Miftah dan Chaca pun izin pamit pulang. Setelah acara selesai, Hana kembali ke kediamannya bersama Pasha dan di sana sudah ada pria tua yang duduk di kursi roda, tersenyum kecut melihat kehadirannya. Itu tak lain adalah pria tua yang Hana sangat segan dengannya. Seseorang yang paling menentang keras cita-cita Hana untuk menjadi seorang sastrawan timur tengah."Akhirnya aku melihat mu berguna juga" Hana pergi menyalami kakeknya, senyumnya terus mati mendengar rentetan kalimat itu keluar dari mulut itu."Ayah, apa yang ayah katakan?" Arya berseru tak senang pada bapak mertuanya itu yang tak lain adalah ayah dari almarhumah istrinya. Arya tau sejak dulu orang tua itu tidak senang karena Hana tidak mengambil peran pebisnis seperti cucu-cucunya yang lain yang dengan mahirnya mengembangkan bisnis keluarga."Aku hanya mengatakan akhirnya anak ini berguna" Hartono menatap tajam Arya. Ia sangat tidak puas karena Arya selalu memanjakan Hana dan menuruti semua kemauan Hana. Padahal keluarga mere
Setelah shalat insya, Hana merasa gugup di kamar menanti kepulangan Pasha. Hana telah berganti pakaian menjadi piyama Minnie mouse bewarna merah muda, membuatnya terlihat sedikit kanak-kanakan. Berdiri didepan cermin, Hana merasa ragu apakah perlu menanggalkan jilbabnya atau tidak."Buka gak ya?" Hana memegang tepi kerudung putihnya."Tapi aku gak nyaman banget kalo buka" Mungkin karena itu adalah kali pertama Hana akan mengungkapkan mahkota nya pada seorang pria."Kalo gak buka, gak mungkin juga kan? Pak Pasha kan suami aku" Hana merasa situasi itu cukup membuatnya frustasi. Keadaan yang cukup baru ini, bagaimana mungkin ia dapat langsung beradaptasi?"Ya udah pakek aja deh" Putus Hana sambil menghela nafas yakin, "Toh nanti Pak Pasha pasti paham kan?"Hana beranjak duduk ke tepi ranjang. Tiba-tiba perutnya berbunyi, apalagi jika bukan karena lapar, "Duh, laper banget lagi" Tadi siang selesai acara, Hana hanya makan sedikit.Malam ini Hana belum mengkonsumsi apapun untuk perutnya.Pe
Walau ini bukanlah pernikahan yang Hana harapkan, tapi Hana merasa sangat bahagia dapat melaksanakan shalat shubuh berjamaah dan berdiri sebagai makmum dari seorang imam yang merupakan suaminya sendiri. Tepat ketika salam terakhir dan shalat shubuh usai. Hana bangun, ragu-ragu mendatangi Pasha."Ada apa?" Pasha menoleh kebelakang, melihat Hana sudah duduk bersimpuh di dekatnya.Hana menekan rasa gugupnya, perlahan mengambil tangan kanan Pasha dan mencium punggung tangan suaminya itu. Perlakuan Hana itu membuat Pasha terkesiap. Tampak sepasang bulu mata Pasha berkedip samar, melihat hidung dan mulut Hana mendarat di punggung tangannya."Sekarang kamu sudah tidak takut lagi memegang tangan saya?"Hana membulatkan matanya terkejut, kepalanya mendongak pada Pasha, "Memangnya kapan saya takut?""Oh, terus kemarin kenapa kamu gak langsung terima uluran tangan saya pas salaman setelah akad?"Hana mengedipkan matanya gugup, kedua pipinya menghangat mengingat agenda panjang seharian kemarin, "
"Hai Mif!" Sapa Chaca melihat Miftah baru saja masuk kedalam dan berjalan ke tempat duduk tepat di sampingnya."Hai!" Miftah duduk dan meletakkan tasnya di meja."Hana pasti enggak datang hari ini. Dia pasti ambil cuti, secara kan dia..." Chaca berbisik kecil ditelinga Miftah, "Pengantin baru, iya gak sih?"Miftah tersenyum menggeleng, "Kata siapa? Dia datang kok, tu lagi di toilet""Hah? Seriusan?""Em" Angguk Miftah, "Kalo engga percaya liat sendiri sana, tu dia lagi sikat gigi""Sikat gigi?" Chaca menatap tak mengerti.Hana yang baru saja dibicarakan, masuk kedalam ruang dengan langkah terburu-buru, "Aku kira udah telat" Hana mengambil tempat duduk tepat di samping Miftah dan mengatur nafasnya yang terengah-engah.Chaca menatap tak berkedip pada Hana, "Han, kok kamu ngampus sih?""Lah, emangnya kenapa?""Kamu kan pengan—""Syutt, jangan keras-keras" Potong Hana dengan raut wajah panik. Di kampus, hanya Miftah dan Chaca yang tau jika Hana sudah menikah. Hana tak mau kabar pernikahan
Tepat ketika hampir jam makan siang, Pasha tiba-tiba saja teringat Hana. Hal menggemaskan yang dilakukan gadis itu padanya tadi shubuh, sungguh membuatnya tak tahan tersenyum lucu sendiri. Pasha pun memutuskan untuk pergi ke kampus Hana, mengajaknya makan siang bersama. Kedatangan Pasha di kampus Hana, berhasil mengundang banyak perhatian banyak pasang mata. Memang penampilan bos besar ditambah dengan mobil mewah berkelas, siapa yang tak tahan melewatkan panorama itu. Tepat ketika Pasha menghubungi Hana, itu sama sekali tidak diangkat. Hingga panggilan yang kelima kalinya, tepat ketika tali kesabaran Pasha hampir putus, Pasha mendengar suara lembut Hana dari seberang. "Wa'alaikumsalam" "Cepat keluar, saya di kampus kamu sekarang" "Apa? Kamu di rumah sakit?" "Beritahu saya alamat rumah sakitnya. Saya ke sana sekarang" Pasha langsung masuk kedalam mobil dan lekas menuju ke rumah sakit. Sedangkan Hana yang baru saja mengakhiri panggilan, dapat merasakan tatapan Chaca dan Fawaz ter
Hana menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, melihat Pasha berjalan masuk ke dalam dengan nampan yang diatasnya ada segelas air putih dan semangkuk bubur. Itu adalah bubur sayur bayam yang dibeli Pasha ketika perjalanan mereka pulang ke apartemen."Ayo makan" Pasha duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Hana berbaring."Bapak gak kembali ke perusahaan?" Hana merasa itu aneh melihat Pasha yang gila kerja, bisa menunda kesibukannya hanya untuk mengurus dirinya yang sebenarnya tak seberapa sakit."Engga" Pasha menyerahkan segelas air putih itu untuk Hana pegang. Kemudian mengaduk bubur yang tampak hijau dengan potongan-potongan kecil sayur bayam."Terus pekerjaan bapak gimana?" Hana terlalu takut menelan bubur hijau itu. Terakhir kali memakannya, ia terus muntah-muntah. Hana sungguh berharap Pasha segera kembali ke perusahaan. "Aman"Hana tertegun, 'Udah? Itu aja jawabannya?'"Makan!" Pasha menyodorkan sesendok bubur bayam tepat ke mulut Hana."Pak Pasha.." Melihat bintik-bintik
Malam harinya Pasha mengajak Hana pergi supermarket untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-hari. Pasha sadar sekarang apartemen itu tidak hanya dirinya seorang di sana. Tapi sudah ada Hana— permata berharganya. Tentu Pasha harus menjaga permata itu sebaik mungkin, Pasha tak ingin kejadian Hana yang masuk rumah sakit karena terlewat waktu makan itu kembali terulang.Ini pertama kalinya bagi Hana berbelanja bersama seorang 'pria' yang berstatus kan suami. Tidak tau kenapa, diam-diam Hana merasa kegiatan itu cukup manis. Pasha mendorong troli dan Hana mengambil beberapa barang yang diperlukan. Tidakkah seperti ini mereka sudah seperti pasangan pada umumnya?"Minyak goreng, minyak sayur, minyak Zaitun, kecap, saus, garam, gula, terus apa lagi ya?" Hana memperhatikan barang-barang yang sudah terkumpul di troli. Berpikir keras apa yang masih diperlukan. Sedang Pasha tampak berdiri memegang troli dengan wajah bosan."Ah, lada" Hana dengan cepatnya berjalan menyusuri rak, mencari di mana bar
"Kamu bales dendam ya sama saya?"Akhirnya disinilah mereka berada. Di tempat makan pinggir jalan, bersama suasana malam hari yang cukup berisik oleh nyanyian kendaraan bermotor dan mobil yang terus berlalu lalang. Tempat makan seperti ini sungguh merusak mood Pasha, tapi tidak dengan Hana yang tampak santai melahap seporsi nasi goreng yang dipesannya."Engga kok Pak" Hana mengambil segelas es teh dan meminumnya sedikit. Sudah lama Hana ingin makan ditempat seperti ini di malam hari. Tapi Hana tak bisa melakukannya karena ayahnya kerapkali protektif jika Hana keluar seorang diri di waktu malam."Kamu kok bisa makan ditempat seperti ini?" Mata elang Pasha berkerut heran melihat Hana yang terus menyendok kan nasi goreng itu ke dalam mulut dengan begitu nikmat, "Kamu tau gak kalo disini itu gak higenis?""..." Hana enggan menggubris. Terus mengunyah nasi goreng di mulutnya. Seporsi nasi goreng pedas plus telur ceplok setengah matang, itu sajian yang sangat menggugah selera makan Hana."N