"Hai Mif!" Sapa Chaca melihat Miftah baru saja masuk kedalam dan berjalan ke tempat duduk tepat di sampingnya."Hai!" Miftah duduk dan meletakkan tasnya di meja."Hana pasti enggak datang hari ini. Dia pasti ambil cuti, secara kan dia..." Chaca berbisik kecil ditelinga Miftah, "Pengantin baru, iya gak sih?"Miftah tersenyum menggeleng, "Kata siapa? Dia datang kok, tu lagi di toilet""Hah? Seriusan?""Em" Angguk Miftah, "Kalo engga percaya liat sendiri sana, tu dia lagi sikat gigi""Sikat gigi?" Chaca menatap tak mengerti.Hana yang baru saja dibicarakan, masuk kedalam ruang dengan langkah terburu-buru, "Aku kira udah telat" Hana mengambil tempat duduk tepat di samping Miftah dan mengatur nafasnya yang terengah-engah.Chaca menatap tak berkedip pada Hana, "Han, kok kamu ngampus sih?""Lah, emangnya kenapa?""Kamu kan pengan—""Syutt, jangan keras-keras" Potong Hana dengan raut wajah panik. Di kampus, hanya Miftah dan Chaca yang tau jika Hana sudah menikah. Hana tak mau kabar pernikahan
Tepat ketika hampir jam makan siang, Pasha tiba-tiba saja teringat Hana. Hal menggemaskan yang dilakukan gadis itu padanya tadi shubuh, sungguh membuatnya tak tahan tersenyum lucu sendiri. Pasha pun memutuskan untuk pergi ke kampus Hana, mengajaknya makan siang bersama. Kedatangan Pasha di kampus Hana, berhasil mengundang banyak perhatian banyak pasang mata. Memang penampilan bos besar ditambah dengan mobil mewah berkelas, siapa yang tak tahan melewatkan panorama itu. Tepat ketika Pasha menghubungi Hana, itu sama sekali tidak diangkat. Hingga panggilan yang kelima kalinya, tepat ketika tali kesabaran Pasha hampir putus, Pasha mendengar suara lembut Hana dari seberang. "Wa'alaikumsalam" "Cepat keluar, saya di kampus kamu sekarang" "Apa? Kamu di rumah sakit?" "Beritahu saya alamat rumah sakitnya. Saya ke sana sekarang" Pasha langsung masuk kedalam mobil dan lekas menuju ke rumah sakit. Sedangkan Hana yang baru saja mengakhiri panggilan, dapat merasakan tatapan Chaca dan Fawaz ter
Hana menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, melihat Pasha berjalan masuk ke dalam dengan nampan yang diatasnya ada segelas air putih dan semangkuk bubur. Itu adalah bubur sayur bayam yang dibeli Pasha ketika perjalanan mereka pulang ke apartemen."Ayo makan" Pasha duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Hana berbaring."Bapak gak kembali ke perusahaan?" Hana merasa itu aneh melihat Pasha yang gila kerja, bisa menunda kesibukannya hanya untuk mengurus dirinya yang sebenarnya tak seberapa sakit."Engga" Pasha menyerahkan segelas air putih itu untuk Hana pegang. Kemudian mengaduk bubur yang tampak hijau dengan potongan-potongan kecil sayur bayam."Terus pekerjaan bapak gimana?" Hana terlalu takut menelan bubur hijau itu. Terakhir kali memakannya, ia terus muntah-muntah. Hana sungguh berharap Pasha segera kembali ke perusahaan. "Aman"Hana tertegun, 'Udah? Itu aja jawabannya?'"Makan!" Pasha menyodorkan sesendok bubur bayam tepat ke mulut Hana."Pak Pasha.." Melihat bintik-bintik
Malam harinya Pasha mengajak Hana pergi supermarket untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-hari. Pasha sadar sekarang apartemen itu tidak hanya dirinya seorang di sana. Tapi sudah ada Hana— permata berharganya. Tentu Pasha harus menjaga permata itu sebaik mungkin, Pasha tak ingin kejadian Hana yang masuk rumah sakit karena terlewat waktu makan itu kembali terulang.Ini pertama kalinya bagi Hana berbelanja bersama seorang 'pria' yang berstatus kan suami. Tidak tau kenapa, diam-diam Hana merasa kegiatan itu cukup manis. Pasha mendorong troli dan Hana mengambil beberapa barang yang diperlukan. Tidakkah seperti ini mereka sudah seperti pasangan pada umumnya?"Minyak goreng, minyak sayur, minyak Zaitun, kecap, saus, garam, gula, terus apa lagi ya?" Hana memperhatikan barang-barang yang sudah terkumpul di troli. Berpikir keras apa yang masih diperlukan. Sedang Pasha tampak berdiri memegang troli dengan wajah bosan."Ah, lada" Hana dengan cepatnya berjalan menyusuri rak, mencari di mana bar
"Kamu bales dendam ya sama saya?"Akhirnya disinilah mereka berada. Di tempat makan pinggir jalan, bersama suasana malam hari yang cukup berisik oleh nyanyian kendaraan bermotor dan mobil yang terus berlalu lalang. Tempat makan seperti ini sungguh merusak mood Pasha, tapi tidak dengan Hana yang tampak santai melahap seporsi nasi goreng yang dipesannya."Engga kok Pak" Hana mengambil segelas es teh dan meminumnya sedikit. Sudah lama Hana ingin makan ditempat seperti ini di malam hari. Tapi Hana tak bisa melakukannya karena ayahnya kerapkali protektif jika Hana keluar seorang diri di waktu malam."Kamu kok bisa makan ditempat seperti ini?" Mata elang Pasha berkerut heran melihat Hana yang terus menyendok kan nasi goreng itu ke dalam mulut dengan begitu nikmat, "Kamu tau gak kalo disini itu gak higenis?""..." Hana enggan menggubris. Terus mengunyah nasi goreng di mulutnya. Seporsi nasi goreng pedas plus telur ceplok setengah matang, itu sajian yang sangat menggugah selera makan Hana."N
Malam harinya Pasha berdiam di ruang kerja, meninjau banyak dokumen yang dikirim Eman melalui surel pribadinya. Karena hampir setengah hari penuh Pasha tidak di perusahaan, maka banyak pekerjaan tertunda yang harus Pasha bereskan di malam harinya. Setelah shalat Insya, Hana pergi ke dapur. Tapi sebelum itu Hana sempat melihat Pasha yang duduk di kursi kerja itu tampak serius memperhatikan layar tablet. Hana tau Pasha pasti sedang meninjau banyak dokumen yang tertunda karena menemaninya separuh hari ini. Di dapur, Hana membuka kulkas dan mengambil sekotak susu vanilla yang kemudian ia tuangkan ke gelas. Setelah menuntaskan segelas susu vanila itu, Hana pergi mengambil sekotak jus sayur yang ada di kulkas dan menuangkannya ke gelas kosong lainnya. Hana membawa segelas jus sayur itu ke ruang kerja Pasha. "Pak Pasha" Panggil Hana. Tangan kanannya memegang segelas jus sayur yang sengaja ia bawa untuk Pasha. Melihat jus sayur, itu sedikit mengingatkan Hana akan momen pertemuan mereka dul
Kata orang, hidup ini jangan terlalu dipikirkan— tapi cukup jalanin saja. Itu lah yang hanya dapat Hana lakukan di situasinya seperti sekarang. Bangun pagi, Hana bersiap-siap pergi mandi dan berpakaian rapi untuk ke kampus. Hana mencoba untuk beradaptasi dengan kehidupannya yang dijalaninya saat ini sebagai istri dari seorang workaholic."Lagi, aku harus terjebak dalam kehidupan yang dingin ini" Hana berpikir, menikah adalah caranya keluar dari kehidupannya yang kelabu dan hambar. Tapi tak taunya Hana malah terjebak dalam gua es yang sunyi dan sepi."Mungkin memang sudah takdir ku memiliki kehidupan seperti ini" Hana menarik nafas dalam-dalam, menelan segala kekecewaan dan kesedihan. Mengambil Tote bag nya, Hana bergegas keluar dari kamar dan menuju dapur.Hana terkejut melihat di meja makan sudah ada sepiring sandwich dan segelas susu vanila. Baru saja hatinya merasa sakit mengenang mirisnya takdir pernikahan yang ia miliki, tapi melihat sajian sarapan ini— seketika dadanya berbunga-
"Ayo dong Hana ceritaa, gimana malam pertama kamu sama Pak Pasha.." Rengek Chaca pada Hana. Saat itu mereka tengah duduk-duduk di taman kampus. Niat awalnya mereka hendak mengerjakan tugas kelompok, tapi begitulah kaum hawa yang tak dapat terpisahkan dengan topik dan obrolan."Syutt, Chaca berapa kali sih aku bilangin jangan keras-keras..." Ujar Hana dengan ekspresi wajah tertekan. Bagaimana jika ada salah satu anak-anak kampus yang mendengarnya? Kabarnya yang sudah menikah itu pasti akan menyebar dengan cepat. Biar bagaimanapun pernikahan di kalangan pelajar seperti mereka masih sangat minim terjadi. Hana terlalu malu diketahui orang-orang jika ia sudah menikah."Makanya ceritaaa!" Tukas Chaca yang tak henti-hentinya menuntut Hana untuk bercerita. Sedang Miftah hanya menggelengkan kepala melihat kerenah Chaca itu yang bukan kali pertama buat mereka."Mau cerita apa? Toh gak ada kejadian apa-apa kok" Tutur Hana, karena begitulah yang terjadi. Dari awal memang ia sudah buat kesepakatan
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny