"Ayo dong Hana ceritaa, gimana malam pertama kamu sama Pak Pasha.." Rengek Chaca pada Hana. Saat itu mereka tengah duduk-duduk di taman kampus. Niat awalnya mereka hendak mengerjakan tugas kelompok, tapi begitulah kaum hawa yang tak dapat terpisahkan dengan topik dan obrolan."Syutt, Chaca berapa kali sih aku bilangin jangan keras-keras..." Ujar Hana dengan ekspresi wajah tertekan. Bagaimana jika ada salah satu anak-anak kampus yang mendengarnya? Kabarnya yang sudah menikah itu pasti akan menyebar dengan cepat. Biar bagaimanapun pernikahan di kalangan pelajar seperti mereka masih sangat minim terjadi. Hana terlalu malu diketahui orang-orang jika ia sudah menikah."Makanya ceritaaa!" Tukas Chaca yang tak henti-hentinya menuntut Hana untuk bercerita. Sedang Miftah hanya menggelengkan kepala melihat kerenah Chaca itu yang bukan kali pertama buat mereka."Mau cerita apa? Toh gak ada kejadian apa-apa kok" Tutur Hana, karena begitulah yang terjadi. Dari awal memang ia sudah buat kesepakatan
Pasha memutuskan untuk pulang awal. Tidak tau kenapa memikirkan ada Hana di apartemennya yang kosong dan sunyi, membuat Pasha tak tahan jika mengingat Hana harus mendekam sendirian di sana. Hal itu membawa keberuntungan bagi para karyawan yang akhirnya dapat pulang kerja cepat tanpa harus lembur seperti biasanya."Alhamdulillah, akhirnya setelah sekian lama, untuk pertama kalinya kita menghirup kembali udara kebebasan" Ujar Bahri yang tampak bersemangat berkemas untuk pulang. Biasanya ia tak dapat melakukannya meski pekerjaan untuk hari itu sudah usai. Karena perusahaan mempunyai aturan tak tertulis...Dilarang pulang sebelum bos besar pulang."Pak Bahri memang ngomongin apa aja tadi sama Pak Pasha? Saya yakin ini pasti ada hubungannya sama yang pak Bahri bicarain tadi.." Tanya salah seorang karyawati. Karena sangat jarang mereka melihat bos toxic itu bisa pulang sore. Biasanya Pasha paling cepat pulang jam sembilan malam lewat."Kalian semua mau tau apa?" Pembicaraan serius yang meng
Hana meraba bibirnya yang baru saja dicium Pasha. Tekstur kasar dan tebalnya bibir pria itu terasa masih membekas di sekujur bibir kecilnya. Hawa panas pun kian menjalar di kedua belah pipinya yang sudah memerah muda bak sakura mekar. Hana memegang dadanya, merasa detak jantungnya yang berdegup tak wajar. Ini sungguh berbeda dari yang sebelumnya. "Haah, perasaan apa ini?" Meski samar, Hana dapat merasakan sesuatu yang membuncah dalam perutnya—menggelitik seperti jutaan kupu-kupu baru saja menyeruak keluar dari sana, "Kenapa rasanya begitu manis dan menyenangkan?" Detik itu Hana sama sekali tidak sadar, bahwa dalam dirinya mulai tertanam bibit cinta untuk suaminya— Pasha. Malam harinya, mereka ada agenda makan besar keluarga di sebuah hotel bintang lima yang dikelola oleh keluarga Pasha. Bisnis perhotelan keluarga El Murad tidak diragukan lagi keistimewaan dan kemewahan fasilitas yang tersedia didalamnya dan cabangnya pun sudah merambat di beberapa negara timur. Pasha duduk di sofa,
Menyadari ketidaksenangan Pasha, pria itu tersenyum agak canggung menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Hana yang tak menyadari keganjilan dari tatapan Pasha yang mendingin, hanya mengangguk dengan polosnya pada pria berjas coklat itu dengan bibir yang mengukir senyum sopan. "Ah, ternyata ini istri anda pak. Maaf saya hanya tau anda sudah menikah, tapi ini kali pertama saya melihat istri anda" Itu wajar beberapa kolega bisnis Pasha tidak mengenal Hana. Karena Pasha telah membuat pernikahannya sedikit tertutup dan melarang media manapun datang untuk meliput. "Ah, perkenalkan saya—" Pria itu baru saja hendak mengulurkan tangannya untuk melakukan salam kenal formal dengan Hana, tapi... "Kami permisi!" Pasha terus menarik pinggang kecil Hana dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Hana cukup terkejut dengan kelakuan Pasha itu. Matanya diam-diam menoleh pada Pasha yang auranya masih suram dan gelap, 'Tidakkah Pak Pasha ini terlalu sombong?' Bagaimanapun tadi itu salah seorang kolega
Shahbaz dapat merasakan ketidaksenangan Arya karena kelakuan keluarga besarnya. Shahbaz baru saja hendak mengatakan sesuatu untuk menghentikan alur pembicaraan itu hanya Pasha sudah bergerak mendahuluinya."Style Hana malam hari ini itu atas pilihan saya, jika kalian menganggap itu lelucon itu berarti kalian menghina saya"Sejurus kata-kata itu keluar dari mulut Pasha, tak seorangpun di meja makan yang masih berani tersenyum. Termasuk Aira yang sudah menciut dengan pandangan tertunduk ke bawah. Sejak dulu Aira selalu takut dengan pesona Pasha yang dingin dan acuh tak acuh itu.Keira dan Ratna yang sejak tadi sudah memanas dengan tenggorokan yang sudah sangat gatal ingin mengatakan sesuatu, kali ini dapat merasa lega melihat Pasha yang turun tangan untuk membela Hana."Ah, ternyata selera keluarga El-Murad sangat kuno ya" Keira tersenyum jahat kearah Aira. Keira tidak puas jika tidak melakukan sesuatu sebagai balasan."Siapa tadi yang berkata... 'Style apa nya? Siapa yang masih hidup d
Pasha mendorong tubuh kurus Hana hingga punggung Hana menabrak keras dinding. Hana tertegun, meneguk liur pahit tatkala tatapannya bertemu dengan mata dingin Pasha. Hana merasa seakan jutaan es dari mata elang itu berhamburan jatuh menghantam sekujur wajahnya yang membeku. Saat itu, otot wajah Hana seakan mengeras tak dapat digerakkan. Pelan tapi pasti, Hana melihat kepala Pasha yang perlahan menunduk itu berada tepat di depan wajahnya. Pasha kian mengikis jarak di antara mereka dan mata Hana berkedip takut mendapati mulut Pasha yang terbuka itu mulai menggigit bibir bawahnya. Alhasil Hana memejamkan mata dan meremas jari-jemarinya gugup. Hana sudah siap jika hukuman yang Pasha maksud adalah... Kret! Gigitan itu awalnya cukup lunak, tapi perlahan menjadi dalam dan keras. Hana memejamkan mata menahan sakit. Gerigi gigi Pasha yang tajam itu seakan siap merobek bibir bawah Hana. Rasa perih yang tak tertahan, itu merambat hingga ke saraf-saraf mata Hana yang menjadi pedih— itu mulai me
"Jawab saya Hana.." "..." Hana tak berani menatap mata itu, terus melarikan pandangannya ke sembarang arah. Pasha mencubit dagu Hana dan membuat sepasang mata hitam itu menatap tepat kearahnya. Pasha dapat melihat dahi Hana yang mengernyit sakit, tampaknya cubitan yang ia berikan terlalu keras. Pasha pun melepas cubitannya dari dagu Hana dan begitupun kedua tangan Hana yang ia kunci di atas kepala. Hana tidak dapat merasa lega sebelum tubuh kekar Pasha berhenti menindih tubuhnya. Jujur, tubuh pria itu cukup berat. Jika terus dalam posisi ini, Hana bisa pingsan karena menanggung beban itu dengan tubuh kecilnya. "Ini peringatan terakhir dari saya, jangan pernah menyentuh dapur lagi" Mata elang itu menatap Hana tegas dan dalam. Membuat Hana diam dan tak mampu berkutik. Hana pasrah saja melihat Pasha yang meraih kedua tangannya dan memeriksa setiap incinya dengan saksama. Ketegangan Hana sirna tergantikan dengan rasa penasaran, 'Sebenarnya apa yang sedang pak Pasha lakukan?' "Bagusla
Miftah dan Chaca menatap heran kearah Hana yang baru saja datang dan duduk di samping mereka. Tidak hanya mereka berdua, tapi hampir semua orang yang ada didalam ruang turut melayangkan tatapan penuh tanda tanya kearah Hana. Lebih tepatnya mereka semua terjerat rasa penasaran— 'Kenapa Hana memakai masker didalam ruang?'Chaca yang paling tidak dapat menahan rasa keingintahuannya, tanpa basa-basi terus bertanya, "Han, kok tumben kamu pake masker? Didalam ruang lagi?"Miftah turut menoleh kearah Hana, menanti jawaban dengan mimik keheranan di wajahnya."Err.." Hana bingung harus berkata apa. Haruskah Hana berbohong dengan mengatakan ada sariawan besar di bibirnya karena itu ia memakai masker. Tapi...Siapa yang akan percaya itu?"Kamu lagi sakit ya?" Celetuk Miftah."..." Hana menatap keduanya tanpa mengatakan sepatah katapun."Emang bener kamu lagi sakit?" Sambung Chaca, "Tapi sakit apaan emang sampai kamu pake masker gitu? Biasanya kalo flu pun kamu kan gak pernah tu make masker"Han