"Mbak, gimana kondisi Viona?" tanya Damar ketika sampai di ruang perawatan Viona. Damar tampak terengah-engah karena berjalan dengan cepat supaya segera bertemu Viona."Viona harus bedrest, demi bayi yang dikandungnya." Adel menjelaskan kondisi Viona pada Damar."Ba-bayi?" Damar sangat terkejut mendengar ucapan Adel. "Benar dugaan Irfan kalau Viona hamil," kata Damar dalam hati."Jangan bilang kalau kamu tidak tahu Viona hamil!" seru Adel."Benar Mbak, aku nggak tahu kalau Viona itu hamil." Damar masih menunjukkan ekspresi terkejutnya. "Kamu itu suaminya atau bukan sih? Kok nggak perhatian dengan istri. Jangan-jangan kamu nggak tahu dia itu siapa," kata Adel sambil menunjuk ke arah Hana.Damar menggelengkan kepalanya. "Damar! Kamu kok sangat keterlaluan sih!" Adel berteriak sambil memukul lengan Damar."Ma, sabar," kata Gibran mengingatkan istrinya."Hana itu yang membawa istrimu ke rumah sakit. Kalau nggak ada Hana, apa yang akan terjadi pada Viona. Kamu di telpon nggak diangkat-a
Ceklek!Pak Yuda membuka pintu ruang perawatan Viona. Pak Yuda masuk diikuti oleh Mama Laras.Deg! Jantung Mama Laras berdetak dengan sangat kencang. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya panas dan berkeringat, padahal ruang perawatan Viona cukup dingin."Damar! Adel," gumam Mama Laras.Yang berada di dalam ruangan juga kaget melihat kedatangan orang tua Damar dan Adel. Pak Yuda mengamati semua ekspresi orang-orang yang ada di ruangan ini. Mama Laras tampak sangat pucat. Ia takut kalau Adel dan Damar keceplosan."Mama?" sapa Damar dan Adel."Siapa yang sakit?" tanya Mama Laras."Viona, Ma." Damar menjawab pertanyaan Mama Laras."Mama, kok Mama ada disini? Bukankah Mama tadi pergi bersama Marcia?" tanya Adel. Adel sengaja mengatakan itu, biar mamanya sadar supaya tidak mengacaukan rumah tangga Damar dan Viona.Mama Laras sangat kaget dengan kata-kata Adel. Ia sangat kesal, karena Adel mengatakan itu."Mama? Benarkah?" tanya Pak Yuda yang pura-pura terkejut mendengar ucapan istrinya.Damar malah
"Mas, aku mau pulang ke rumah Bapak," kata Viona dengan pelan sambil meneteskan air mata. Hatinya sangat kecewa."Iya, nanti kalau sudah sehat, aku antar kamu ke rumah Bapak. Kita disana selama seminggu." Damar menjawab permintaan Viona untuk menenangkannya. Ia takut jika Viona akan menceritakan kehidupan rumah tangganya kepada orang tua Viona."Aku mau pulang sendiri dan nggak akan kembali lagi kesini."Damar terkejut, kemudian menoleh ke arah Viona."Kenapa? Jangan main-main Sayang. Rumah kita disini, kalau kamu disana sendirian dalam waktu yang lama, apa kata Bapak dan Ibu?" "Aku lelah, Mas. Aku menikah untuk bahagia, bukannya menderita. Yang aku alami selama ini banyaklah menderita daripada bahagia. Tenang saja, aku tidak akan menghalangimu menemui anak kita nanti."Damar semakin terkejut mendengar kata-kata Viona. Hatinya ikut teriris, sedih."Aku sudah mendengar semua yang kalian bicarakan. Aku tadi sudah terbangun waktu Papa dan Mama datang. Kamu tahu Mas, aku sangat kecewa. K
Pak Yuda kaget mendengar ucapan Viona. "Ada masalah apa Vio? Apa Damar melakukan kesalahan besar?" tanya Pak Yuda dengan perlahan."Pa, maafkan saya yang belum bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Damar. Saya sudah lelah berjuang sendirian mempertahankan rumah tangga. Saya membebaskan Mas Damar mencari kebahagiaannya sendiri." Sambil berderai air mata, Viona mengungkapkan isi hatinya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya hati Viona ketika mengatakan semua itu. Damar pun merasa sangat sedih, matanya berkaca-kaca, begitu juga dengan Pak Yuda. Viona menundukkan kepala."Apakah permasalahan ini tidak bisa dirundingkan lagi? Bicarakan baik-baik, cari solusinya. Kalau sudah mentok, ajak kami untuk berbicara. Siapa tahu bisa menyelesaikannya." Pak Yuda berkata dengan bijaksana, ia berusaha supaya rumah tangga anaknya tetap utuh. Karena ini akan berpengaruh terhadap hubungan baiknya dengan Baskoro, bapaknya Viona."Viona, jangan pernah berbicara seperti itu. Kebahagiaanku bersamamu. Bersama
"Marcia itu sudah kayak perempuan murahan. Sudah punya suami tapi masih mengharapkan suami orang." Adel berkata dengan sangat meledak-ledak."Mbak, ingat kandungan Mbak, jangan marah-marah kayak gitu." Danish menimpali kakaknya yang tampak emosi."Aku tuh kesal dengan Mama. Pantas saja kalau Papa marah, karena kelakuan Mama yang tidak bisa ditolerir lagi. Berdosa Ma, kalau sampai membuat sebuah rumah tangga hancur berantakan. Apalagi itu rumah tangga anak sendiri. Apa sih yang dijanjikan Marcia sama Mama?" tanya Adel."Kalau Mama masih saja seperti ini, aku nggak akan segan-segan ikut campur urusan ini. Aku akan maju paling depan melindungi pernikahan Viona dan Damar." Adel berkata dengan tegas."Apa Mama bisa tertawa bahagia, disaat anak Mama bersedih karena rumah tangganya hancur berantakan? Apa Mama bisa tidur nyenyak, ketika anak Mama meratapi kelakuan mamanya yang dengan tega memporak-porandakan kebahagiaan mereka? Mama pernah berpikir sampai sejauh ini nggak?" tanya Adel.Mama L
Perempuan yang sedang duduk di kursi ruang tamu itu juga terkejut melihat kemunculan Viona. "Ada perlu apa ya Mbak? Mas Damar sedang pergi, nanti saya sampaikan," kata Viona pada Marcia.Tamu itu ternyata adalah Marcia, mantan pacar Damar yang sampai sekarang masih berusaha untuk mendapatkan Damar."Saya mau menunggu Damar saja! Soalnya ini penting, harus saya sendiri yang menyampaikannya." Marcia berkata dengan angkuhnya."Dasar tamu nggak sopan," rutuk Viona dalam hati.Tak lama kemudian muncul Paramitha dengan membawa segelas teh dan kue di dalam toples."Silahkan diminum," tawar Paramitha. Marcia hanya diam saja, ia tetap asyik dengan ponselnya. Paramitha tampak kesal dengan kelakuan tamu itu, yang menurutnya tidak punya sopan santun sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam lagi."Kenapa cemberut, Bu?" tanya Pak Baskoro."Tamunya Viona itu nggak punya sopan santun sama sekali. Setidaknya menyahut, ini diam saja," gerutu Paramitha."Mungkin orang kota memang seperti itu, Bu,"
Viona segera beranjak dari duduknya, semua mata memandang ke arahnya. Viona pun langsung masuk ke kamar mandi dan menghidupkan keran air, kemudian memuntahkan semua yang ia makan tadi. Ia pun menjadi lega. Kemudian keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat pasi."Kenapa, Vio? Keluar semua ya?" tanya Paramitha. Viona mengangguk."Nggak apa-apa, nanti kamu makan lagi. Jangan sampai tidak makan." Paramitha menasehati Viona."Apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Damar."Lapar," kata Viona sambil tersipu malu."Nggak apa-apa lapar, bisa makan lagi. Mama bawa asinan sayur tuh. Ayo makan, isi lagi perutnya." Mama Laras segera mengambil bungkusan yang ada di meja dapur. Kemudian membukanya dan menyiapkan makanan untuk menantunya itu.Viona tampak lahap makan asinan sayur itu, Damar tampak bahagia melihat Viona makan. Ia berharap badai di dalam rumah tangganya segera berlalu.Selesai makan, Viona berpamitan masuk ke kamar. Ia ingin merebahkan tubuhnya di tempat tidur. "Istirahatlah, j
Viona melihat sosok laki-laki yang pernah mengisi hari-harinya, pernah membuatnya bahagia dan tentu saja membuatnya terluka. Laki-laki itu adalah David, yang mengkhianati cinta Viona. David sedang berjalan bersama dengan Talitha yang perutnya sudah mulai membesar. Ternyata David yang tadi memanggil Viona. David pun mendekati Viona dan ibunya. Kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan ibunya Viona."Ibu apa kabar?" tanya David."Alhamdulillah, kabar baik. Talitha sudah berapa bulan kandungannya?" tanya Paramitha dengan basa-basi."Delapan bulan, Tante," sahut Talitha."Oh, sudah hampir melahirkan ya?"Talitha mengangguk. David sibuk mengajak ibunya Viona berbicara, sedangkan Talitha hanya diam saja. Tampak kecanggungan antara Talitha dan Viona. Padahal dulu mereka berdua sangat akrab.Dari kejauhan, Damar yang melihat sosok David menjadi cemburu. Ada rasa tidak rela dihatinya melihat David tampak akrab dengan Paramitha. Damar dan Pak Baskoro pun mendekat."Mas, kenalin, ini T