Mata elang Pasha berkedip terkejut mendapati Hana yang sudah menangis terisak-isak dengan tubuh berguncang pelan. Tidak perlu bertanya lebih jauh, Pasha cukup sadar diri kalau itu tidak lain karena dirinya. Hal yang telah dilakukannya itu pasti sangat mengejutkan 'permata nya' sampai menangis sedemikian rupa.Bukannya pergi meminta maaf, tapi Pasha menginterogasi Hana, "Apa pria itu melakukan sesuatu padamu? Apa dia mengancam mu? Apa ada bagian dari tubuh mu yang dilukainya?"Mata basah Hana sekilas melirik ke wajah tampan Pasha yang kaku dan dingin, tapi sorot mata elangnya yang tajam itu jelas menyuguhkan tatapan khawatir.Melihat Hana yang tidak kunjung berbicara, Pasha yang tidak suka membuang waktu itu terus mengeluarkan ponselnya. Terdengar suara bariton Pasha berbicara penuh penekanan melalui saluran, "Segera datang kemari"Hana awalnya tidak mengerti Pasha sedang menghubungi siapa sampai mengharuskan seseorang itu untuk segera datang ke kediamannya. Hingga ketika seorang pria
Mata hitam Hana membulat lebar. Hana terkesiap mendengar apa yang baru saja dikatakan Pasha. Menepikan gelas cappucino dingin itu ke samping, Hana duduk tegap dan cepat-cepat berpikir. Hana memutar keras otaknya, memikirkan persyaratan apa yang kira-kira Pasha tak dapat memenuhinya. Sekali pandang saja, jelas pria arogan itu cukup cakap dan berkemampuan dalam banyak hal. Jadi ia tidak boleh gegabah.Hana melihat Pasha meletakkan sebuah jam pasir kecil di atas meja. Hana kian tegang mendapati mata elang Pasha berkedip padanya dengan senyum separuh menyeringai, "Cepatlah, waktunya sudah berjalan dua menit"Sepasang mata Hana berkedip tertekan."Kau masih memiliki 8 menit tersisa"Hana meremas jari-jemarinya menatap Pasha rumit. Pria itu pasti sengaja membuatnya gelisah, mengusiknya dari berpikir."Lima menit" Pasha melirik kearah jam pasir kecilnya yang terus bekerja. Pasir didalam sana terus berjatuhan kebawah.Hana melirik sekilas kearah arloji yang melingkari tangan kirinya. Hana ta
Tak terasa ini adalah hari keenam setelah kesepakatan yang Hana buat dengan Pasha. Hana duduk termenung di ayunan yang ada di taman belakang rumahnya. Mata Hana menatap kebawah, memperhatikan rerumputan hijau yang terpangkas rapi. Biar begitu pikirannya mengembara jauh, memikirkan segala kemungkinan. Mengharapkan Pasha gagal memenuhi salah satu persyaratan darinya.Tapi Hana tak dapat menepis rasa takut yang terus bergelayut di mindanya. Pasha seseorang yang sangat tak tertebak. Bagaimana jika ketiga persyaratannya terpenuhi?"Aku sungguh tidak mau menikah dengan seseorang yang berjarak sepuluh tahun dariku" Kedua bahu Hana jatuh tak berdaya membayangkan nasibnya, "Terlebih lagi seorang pengusaha" Hana mendesah berat, "Plus seorang konglomerat!"Hana menatap langit biru sore yang menawan, rasanya ingin sekali menangis.Sejak dulu Hana sudah mem-blacklist 'pengusaha' sebagai kandidat calon suaminya. Terlebih seseorang yang berdarah konglomerat seperti dirinya. Hana sungguh tidak mengin
Tanpa sadar Hana tersenyum. Hana merasa senang dalam hati. Mendapati kakak keduanya yang sudah kembali seperti dulu lagi. Kakak yang banyak omong dan siap membelanya dalam hal apapun. "Kenapa malah senyum hem? Sebenarnya apa sih Han?" Ulang Keira penuh rasa penasaran. Hana menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Hana menatap Keira dan memutuskan untuk menceritakan mengenai kesepakatan yang ia buat dengan Pasha. "Jadi karena ini kamu menangis?" Hana tidak mengangguk, karena yang membuatnya menangis bukanlah hal itu. Keira yang melihat Hana diam membisu, menepuk pundak Hana dengan tegas berujar, "Kau tenang saja. Sekalipun bos toxic itu berhasil memenuhi ketiga persyaratan mu, kakak tetap tidak akan membiarkan mu menikah dengannya" Hana mengulas senyum lembut merasa tersentuh. Tapi memikirkan ancaman Pasha tempo hari, jika seandainya Hana tidak berlaku sesuai kesepakatan, bulu kuduknya terus meremang takut, "Sepertinya tidak bisa kak" "Kenapa?" "Berdasarkan kesepakatan, it
Hari yang tak pernah Hana tunggu pun tiba. Hari dimana Hana akan melihat hasil dari persyaratan yang ia ajukan pada Pasha. Jika ketiga persyaratan itu terpenuhi, Hana harus rela menerima lamaran Pasha dan bersiap menjadi istrinya. Tapi jika salah satunya gugur, itu adalah kebahagiaan yang tak tergambarkan untuknya. Hanya Hana terlalu takut menerima kenyataan. Bagaimana jika itu adalah kemungkinan pertama? "Kalian berdua datang ke rumah ku yuk! Ummi aku hari ini masak banyak untuk makan siang. Sengaja katanya buat undang kalian makan bareng di rumah" Tukas Miftah sambil membereskan buku-bukunya kedalam tas. Kelas mata kuliah yang terakhir untuk hari itu baru saja usai. "Aaa..mau banget" Seru Chaca penuh antusias, "Terakhir kali makan siang di rumah kamu Mif, aku paling gak bisa lupain terasi buatan ummi kamu. Asli pedas banget dan bikin nagih" Chaca dan Hana memang sering makan siang di rumah Miftah. Hana yang memiliki keluarga sibuk dan Chaca yang ibunya kerapkali tidak sempat mem
Di samping wajahnya yang bersemu malu, Hana merasa cukup lega. Menurut Hana, suatu hal seperti berbagi tempat makan dan minum, itu adalah aktivitas yang terbilang intim antara pria dan wanita. Hana hanya ingin melakukan hal itu dengan pasangan halalnya kelak.Beberapa menit berlalu dalam keheningan, Hana tak dapat menahan diri dari terkejut, tepat ketika sepasang pupil matanya, melihat Pasha dengan santainya minum dari sedotan bekas miliknya tadi. Pasha terus menyedot jus hijau itu seakan tidak terganggu dengan fakta...'Itu adalah bekas mulut ku?'Hana menggeleng cepat dan memutuskan untuk fokus menghabiskan semua makanannya. Pasha sudah menyelesaikan makannya dan memperhatikan Hana yang masih berjuang keras menghabiskan setiap makanan di piring.Alhasil setelah tiga puluh menit berlalu, tujuh piring dan tiga gelas itupun kosong. Hana yang merasa sangat kekenyangan, mengusap perutnya yang sudah membengkak. Tiba-tiba Hana menutup rapat mulutnya, mendadak merasa mual ingin muntah."Sa
Tepat setelah rutinitas makan malam selesai, terdengar suara bel yang begitu nyaring dari luar. Arya yang baru saja duduk bersila kaki di sofa ruang tengah dengan koran di tangannya, melirik sekilas pada Keira yang baru saja lewat berjalan hendak mencapai anak tangga, "Ada yang datang itu Kei, coba kamu cek"Keira yang baru saja mencapai anak tangga, siap pergi ke lantai atas, terus tercekat di tempat, "Jangan-jangan..."Hana baru saja masuk kedalam kamar dan mendapati ponselnya berdering. Hana mengambil benda pipih itu yang ada di atas meja samping ranjang dan melihat nama yang tertera di layar, 'Pak Ujang?' Itu adalah security yang berkerja di kediamannya."Iya, Assalamu'alaikum pak""Wa'alaikumsalam, ini non saya mau kabarin"Hana menggigit ujung jari telunjuknya dengan perasaan tertekan, "Ya, ada apa pak?""Pak Pasha baru saja tiba dengan pak Shahbaz non. Saya mau kabarin itu saja, sesuai pesanan non Hana tempo hari""Iya pak Ujang, makasih ya""Sama-sama non"Hana melempar asal p
"Langsung saja, niat saya datang kemari, adalah untuk melamar putri bungsu anda pak Arya, untuk putra semata wayang saya Pasha" Lugas suara Shahbaz memecah keheningan ruang tamu.Jantung Hana berdegup kencang. Nafasnya seakan memburu cepat dan seluruh dunianya menjadi kacau. Akhirnya datang hari dimana seseorang datang melamarnya. Hanya itu menyedihkan. Bukanlah pangeran berkuda putih seperti yang diimpikannya selama ini..."Maaf sebelumnya pak Shahbaz, bukankah kita sudah sepakat untuk menjodohkan putra tunggal anda dengan putri kedua saya Keira?" Arya tersenyum rumit menatap Shahbaz.Keira yang mendengar penuturan papanya itu tersenyum kecut. Sampai akhir, tanpa perlu mengajukan diri pun, memang dirinya lah yang harus di korbankan di sini."Saya mengerti. Tapi saya hanya mengikuti apa yang telah dimainkan putra tunggal saya Pasha dengan putri bungsu anda Hana. Mereka berdua lah yang paling jelas kenapa saya datang pada malam hari ini atas tujuan itu" Shahbaz tersenyum seadanya meman
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny