Hana menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Menenggelamkan wajahnya di atas bantal, kedua tangannya berkali-kali memukul ranjang yang empuk itu dengan perasaan frustasi. Setelah beberapa menit melampiaskan kekesalannya dengan cara itu, Hana bangkit dan membaringkan tubuhnya keatas selimut yang lembut, "Ya Allah, aku harus gimana..."Pasha yang bersikeras meminta pertanggungjawabannya itu, menolak keras negosiasi ayahnya dalam opsi apapun. Pria arogan dan benar-benar dingin seperti julukannya 'pangeran malam' itu, tetap kekeuh untuk menjadikannya calon istri.Ayahnya yang selalu mempertimbangkan hal dengan meraih keduanya tanpa merugikan apapun, dengan tak berdaya berkata pada Hana, tepat setelah Pasha pergi meninggalkan kediaman."Papa tidak pernah ingin membuat mu menikah dengannya. Tapi karena tindakan sembrono mu malam itu, inilah hasilnya"Hana dengan sangat menyesal berkata, "Maaf Pa, Hana menyesal. Hana pasti akan bertanggungjawab akan hal ini tanpa membuat papa dirugikan""Bag
"Han, aku pulang duluan ya" Berjalan keluar meninggalkan gedung kampus, Chaca tampak terburu-buru pergi ke parkiran.Hana menoleh sekilas pada Miftah dengan tatapan bertanya, 'Kenapa dia terburu-buru sekali?' Miftah merespon arti tatapan itu dengan berkedik bahu. Lalu ia berteriak, "Chaa, gak mampir ke perpus dulu bareng kita?"Chaca yang sudah mengeluarkan motornya dari area parkiran, memasang helm dan menoleh kearah Hana dan Miftah, "Engga Mif, aku buru-buru nih. Mau jemput keisya, soalnya kak Fawaz gak bisa jemput. Jadwal koas nya padat hari ini""Ohh" Hana dan Miftah mengangguk-angguk mengerti.Keisya adalah adik bungsu Chaca yang baru duduk di kelas lima SD. Keluarga Chaca juga terbilang sibuk. Ibunya yang seorang dosen itu terkadang ada jam-jam tertentu yang tidak memungkinkan untuk menjemput Keisya. Begitu pun dengan ayahnya yang seringkali dinas keluar kota. Alhasil Chaca dan kakak pertamanya sering berbagi tugas untuk itu."Hati-hati yaa" Seru Hana dan Miftah serempak pada Ch
Mata elang Pasha berkedip terkejut mendapati Hana yang sudah menangis terisak-isak dengan tubuh berguncang pelan. Tidak perlu bertanya lebih jauh, Pasha cukup sadar diri kalau itu tidak lain karena dirinya. Hal yang telah dilakukannya itu pasti sangat mengejutkan 'permata nya' sampai menangis sedemikian rupa.Bukannya pergi meminta maaf, tapi Pasha menginterogasi Hana, "Apa pria itu melakukan sesuatu padamu? Apa dia mengancam mu? Apa ada bagian dari tubuh mu yang dilukainya?"Mata basah Hana sekilas melirik ke wajah tampan Pasha yang kaku dan dingin, tapi sorot mata elangnya yang tajam itu jelas menyuguhkan tatapan khawatir.Melihat Hana yang tidak kunjung berbicara, Pasha yang tidak suka membuang waktu itu terus mengeluarkan ponselnya. Terdengar suara bariton Pasha berbicara penuh penekanan melalui saluran, "Segera datang kemari"Hana awalnya tidak mengerti Pasha sedang menghubungi siapa sampai mengharuskan seseorang itu untuk segera datang ke kediamannya. Hingga ketika seorang pria
Mata hitam Hana membulat lebar. Hana terkesiap mendengar apa yang baru saja dikatakan Pasha. Menepikan gelas cappucino dingin itu ke samping, Hana duduk tegap dan cepat-cepat berpikir. Hana memutar keras otaknya, memikirkan persyaratan apa yang kira-kira Pasha tak dapat memenuhinya. Sekali pandang saja, jelas pria arogan itu cukup cakap dan berkemampuan dalam banyak hal. Jadi ia tidak boleh gegabah.Hana melihat Pasha meletakkan sebuah jam pasir kecil di atas meja. Hana kian tegang mendapati mata elang Pasha berkedip padanya dengan senyum separuh menyeringai, "Cepatlah, waktunya sudah berjalan dua menit"Sepasang mata Hana berkedip tertekan."Kau masih memiliki 8 menit tersisa"Hana meremas jari-jemarinya menatap Pasha rumit. Pria itu pasti sengaja membuatnya gelisah, mengusiknya dari berpikir."Lima menit" Pasha melirik kearah jam pasir kecilnya yang terus bekerja. Pasir didalam sana terus berjatuhan kebawah.Hana melirik sekilas kearah arloji yang melingkari tangan kirinya. Hana ta
Tak terasa ini adalah hari keenam setelah kesepakatan yang Hana buat dengan Pasha. Hana duduk termenung di ayunan yang ada di taman belakang rumahnya. Mata Hana menatap kebawah, memperhatikan rerumputan hijau yang terpangkas rapi. Biar begitu pikirannya mengembara jauh, memikirkan segala kemungkinan. Mengharapkan Pasha gagal memenuhi salah satu persyaratan darinya.Tapi Hana tak dapat menepis rasa takut yang terus bergelayut di mindanya. Pasha seseorang yang sangat tak tertebak. Bagaimana jika ketiga persyaratannya terpenuhi?"Aku sungguh tidak mau menikah dengan seseorang yang berjarak sepuluh tahun dariku" Kedua bahu Hana jatuh tak berdaya membayangkan nasibnya, "Terlebih lagi seorang pengusaha" Hana mendesah berat, "Plus seorang konglomerat!"Hana menatap langit biru sore yang menawan, rasanya ingin sekali menangis.Sejak dulu Hana sudah mem-blacklist 'pengusaha' sebagai kandidat calon suaminya. Terlebih seseorang yang berdarah konglomerat seperti dirinya. Hana sungguh tidak mengin
Tanpa sadar Hana tersenyum. Hana merasa senang dalam hati. Mendapati kakak keduanya yang sudah kembali seperti dulu lagi. Kakak yang banyak omong dan siap membelanya dalam hal apapun. "Kenapa malah senyum hem? Sebenarnya apa sih Han?" Ulang Keira penuh rasa penasaran. Hana menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Hana menatap Keira dan memutuskan untuk menceritakan mengenai kesepakatan yang ia buat dengan Pasha. "Jadi karena ini kamu menangis?" Hana tidak mengangguk, karena yang membuatnya menangis bukanlah hal itu. Keira yang melihat Hana diam membisu, menepuk pundak Hana dengan tegas berujar, "Kau tenang saja. Sekalipun bos toxic itu berhasil memenuhi ketiga persyaratan mu, kakak tetap tidak akan membiarkan mu menikah dengannya" Hana mengulas senyum lembut merasa tersentuh. Tapi memikirkan ancaman Pasha tempo hari, jika seandainya Hana tidak berlaku sesuai kesepakatan, bulu kuduknya terus meremang takut, "Sepertinya tidak bisa kak" "Kenapa?" "Berdasarkan kesepakatan, it
Hari yang tak pernah Hana tunggu pun tiba. Hari dimana Hana akan melihat hasil dari persyaratan yang ia ajukan pada Pasha. Jika ketiga persyaratan itu terpenuhi, Hana harus rela menerima lamaran Pasha dan bersiap menjadi istrinya. Tapi jika salah satunya gugur, itu adalah kebahagiaan yang tak tergambarkan untuknya. Hanya Hana terlalu takut menerima kenyataan. Bagaimana jika itu adalah kemungkinan pertama? "Kalian berdua datang ke rumah ku yuk! Ummi aku hari ini masak banyak untuk makan siang. Sengaja katanya buat undang kalian makan bareng di rumah" Tukas Miftah sambil membereskan buku-bukunya kedalam tas. Kelas mata kuliah yang terakhir untuk hari itu baru saja usai. "Aaa..mau banget" Seru Chaca penuh antusias, "Terakhir kali makan siang di rumah kamu Mif, aku paling gak bisa lupain terasi buatan ummi kamu. Asli pedas banget dan bikin nagih" Chaca dan Hana memang sering makan siang di rumah Miftah. Hana yang memiliki keluarga sibuk dan Chaca yang ibunya kerapkali tidak sempat mem
Di samping wajahnya yang bersemu malu, Hana merasa cukup lega. Menurut Hana, suatu hal seperti berbagi tempat makan dan minum, itu adalah aktivitas yang terbilang intim antara pria dan wanita. Hana hanya ingin melakukan hal itu dengan pasangan halalnya kelak.Beberapa menit berlalu dalam keheningan, Hana tak dapat menahan diri dari terkejut, tepat ketika sepasang pupil matanya, melihat Pasha dengan santainya minum dari sedotan bekas miliknya tadi. Pasha terus menyedot jus hijau itu seakan tidak terganggu dengan fakta...'Itu adalah bekas mulut ku?'Hana menggeleng cepat dan memutuskan untuk fokus menghabiskan semua makanannya. Pasha sudah menyelesaikan makannya dan memperhatikan Hana yang masih berjuang keras menghabiskan setiap makanan di piring.Alhasil setelah tiga puluh menit berlalu, tujuh piring dan tiga gelas itupun kosong. Hana yang merasa sangat kekenyangan, mengusap perutnya yang sudah membengkak. Tiba-tiba Hana menutup rapat mulutnya, mendadak merasa mual ingin muntah."Sa