa kata Bapak dan Ibu?" "Aku lelah, Mas. Aku menikah untuk bahagia, bukannya menderita. Yang aku alami selama ini banyaklah menderita daripada bahagia. Tenang saja, aku tidak akan menghalangimu menemui anak kita nanti."Damar semakin terkejut mendengar kata-kata Viona. Hatinya ikut teriris, sedih."Aku sudah mendengar semua yang kalian bicarakan. Aku tadi sudah terbangun waktu Papa dan Mama datang. Kamu tahu Mas, aku sangat kecewa. K
Pak Yuda kaget mendengar ucapan Viona. "Ada masalah apa Vio? Apa Damar melakukan kesalahan besar?" tanya Pak Yuda dengan perlahan."Pa, maafkan saya yang belum bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Damar. Saya sudah lelah berjuang sendirian mempertahankan rumah tangga. Saya membebaskan Mas Damar mencari kebahagiaannya sendiri." Sambil berderai air mata, Viona mengungkapkan isi hatinya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya hati Viona ketika mengatakan semua itu. Damar pun merasa sangat sedih, matanya berkaca-kaca, begitu juga dengan Pak Yuda. Viona menundukkan kepala."Apakah permasalahan ini tidak bisa dirundingkan lagi? Bicarakan baik-baik, cari solusinya. Kalau sudah mentok, ajak kami untuk berbicara. Siapa tahu bisa menyelesaikannya." Pak Yuda berkata dengan bijaksana, ia berusaha supaya rumah tangga anaknya tetap utuh. Karena ini akan berpengaruh terhadap hubungan baiknya dengan Baskoro, bapaknya Viona."Viona, jangan pernah berbicara seperti itu. Kebahagiaanku bersamamu. Bersama
"Marcia itu sudah kayak perempuan murahan. Sudah punya suami tapi masih mengharapkan suami orang." Adel berkata dengan sangat meledak-ledak."Mbak, ingat kandungan Mbak, jangan marah-marah kayak gitu." Danish menimpali kakaknya yang tampak emosi."Aku tuh kesal dengan Mama. Pantas saja kalau Papa marah, karena kelakuan Mama yang tidak bisa ditolerir lagi. Berdosa Ma, kalau sampai membuat sebuah rumah tangga hancur berantakan. Apalagi itu rumah tangga anak sendiri. Apa sih yang dijanjikan Marcia sama Mama?" tanya Adel."Kalau Mama masih saja seperti ini, aku nggak akan segan-segan ikut campur urusan ini. Aku akan maju paling depan melindungi pernikahan Viona dan Damar." Adel berkata dengan tegas."Apa Mama bisa tertawa bahagia, disaat anak Mama bersedih karena rumah tangganya hancur berantakan? Apa Mama bisa tidur nyenyak, ketika anak Mama meratapi kelakuan mamanya yang dengan tega memporak-porandakan kebahagiaan mereka? Mama pernah berpikir sampai sejauh ini nggak?" tanya Adel.Mama L
Perempuan yang sedang duduk di kursi ruang tamu itu juga terkejut melihat kemunculan Viona. "Ada perlu apa ya Mbak? Mas Damar sedang pergi, nanti saya sampaikan," kata Viona pada Marcia.Tamu itu ternyata adalah Marcia, mantan pacar Damar yang sampai sekarang masih berusaha untuk mendapatkan Damar."Saya mau menunggu Damar saja! Soalnya ini penting, harus saya sendiri yang menyampaikannya." Marcia berkata dengan angkuhnya."Dasar tamu nggak sopan," rutuk Viona dalam hati.Tak lama kemudian muncul Paramitha dengan membawa segelas teh dan kue di dalam toples."Silahkan diminum," tawar Paramitha. Marcia hanya diam saja, ia tetap asyik dengan ponselnya. Paramitha tampak kesal dengan kelakuan tamu itu, yang menurutnya tidak punya sopan santun sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam lagi."Kenapa cemberut, Bu?" tanya Pak Baskoro."Tamunya Viona itu nggak punya sopan santun sama sekali. Setidaknya menyahut, ini diam saja," gerutu Paramitha."Mungkin orang kota memang seperti itu, Bu,"
Viona segera beranjak dari duduknya, semua mata memandang ke arahnya. Viona pun langsung masuk ke kamar mandi dan menghidupkan keran air, kemudian memuntahkan semua yang ia makan tadi. Ia pun menjadi lega. Kemudian keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat pasi."Kenapa, Vio? Keluar semua ya?" tanya Paramitha. Viona mengangguk."Nggak apa-apa, nanti kamu makan lagi. Jangan sampai tidak makan." Paramitha menasehati Viona."Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Damar."Lapar," kata Viona sambil tersipu malu."Nggak apa-apa lapar, bisa makan lagi. Mama bawa asinan sayur tuh. Ayo makan, isi lagi perutnya." Mama Laras segera mengambil bungkusan yang ada di meja dapur. Kemudian membukanya dan menyiapkan makanan untuk menantunya itu.Viona tampak lahap makan asinan sayur itu, Damar tampak bahagia melihat Viona makan. Ia berharap badai di dalam rumah tangganya segera berlalu.Selesai makan, Viona berpamitan masuk ke kamar. Ia ingin merebahkan tubuhnya di tempat tidur. "Istirahatlah, j
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak