"Jawab saya Hana.." "..." Hana tak berani menatap mata itu, terus melarikan pandangannya ke sembarang arah. Pasha mencubit dagu Hana dan membuat sepasang mata hitam itu menatap tepat kearahnya. Pasha dapat melihat dahi Hana yang mengernyit sakit, tampaknya cubitan yang ia berikan terlalu keras. Pasha pun melepas cubitannya dari dagu Hana dan begitupun kedua tangan Hana yang ia kunci di atas kepala. Hana tidak dapat merasa lega sebelum tubuh kekar Pasha berhenti menindih tubuhnya. Jujur, tubuh pria itu cukup berat. Jika terus dalam posisi ini, Hana bisa pingsan karena menanggung beban itu dengan tubuh kecilnya. "Ini peringatan terakhir dari saya, jangan pernah menyentuh dapur lagi" Mata elang itu menatap Hana tegas dan dalam. Membuat Hana diam dan tak mampu berkutik. Hana pasrah saja melihat Pasha yang meraih kedua tangannya dan memeriksa setiap incinya dengan saksama. Ketegangan Hana sirna tergantikan dengan rasa penasaran, 'Sebenarnya apa yang sedang pak Pasha lakukan?' "Bagusla
Miftah dan Chaca menatap heran kearah Hana yang baru saja datang dan duduk di samping mereka. Tidak hanya mereka berdua, tapi hampir semua orang yang ada didalam ruang turut melayangkan tatapan penuh tanda tanya kearah Hana. Lebih tepatnya mereka semua terjerat rasa penasaran— 'Kenapa Hana memakai masker didalam ruang?'Chaca yang paling tidak dapat menahan rasa keingintahuannya, tanpa basa-basi terus bertanya, "Han, kok tumben kamu pake masker? Didalam ruang lagi?"Miftah turut menoleh kearah Hana, menanti jawaban dengan mimik keheranan di wajahnya."Err.." Hana bingung harus berkata apa. Haruskah Hana berbohong dengan mengatakan ada sariawan besar di bibirnya karena itu ia memakai masker. Tapi...Siapa yang akan percaya itu?"Kamu lagi sakit ya?" Celetuk Miftah."..." Hana menatap keduanya tanpa mengatakan sepatah katapun."Emang bener kamu lagi sakit?" Sambung Chaca, "Tapi sakit apaan emang sampai kamu pake masker gitu? Biasanya kalo flu pun kamu kan gak pernah tu make masker"Han
"Hana, pokoknya aku gak mau tau. Kamu harus cerita ke kita berdua. Sebenarnya kenapa sih kamu pakai masker hari ni?" Setelah mereka keluar dari ruang, Chaca tidak berhenti menuntut hal itu di sepanjang mereka berjalan meninggalkan gedung kampus."Chaa, jangan dipaksa gitu dong Hana nya, kasiann.." Tutur Miftah tak tega. Melihat Hana yang tampak kesulitan menghadapi Chaca yang sedari tadi terus mengulangi pertanyaan yang sama."Gimana gak aku paksa sih Mif? Hana dari awal datang ke kelas dengan masker aja udah aneh banget. Oke kita skip soal masker, terus yang Hana melamun di kelas sampai dosen panggil tiga kali pun Hana nya gak sadar—" Cerocos Chaca dengan dada yang berdebar naik turun, "Aku curiga ini pasti ada sangkut pautnya sama Pak Pasha. Iya kan Han?"Hana menghentikan langkahnya. Menarik nafas dalam-dalam, Hana menoleh kearah Chaca yang juga ikut berhenti berjalan, "Cha, aku—"Hana bingung harus berkata apa. Hana tidak ingin menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya da
Tanpa sepengetahuan Hana dan Miftah, sepulang perkuliahan Chaca tidak terus pulang ke rumah. Chaca mengetikkan nama El-Murad Pasha di laman web dan mencari tau di mana alamat perusahaan Pasha. Di sana keluar sebuah nama— PT Advance Technology yang tak lain didirikan oleh El-Murad Pasha. Setelah melihat lokasi tempat perusahaan itu berada, Chaca memutuskan untuk segera ke sana. Sesampai di sana, membuka helm Chaca mengangkat kepalanya kearah gedung besar dan megah. Chaca mau tak mau tak dapat menahan kekagumannya pada Pasha. Di usia Pasha yang masih begitu muda, tapi sudah dapat mengembangkan sebuah perusahaan sendiri. "Huh, memang dia aja apa yang bisa? Suatu hari nanti aku juga pasti bisa punya gedung bertingkat-tingkat kaya gitu" Chaca berbicara seorang diri dengan penuh tekad dan keyakinan. Chaca pun turun dari motor dan bergegas melangkah ke gedung besar itu. Di sana sudah berdiri seorang pria berseragam hitam yang dengan sopan mempersilahkannya masuk. Chaca awalnya sudah tak
