Pasha mendorong tubuh kurus Hana hingga punggung Hana menabrak keras dinding. Hana tertegun, meneguk liur pahit tatkala tatapannya bertemu dengan mata dingin Pasha. Hana merasa seakan jutaan es dari mata elang itu berhamburan jatuh menghantam sekujur wajahnya yang membeku. Saat itu, otot wajah Hana seakan mengeras tak dapat digerakkan. Pelan tapi pasti, Hana melihat kepala Pasha yang perlahan menunduk itu berada tepat di depan wajahnya. Pasha kian mengikis jarak di antara mereka dan mata Hana berkedip takut mendapati mulut Pasha yang terbuka itu mulai menggigit bibir bawahnya. Alhasil Hana memejamkan mata dan meremas jari-jemarinya gugup. Hana sudah siap jika hukuman yang Pasha maksud adalah... Kret! Gigitan itu awalnya cukup lunak, tapi perlahan menjadi dalam dan keras. Hana memejamkan mata menahan sakit. Gerigi gigi Pasha yang tajam itu seakan siap merobek bibir bawah Hana. Rasa perih yang tak tertahan, itu merambat hingga ke saraf-saraf mata Hana yang menjadi pedih— itu mulai me
"Jawab saya Hana.." "..." Hana tak berani menatap mata itu, terus melarikan pandangannya ke sembarang arah. Pasha mencubit dagu Hana dan membuat sepasang mata hitam itu menatap tepat kearahnya. Pasha dapat melihat dahi Hana yang mengernyit sakit, tampaknya cubitan yang ia berikan terlalu keras. Pasha pun melepas cubitannya dari dagu Hana dan begitupun kedua tangan Hana yang ia kunci di atas kepala. Hana tidak dapat merasa lega sebelum tubuh kekar Pasha berhenti menindih tubuhnya. Jujur, tubuh pria itu cukup berat. Jika terus dalam posisi ini, Hana bisa pingsan karena menanggung beban itu dengan tubuh kecilnya. "Ini peringatan terakhir dari saya, jangan pernah menyentuh dapur lagi" Mata elang itu menatap Hana tegas dan dalam. Membuat Hana diam dan tak mampu berkutik. Hana pasrah saja melihat Pasha yang meraih kedua tangannya dan memeriksa setiap incinya dengan saksama. Ketegangan Hana sirna tergantikan dengan rasa penasaran, 'Sebenarnya apa yang sedang pak Pasha lakukan?' "Bagusla
Miftah dan Chaca menatap heran kearah Hana yang baru saja datang dan duduk di samping mereka. Tidak hanya mereka berdua, tapi hampir semua orang yang ada didalam ruang turut melayangkan tatapan penuh tanda tanya kearah Hana. Lebih tepatnya mereka semua terjerat rasa penasaran— 'Kenapa Hana memakai masker didalam ruang?'Chaca yang paling tidak dapat menahan rasa keingintahuannya, tanpa basa-basi terus bertanya, "Han, kok tumben kamu pake masker? Didalam ruang lagi?"Miftah turut menoleh kearah Hana, menanti jawaban dengan mimik keheranan di wajahnya."Err.." Hana bingung harus berkata apa. Haruskah Hana berbohong dengan mengatakan ada sariawan besar di bibirnya karena itu ia memakai masker. Tapi...Siapa yang akan percaya itu?"Kamu lagi sakit ya?" Celetuk Miftah."..." Hana menatap keduanya tanpa mengatakan sepatah katapun."Emang bener kamu lagi sakit?" Sambung Chaca, "Tapi sakit apaan emang sampai kamu pake masker gitu? Biasanya kalo flu pun kamu kan gak pernah tu make masker"Han
"Hana, pokoknya aku gak mau tau. Kamu harus cerita ke kita berdua. Sebenarnya kenapa sih kamu pakai masker hari ni?" Setelah mereka keluar dari ruang, Chaca tidak berhenti menuntut hal itu di sepanjang mereka berjalan meninggalkan gedung kampus."Chaa, jangan dipaksa gitu dong Hana nya, kasiann.." Tutur Miftah tak tega. Melihat Hana yang tampak kesulitan menghadapi Chaca yang sedari tadi terus mengulangi pertanyaan yang sama."Gimana gak aku paksa sih Mif? Hana dari awal datang ke kelas dengan masker aja udah aneh banget. Oke kita skip soal masker, terus yang Hana melamun di kelas sampai dosen panggil tiga kali pun Hana nya gak sadar—" Cerocos Chaca dengan dada yang berdebar naik turun, "Aku curiga ini pasti ada sangkut pautnya sama Pak Pasha. Iya kan Han?"Hana menghentikan langkahnya. Menarik nafas dalam-dalam, Hana menoleh kearah Chaca yang juga ikut berhenti berjalan, "Cha, aku—"Hana bingung harus berkata apa. Hana tidak ingin menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya da
Tanpa sepengetahuan Hana dan Miftah, sepulang perkuliahan Chaca tidak terus pulang ke rumah. Chaca mengetikkan nama El-Murad Pasha di laman web dan mencari tau di mana alamat perusahaan Pasha. Di sana keluar sebuah nama— PT Advance Technology yang tak lain didirikan oleh El-Murad Pasha. Setelah melihat lokasi tempat perusahaan itu berada, Chaca memutuskan untuk segera ke sana. Sesampai di sana, membuka helm Chaca mengangkat kepalanya kearah gedung besar dan megah. Chaca mau tak mau tak dapat menahan kekagumannya pada Pasha. Di usia Pasha yang masih begitu muda, tapi sudah dapat mengembangkan sebuah perusahaan sendiri. "Huh, memang dia aja apa yang bisa? Suatu hari nanti aku juga pasti bisa punya gedung bertingkat-tingkat kaya gitu" Chaca berbicara seorang diri dengan penuh tekad dan keyakinan. Chaca pun turun dari motor dan bergegas melangkah ke gedung besar itu. Di sana sudah berdiri seorang pria berseragam hitam yang dengan sopan mempersilahkannya masuk. Chaca awalnya sudah tak
"Ada urusan apa kamu ingin bertemu dengan saya?" Pasha melihat Maya dengan sorot mata acuh tak acuh. Pasha jelas mengenal Maya dan mengingatnya sebagai teman Hana yang paling cerewet. Chaca meremas jari-jemarinya gugup, "Saya ingin mengatakan sesuatu perihal Ha—" "Tujuh menit!" Pasha meletakkan jam pasir kecilnya di meja, "Setelahnya saya harus pergi bertemu kolega bisnis saya" Chaca menarik nafas dalam dan menghembusnya perlahan. Rasanya Chaca masih tidak percaya pria arogan didepannya ini adalah suami dari sahabatnya, Hana. "Baik" Angguk Chaca mantap. Seketika kegugupannya lenyap begitu saja. "Apa anda tau cara memperlakukan wanita dengan manis?" Chaca tidak punya niat untuk basa-basi sejak awal. Langsung membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan yang menjurus ke poin yang akan dibahasnya dengan Pasha. "..." Mata elang Pasha terlihat datar, menanti Maya berbicara lebih jauh. "Anda tau apa yang terjadi pada Hana hari ini?" Pasha refleks bangun dari sandaran kursi kerjanya, "
Tepat setelah menunaikan shalat zhuhur di mesjid kampus. Hana mendapatkan sebuah pesan dari Fawaz. Hana menautkan sepasang alisnya menatap bingung notifikasi yang baru saja muncul dilayar, "Tumben kak Fawaz ngirim aku pesan" Hana mengetuk ponsel tepat di layar notifikasi dan sebuah pesan dari Fawaz pun muncul di layar. [Hana, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Boleh tidak jika kita bertemu siang ini di restoran x..xx] Hana menautkan alisnya merasa itu sedikit aneh, 'Hal apa yang ingin kak Fawaz bicarakan denganku?' Segera Hana mengirimkan balasan. [Boleh kak. Kalau begitu sekarang langsung ke sana ya kak] Tak butuh waktu lama hingga sebuah balasan muncul. [Baik, kakak tunggu ya] Setelah pergi meninggalkan kawasan mesjid kampus, Hana mendatangi mesin ATM untuk menarik beberapa uang. Hana menggunakan kartu yang diberikan Pasha tadi pagi. Sebelum menariknya, Hana mengecek berapa saldo yang ada didalamnya. Angka nominal yang tertera di sana, terbilang sangat lah ba
"Terimakasih kak buat traktiran nya" Hana berjalan keluar bersama Fawaz meninggalkan restoran tempat tadi mereka makan. Situasi keduanya masih agak canggung karena pembicaraan Fawaz yang mengakui perasaannya pada Hana."Itu bukan apa-apa, seharusnya saya yang berterimakasih karena kamu sudah meluangkan waktu untuk bertemu""Ya tetap saja Hana harus berterima kasih sama kakak buat traktirannya" Hana mengulas senyum seadanya. Tanpa Fawaz sadari, hati Hana masih sakit mengingat pengakuannya tadi. Membuat Hana merasa ingin sekali mengulang waktu dan berlari pada pria itu untuk menikahinya alih-alih Pasha yang kejam.Tapi apa daya, segalanya telah terjadi."Kamu pulangnya gimana? Mau kakak antar aja gak?""Enggak pas-pa kok kak, nanti aku naik taxi aja" Tolak Hana sopan."Udah biar saya anterin aja ya" Keukeh Fawaz.Melihat Fawaz yang tampak bersikeras untuk mengantarkannya pulang, Hana terakhir mengangguk, "Yaudah kalau gitu kak, maaf nih Hana jadi ngere—""Hana!"Suara dingin yang siap m