"Ada urusan apa kamu ingin bertemu dengan saya?" Pasha melihat Maya dengan sorot mata acuh tak acuh. Pasha jelas mengenal Maya dan mengingatnya sebagai teman Hana yang paling cerewet. Chaca meremas jari-jemarinya gugup, "Saya ingin mengatakan sesuatu perihal Ha—" "Tujuh menit!" Pasha meletakkan jam pasir kecilnya di meja, "Setelahnya saya harus pergi bertemu kolega bisnis saya" Chaca menarik nafas dalam dan menghembusnya perlahan. Rasanya Chaca masih tidak percaya pria arogan didepannya ini adalah suami dari sahabatnya, Hana. "Baik" Angguk Chaca mantap. Seketika kegugupannya lenyap begitu saja. "Apa anda tau cara memperlakukan wanita dengan manis?" Chaca tidak punya niat untuk basa-basi sejak awal. Langsung membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan yang menjurus ke poin yang akan dibahasnya dengan Pasha. "..." Mata elang Pasha terlihat datar, menanti Maya berbicara lebih jauh. "Anda tau apa yang terjadi pada Hana hari ini?" Pasha refleks bangun dari sandaran kursi kerjanya, "
Tepat setelah menunaikan shalat zhuhur di mesjid kampus. Hana mendapatkan sebuah pesan dari Fawaz. Hana menautkan sepasang alisnya menatap bingung notifikasi yang baru saja muncul dilayar, "Tumben kak Fawaz ngirim aku pesan" Hana mengetuk ponsel tepat di layar notifikasi dan sebuah pesan dari Fawaz pun muncul di layar. [Hana, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Boleh tidak jika kita bertemu siang ini di restoran x..xx] Hana menautkan alisnya merasa itu sedikit aneh, 'Hal apa yang ingin kak Fawaz bicarakan denganku?' Segera Hana mengirimkan balasan. [Boleh kak. Kalau begitu sekarang langsung ke sana ya kak] Tak butuh waktu lama hingga sebuah balasan muncul. [Baik, kakak tunggu ya] Setelah pergi meninggalkan kawasan mesjid kampus, Hana mendatangi mesin ATM untuk menarik beberapa uang. Hana menggunakan kartu yang diberikan Pasha tadi pagi. Sebelum menariknya, Hana mengecek berapa saldo yang ada didalamnya. Angka nominal yang tertera di sana, terbilang sangat lah ba
"Terimakasih kak buat traktiran nya" Hana berjalan keluar bersama Fawaz meninggalkan restoran tempat tadi mereka makan. Situasi keduanya masih agak canggung karena pembicaraan Fawaz yang mengakui perasaannya pada Hana."Itu bukan apa-apa, seharusnya saya yang berterimakasih karena kamu sudah meluangkan waktu untuk bertemu""Ya tetap saja Hana harus berterima kasih sama kakak buat traktirannya" Hana mengulas senyum seadanya. Tanpa Fawaz sadari, hati Hana masih sakit mengingat pengakuannya tadi. Membuat Hana merasa ingin sekali mengulang waktu dan berlari pada pria itu untuk menikahinya alih-alih Pasha yang kejam.Tapi apa daya, segalanya telah terjadi."Kamu pulangnya gimana? Mau kakak antar aja gak?""Enggak pas-pa kok kak, nanti aku naik taxi aja" Tolak Hana sopan."Udah biar saya anterin aja ya" Keukeh Fawaz.Melihat Fawaz yang tampak bersikeras untuk mengantarkannya pulang, Hana terakhir mengangguk, "Yaudah kalau gitu kak, maaf nih Hana jadi ngere—""Hana!"Suara dingin yang siap m
"Loh Pak, ini kan perusahaan bapak. Kenapa kita di si—""Turun!" Pasha membuka sabuk pengaman dan menoleh pada Hana dengan tatapan dinginnya yang mencekam. Itu membuat Hana menggigil dan segera turun dari mobil seperti apa yang di titah kan suaminya itu.Pasha pun juga turun dari mobil dan melambai pada petugas yang berjaga di depan pintu perusahaan untuk datang, "Parkir mobil saya!" Pasha menyerahkan kunci mobilnya pada penjaga yang berseragam hitam itu."Baik pak"Setelahnya Pasha menarik tangan Hana kasar dan menyeretnya ke dalam perusahaan. Hana mengeluh dan memintanya untuk berjalan pelan-pelan. Tapi Pasha hanya acuh dan berjalan cepat menarik Hana seperti kucing kecil yang tak punya pilihan selain mengikuti derap langkah tuannya.Pemandangan dua orang itu pun berhasil menjadi pusat perhatian karyawan yang beberapa orang lewat dan melihat. Hana menunduk malu melihat tatapan orang-orang. Perlakuan Pasha yang jauh dari kata lembut itu semakin membuat hatinya teriris sakit, 'Aku dap
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny