"Bagaimana bisa terjadi hal yang memalukan seperti ini, hah? Seorang guru, tapi tidak berpendidikan! Berkelakuan layaknya binatang!" bentak Darmawan, Ayah dari gadis bernama Ayra.
Suasana di ruang pertemuan sekolah ini sangatlah mencekam. Kedua orang tua Ayra tidak terima dengan perlakuan tak senonoh seorang guru, yang bertugas di sekolah tempat Ayra menimba ilmu.Sudah ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kedua orang tua Ayra, Morgan dan juga Ayra di sana. Mereka mengadili perilaku Morgan yang tak senonoh, yang dilakukan terhadap putri mereka.Morgan memandang bingung ke arah mereka, karena kejadian ini tidak seperti yang mereka pikirkan."Maaf Tuan Darmawan, kejadian ini bukan seperti yang Anda pikirkan. Ini semua murni kesalahpahaman saja," ujar Morgan, yang berusaha berkilah di hadapan mereka."Alah, mana ada maling yang mengaku mencuri?" sambar Ibu Viona, yang tak lain adalah Ibu dari Ayra.Melihat suasana yang sangat menegangkan, kepala dan juga wakil kepala sekolah berusaha untuk menenangkan mereka."Tenang dulu Tuan dan Nyonya, jangan sampai memperkeruh keadaan," ujar kepala sekolah dengan wibawanya.Darmawan mendelik kesal. "Apanya yang tenang dulu? Kalau menyangkut tentang anak, mana bisa tenang sih Pak kepsek?"Memang benar apa yang Ayah Ayra katakan. Mereka para orang tua pastinya akan sangat tidak tenang, jika mengetahui permasalahan yang menyangkut anak mereka.Apalagi Ayra yang sedari tadi hanya menangis, karena sudah terlalu takut dengan kejadian yang menimpanya ini. Walaupun apa yang mereka pikirkan tidaklah benar, tetapi Ayra sudah tidak bisa membela diri saking takutnya ia melihat kondisi amarah kedua orang tuanya."Tetap saja Tuan Darmawan, Nyonya Viona, kita harus bertanya tentang kejadian yang sebenarnya pada Pak Morgan dan juga Ayra. Kita tidak bisa menghakimi secara sepihak," tukas kepala sekolah."Kejadian yang sebenarnya itu apa maksudnya Pak kepsek?" tanya sinis Darmawan, yang lalu menarik lengan tangan Ayra dan menunjukkan bekas kecupan di leher Ayra. "Anda lihat tanda merah ini! Ini sudah bukti kalau staf Anda melakukan hal yang tidak senonoh dengan putri saya!" sambungnya.Morgan memandangnya dengan tegas. "Itu bukan perlakuan saya, Tuan Darmawan! Itu karena saya mau membantu Ayra! Ini semua tidak seperti yang Anda pikirkan!" ujarnya berusaha menangkis serangan Ayah dari Ayra.Darmawan memandang sinis ke arah Morgan. "Apa kamu punya bukti atau saksi, tentang apa yang sebenarnya terjadi?"Pertanyaan itu sangat membuat hati Morgan gelisah. Pasalnya, ia memang tidak memiliki bukti atau saksi tentang kejadian yang sebenarnya. Ditambah lagi Ayra yang terus menangis, membuat keadaan semakin runyam jadinya."Percuma saja saya mengelak. Itu semua tidak akan pernah mematahkan tuduhan mereka terhadap saya. Harusnya ada bukti atau saksi tentang kejadian ini," batin Morgan, yang sudah terpojok dengan permasalahan ini.Morgan memandang sinis ke arah Ayra. "Setidaknya bicara sedikit, kek! Kenapa dia malah nangis begitu?" gerutunya kesal dalam hati."Kamu tidak punya bukti apa pun, bukan? Jadi, apa saya salah berpikiran negatif tentang hal ini? Apalagi ada tanda merah seperti kecupan, dan kamu yang saat itu sedang menerkam Ayra!" bentak Darmawan.Tak ada yang bisa membantah apa yang Darmawan tuduhkan. Semua hanya diam, termasuk Morgan.Wakil kepala sekolah berdeham. "Jadi, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya, Tuan Darmawan?""Hanya ada dua pilihan, Pak wakil. Guru itu harus menyerahkan diri ke kantor polisi, atau menikahi putri saya secepatnya!"Semua orang tercengang mendengarnya."Apa?" pekik Morgan, tak percaya dengan apa yang Ayah Ayra katakan.Mereka tercengang, karena mendengar ucapan Darmawan yang kurang masuk akal. Ayra masih sangatlah muda, bahkan masih tergolong di bawah umur. Mereka tidak yakin, akan bisa menyetujuinya atau tidak."Apa Anda yakin, Tuan Darmawan? Ayra baru berusia 15 tahun. Apakah Anda sepenuhnya akan menyerahkan putri Anda kepada Pak Morgan?" tanya wakil kepala sekolah."Semua itu terpaksa saya lakukan. Saya tidak mau menanggung malu, kalau nanti Ayra sampai hamil besar dan akan ketahuan oleh semua orang. Lebih baik mereka dinikahkan di awal, untuk berjaga-jaga ke depannya!" ujar Darmawan menjelaskan.Ayra mendelik tak terima. "Aku gak mau nikah, Pah! Aku gak mau nikah!" bantahnya."Ayra, ini semua Papa lakukan untuk kamu! Kamu harus menerimanya, kalau masih mau menganggap Papa dan Mama sebagai orang tua kamu! Harga diri Papa terluka, saat tau kamu diperlakukan tidak senonoh seperti ini! Jadi, dia harus bertanggung jawab dengan semua ini!" ujar Darmawan."Tapi kita gak ngapa-ngapain, Pah! Kenapa Papa malah maksa begitu, sih?" bantah Ayra lagi, bersikeras untuk menolak pernikahan ini.Darmawan menghela napasnya dengan panjang. Ia memandang sinis ke arah Ayra dan Morgan."Kalian dengar apa yang saya katakan ini. Kalian tidak akan menikah atau guru itu tidak akan masuk penjara, jika kalian memiliki satu bukti atau saksi. Saya akan memberikan kalian waktu untuk mencari bukti atau saksi selama tiga hari. Jika kalian tidak bisa membuktikan apa pun, lebih baik kalian memutuskan salah satunya!" ujar Darmawan, berusaha untuk memberikan sedikit kelonggaran untuk hal ini.Karena mendengar ucapan Darmawan yang lumayan masuk akal, kepala dan wakil kepala sekolah pun menyetujuinya."Ya, mungkin memang benar apa yang dikatakan Tuan Darmawan. Semua hal harus berdasarkan bukti dan saksi. Jika tidak ada, kemungkinan membela diri akan sulit. Jadi, kalian berusahalah selama tiga hari ke depan, untuk mencari bukti yang akan membebaskan kalian dari permasalahan ini," ucap kepala sekolah menengahi mereka.Terlihat wajah kekecewaan dan rasa kesal yang dalam di hati Morgan. Niat hati ingin menolong Ayra, ia malah jadi tertimpa masalah sebesar ini."Ayra, tinggallah di asrama selama tiga hari ini. Papa gak sudi melihat kamu tinggal di rumah, sebelum permasalahan ini selesai!" ujar Darmawan, yang sangat berat diterima Viona."Pah, Ayra harus tetap di rumah," tolak Viona."Enggak, Mah. Biarkan dia merenungi semua kesalahannya di sini. Papa gak mau lihat dia menangis seperti ini di rumah kita. Rumah kita tempat kebahagiaan, dan bukan tempat untuk meratapi nasib!""Tapi, Pah--""Gak ada kata tapi! Ayo kita pulang sekarang!" bentak Darmawan, yang langsung pergi sambil menarik lengan tangan Viona dari sana.Melihat kepergian orang tuanya, Ayra merasa sangat sedih. Ia tidak menyangka, nasibnya akan menjadi seperti ini hanya dalam hitungan jam saja.Kepala sekolah memandang ke arah Morgan yang sedang menunduk. Ia merasa Morgan harus menerima semuanya, karena Morgan yang untuk sementara ini tidak bisa menunjukkan bukti apa pun."Pak Morgan, masih ada waktu tiga hari ke depan. Anda bisa berusaha mencari bukti, dan jangan berpikir untuk melarikan diri dari masalah ini," ucap kepala sekolah.Morgan menghela napasnya dengan panjang. "Saya akan berusaha membuktikan, bahwa saya tidak bersalah!"Morgan menghela napas panjang.Bersama Ayra, dia keluar dari ruang sidang sekolah. Pria itu sungguh lelah dan hanya ingin segera kembali ke apartemen yang ia tempati. "Saya harus kembali ke rumah," ujar Morgan kepada Ayra tiba-tiba.Bukannya menjawab, Ayra malah terduduk lemas karena harus menerima permasalahan serumit ini. Morgan yang semula ingin cepat kembali ke apartemennya, menjadi iba ketika melihat Ayra yang sepertinya sangat hancur. "Kenapa semuanya terjadi sih? Kenapa malah jadi seperti ini?" gumam Ayra dengan tangisan yang sudah pecah. Morgan kembali menghela napasnya. Diulurkan tangannya ke arah Ayra, sehingga membuat gadis itu menghentikan tangisnya."Semua akan baik-baik saja," ucap Morgan.Bukannya senang, Ayra menjadi kesal mendengarnya. Perempuan itu lantas menepis tangan Morgan yang ada pada bahunya. "Apanya yang akan baik-baik aja, Pak? Kita mau dinikahin, atau Bapak akan masuk penjara. Apa itu yang namanya baik-baik aja? Gak ada yang akan baik-baik aja!" bentak
Keesokan harinya, Morgan berangkat ke sekolah seperti biasa. Diabaikannya tatapan menyelidik para guru di koridor sekolah dan terus melangkah ke arah kelas yang akan diajar.Hanya saja, langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika ia tak sengaja melihat seorang murid yang berada di rooftop gedung seberang. Matanya mendelik, tatkala ia menyadari bahwa murid tersebut adalah Ayra. "Ayra? Mau ngapain dia?" gumam Morgan, yang masih penasaran dengan apa yang akan Ayra lakukan di atas rooftop. Dengan setengah sadar, Morgan melangkah naik ke tangga untuk segera menyusul Ayra. Ia merasa ada yang aneh dengan gelagat Ayra. Langkahnya ia percepat, karena ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Ayra. Sampai akhirnya ia pun sudah sampai di atas rooftop. Setelah membuka paksa pintu yang sedikit sulit dibuka, pandangan Morgan pun tertuju pada Ayra yang sudah naik ke pembatas rooftop dengan membelakanginya. Morgan mendelik. "Astaga, Ayra! Kamu ngapain di situ?" pekiknya. Ayra menoleh untuk memastikan or
Suasana menjadi sangat tegang, karena Lidya yang tidak biasanya mendengar Morgan yang meminta bantuannya seperti ini. "Umm ... ada apa ya, Pak? Apa yang Pak Morgan inginkan?" tanya Lidya penasaran. "Saya ingin memeriksa rekaman CCTV di depan ruang penyimpanan peralatan olahraga. Saya ingin melihat di jam sebelum pulang sekolah," ujar Morgan tanpa basa-basi, membuat Lidya mengangguk kecil mendengarnya. Dengan cekatan, Lidya segera menuju ke arah tempat duduknya. Ia pun duduk, kemudian memeriksa rekaman tersebut pada monitor kontrol miliknya. "Ini Pak," ucap Lidya. Morgan memandangi layar monitor dengan sangat berhati-hati. Setelah Ayra masuk ke dalam ruangan tersebut, tidak ada siapa pun di sana yang melintas di area tersebut. Morgan semakin menajamkan matanya, kalau saja ada seseorang yang melewatinya di sana. Namun, ketika Morgan datang membawa sapu di tangannya, tidak ada orang lain sebelum dan setelah kedatangannya. Dengan kata lain, tidak ada saksi yang bisa membuktikan tenta
Morgan menatap Ayra dengan dalam. "Kamu tahu apa yang sedang saya rasakan saat ini, Ayra? Kehidupan saya hancur karena saya nolong kamu kemarin! Dengan entengnya kamu ngomong kalau kamu muak sama saya. Harusnya saya yang bicara seperti itu! Saya muak sama kamu, karena saya gak melakukan apa pun sama kamu tapi terpaksa harus menanggung permasalahan ini!" ujarnya dengan sedikit kasar. Ayra yang jiwanya sedang terluka, merasa tidak bisa menerimanya. Ia merasa kesal, karena kejadian ini juga bukanlah keinginannya. "Lho, bukan salah saya dong Pak! Ini juga bukan keinginan saya! Lagian kenapa Bapak masuk ke dalam ruangan itu gitu aja? Kenapa Bapak lalai banget, tanpa mikirin dampak yang akan terjadi, hah? Katanya Bapak guru, kenapa hal begini aja Bapak gak bisa prediksi, sih?" ungkap Ayra dengan sinis, membuat Morgan menghela napasnya dengan kasar. "Ayra, saya ini guru. Bukan cenayang. Saya gak bisa prediksi apa pun di luar nalar. Kamu harusnya tahu itu!" ujar Morgan dengan nada yang sed
Karena rasa penasaran yang menggebu, Morgan pun segera menuju ke arah mobilnya untuk membuntuti mereka. Hati Morgan cemas, tetapi ia tidak paham dengan apa yang ia rasakan. Sepanjang jalan ia hanya bisa memandang ke arah mobil tersebut. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya, karena ia yang khawatir dengan keadaan Ayra. "Kalau pria itu bukan kakak atau kerabatnya, bagaimana? Apa yang akan terjadi dengan mereka?" batin Morgan, sembari tetap memandang ke arah mobil tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, mereka pun akhirnya sampai di sebuah restoran. Morgan memandang Ayra yang keluar dari dalam mobil tersebut, dengan pria yang hendak menggenggam tangannya. Namun, Ayra menolak dan menghempaskan tangannya karena tidak ingin Ilham menggandengnya. Hal itu membuat Morgan berspekulasi sendiri. "Kalau pria itu kakaknya, dia tidak mungkin menggandeng mesra tangan adik perempuannya. Kalau pria itu kekasihnya, kenapa Ayra menolak gandengan tangannya?" gumam Morgan,
"Tunggu dulu, Sayang. Apa alasan kamu minta aku buat segera menikahi kamu? Biasanya kamu gak gini?" tanya Ilham, yang merasa masih bingung dengan alasan Ayra untuk hal ini. Karena tidak mungkin mengatakan hal yang terjadi padanya dan Morgan, Ayra hanya bisa diam dan tak berkata tentang hal itu. "Pokoknya kamu harus nikahin aku! Aku gak mau jadi milik orang lain!" bentak Ayra, yang sudah kehabisan akal untuk memberikan alasan kepada Ilham. "Apa?" Mendengar ucapan Ayra, Ilham sampai terkejut karenanya. Ia merasa tidak mengerti dengan perkataan yang Ayra maksudkan. "Maksud kamu apa, Ra? Milik orang lain?" tanya Ilham. Ayra menghela napasnya dengan panjang. "Ya, Papa jodohin aku sama orang lain. Pernikahan akan dilakukan besok malam. Makanya, aku minta kamu nikahin aku sekarang juga." "Apa?" pekik Ilham, yang kembali membuat semua orang memandang heran ke arahnya. Karena merasa tidak nyaman dengan suasana ini, Ilham pun menarik lengan tangan Ayra untuk menjauh pergi dari sana. "A
Melihat Ayra yang meledak seperti itu, Ilham segera memeluknya dari belakang. Ilham tidak ingin Ayra sampai marah padanya, hanya karena permasalahan seperti ini. "Oke, oke! Aku akan nikahin kamu," ucap Ilham, membuat Ayra merasa sangat tenang mendengarnya. "Tapi gak sekarang atau hari ini," tambah Ilham, sontak membuat Ayra melepaskan dirinya dari Ilham dan bangkit di hadapannya. "Maksud lo apa, hah? Gak hari ini gimana? Perjodohannya tinggal besok, kenapa lo gak mau nikahin gue sekarang?" tanya sinis Ayra dengan kesal. "Dengerin dulu, Ra. Aku janji akan nikahin kamu, kalau kamu sudah bercerai sama dia. Jadi, kamu bertahan dulu aja sama dia dalam pernikahan palsu kamu. Biarin Papa kamu mikir, kalau kamu bisa nerima apa yang dia mau. Setelah berjalan beberapa waktu, kamu tinggal bilang kalau kamu gak cocok jalanin pernikahan sama dia. Kalian tinggal bercerai, dan pada saat yang tepat, aku akan melamar kamu," ujar Ilham yang menjelaskan tentang hal ini pada Ayra. Ayra yang tak bisa
Di sela memikirkan perasaannya terhadap Clara, Morgan tiba-tiba saja memikirkan Ayra. Perasaannya tidak enak, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayra. "Dia cuma murid baru. Saya juga belum terlalu kenal sama dia, tapi kenapa pikiran saya dipenuhi dengan dia saat ini? Saya juga gak melakukan apa pun yang merugikan dia. kKenapa saya bisa merasa bersalah sama dia, sih?" gumam Morgan, yang merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. "Morgan ... kamu udah selesai mandi belum?" tanya Clara dari arah depan pintu kamar Morgan. Mrgan tersadar, dan akhirnya ia pun bangkit untuk menghampiri Clara di sana yang sudah menunggunya. Setelah Morgan sampai di sana, Clara pun tersenyum dengan sangat bahagia. Akhirnya ia bisa melakukan kebersamaan kembali dengan Morgan. Kebersamaan yang sempat hilang, kini kembali lagi. "Akhirnya kamu udah selesai mandi. Ayo kita makan! Aku udah nggak sabar mau makan bareng kamu!" Tidak ada jawaban dari Morgan. Ia hanya bisa mengikuti apa yang Clara ingi
Sementara itu di dalam kamar mandi, Morgan membuka shower yang sengaja ia alirkan mengenai sekujur tubuhnya yang panas. Lekuk dada Ayra yang menggiurkan, ternyata cukup membuat pikiran Morgan berantakan sejenak.“Ah ... dia terlalu seksi untuk seukuran anak SMA,” batin Morgan, dengan tangan yang ia sibakkan pada rambutnya yang sudah basah terkena percikan air shower.Sebisa mungkin Morgan menahan dirinya untuk tidak melampiaskan hasratnya.Setelah beberapa saat, Morgan pun keluar dari kamar mandi. Dengan hanya mengenakan handuk yang ia lilitkan pada pinggangnya, Morgan melangkah tanpa ragu.Sejak tadi, Ayra masih saja berpikir macam-macam dengan keadaan yang ada. Karena pikiran itu, ia masih saja berada di dalam selimut yang membungkus sekujur tubuhnya.Mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka, Ayra pun spontan menoleh, sehingga Morgan juga ikut menoleh ke arahnya.“Ah!” teriak Ayra, ketika ia sadar bahwa Morgan berdiri di hadapannya dengan tanpa mengenakan busana.Saking terkeju
Morgan berusaha menghindar dari serangan bantal dan guling yang Ayra lakukan. Namun, ternyata kekuatan Ayra cukup kuat, sehingga ia kewalahan sendiri menghadapinya.“Sudah cukup, Ayra!” ucap Morgan, yang terkena lemparan bantal tersebut.Lemparan kedua masih kena, tetapi Morgan berusaha menahan kesabarannya.“Ayra ....”“Ayra sudah cuk—” Morgan terdiam, karena lemparan keempat yang Ayra lakukan ternyata tepat mengenai wajahnya. “ ... kup,” sambungnya, setelah terkena lemparan tersebut.Ayra memandangnya dengan sinis, saking kesalnya ia dengan apa yang Morgan lakukan padanya. Setelah puas melempari Morgan, kini Ayra kembali menyembunyikan tubuhnya di dalam selimut, menyisakan wajahnya saja.Karena merasa sudah terkena imbasnya, Morgan pun hanya bisa menggelengkan kecil kepalanya sambil menghela napasnya dengan panjang. Karena kejadian ini, ia malah berharap pernikahan ini tidak sampai terjadi.“Kenapa pernikahan ini terjadi, ya? Aku menyesal sekarang,” batin Morgan, yang baru mengawali
Morgan menuju ke arah kamar Ayra. Walau dengan berat hati, ia mencoba membuka pintu dan ternyata tidak terkunci. Hal itu membuatnya bingung, karena Ayra yang tidak mengunci pintu kamarnya setelah melarikan diri tadi.“Aku kira pintunya dikunci,” batin Morgan, yang mulai memasuki kamar Ayra yang bernuansa merah muda.Terlihat banyak sekali pajangan pada dinding, termasuk figura dan beberapa polaroid membentuk gambar hati. Banyak sekali foto kebersamaan Ayra dengan seorang pria, yang sepertinya sangat tidak asing bagi Morgan.Morgan menyipitkan matanya ketika memandangi foto tersebut. “Itu ... bukannya pria yang waktu itu menjemput Ayra di sekolah? Gak nyangka, ternyata mereka pacaran,” batinnya, yang tidak menyangka akan hal itu.Sama sekali tidak terlihat keberadaan Ayra, sampai membuat Morgan semakin penasaran dengan pajangan yang berada di dinding tersebut. Satu per satu polaroid ia pandangi, dengan berbagai gaya foto yang terlihat cukup bagus untuk photo genic.“Ternyata mereka san
Karena mengetahui Morgan yang mencium keningnya, sekujur tubuh Ayra pun bergetar. Ia merasa sangat takut, karena ternyata seperti inilah rasanya ketika Morgan mengecupnya dengan lembut. Sangat berbeda rasanya ketika ia mendapatkan sentuhan dari Ilham.“Dia ... beneran cium gue? Kita udah jadi suami istri sekarang?” batin Ayra dengan mata yang mendelik, masih kaget dengan keadaan mereka saat ini.Tepuk tangan dan sorakan para saksi membuat Morgan menghentikan kecupan lembutnya pada kening Ayra. Ia menatap dalam Ayra, sampai membuat Ayra berbinar karena apa yang ia lakukan.Ayra paham, tatapan Morgan seakan meminta izin padanya untuk mencium bibirnya. Namun, Morgan juga paham bahwa Ayra mungkin saja tidak akan mengizinkannya untuk melakukannya. Semua itu berlangsung cukup lama, sampai membuat pendeta berdeham karenanya.“Kalian boleh saling mencium, kok!” goda Ayah Ayra, membuat wajah keduanya seketika memerah karena malu.Karena sudah mendapatkan persetujuan dari Ayah Ayra, Morgan pun
Jantungnya seketika berdetak dengan kencang, karena merasa sangat tidak percaya dengan keadaan ini.“Harusnya aku yang memersiapkan semuanya,” batin Morgan tak percaya, karena ternyata ia sudah lebih dulu melihat dekorasi pesta yang indah ini.Sayang sekali, ia harus menikah dengan orang yang tidak ia sukai. Terlebih lagi pernikahan ini karena terpaksa, dan juga karena sebuah insiden yang tidak menyenangkan. Morgan semakin bingung, karena ternyata ia benar-benar dihadapkan dengan keadaan seperti ini.“Aku ... benar-benar akan menikahi Ayra?” batin Morgan, yang masih tidak percaya dengan keadaan ini.Tak hanya Morgan, bahkan Ayra pun tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan merancang semua ini sedemikian rupa. Ia tidak mengira, bahwa semuanya akan jadi semewah ini.“Apa-apaan ini? Kenapa Mama Papa malah bikin pesta pernikahan meriah gini, sih? Mewah banget, buat ukuran gue yang sama sekali gak mau pernikahan ini terjadi!” gerutu Ayra dalam hati, tak terima dengan semua ini.“Kalian
Ayra mendelik, karena ia merasa Morgan sudah melakukan hal yang tidak perlu ia lakukan. Hal itu membuatnya menjerit, karena Morgan benar-benar melakukannya. “Pak Morgan, turunin saya!” teriak Ayra, tetapi Morgan sama sekali tidak menghiraukannya. Kini Morgan berhasil menggendong Ayra di dadanya. Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, membuat keduanya terpaku untuk sejenak. Ayra merasa sangat malu, sehingga membuat wajahnya memerah tanpa ia sadari. “Saya ‘kan udah bilang, saya masih mampu gendong kamu! Gak ada rasa berat sama sekali, tubuh kamu kayak kapas! Lagian saya masih muda, masih 25 tahun! Saya masih sanggup gendong kamu!” gerutu Morgan, yang hanya bisa menyombongkan dirinya di hadapan Ayra. Menyadari wajah Ayra yang memerah, Morgan pun juga merasa demikian. Ia merasa malu, dan segera menuruni Ayra dari gendongannya. Kini mereka sama-sama merasa salah tingkah, dengan Morgan yang tidak ingin menatap wajah Ayra. Hal itu membuat Ayra merasa sangat gugup, dan ia juga e
"Ya, setidaknya saya gak dicap penjahat oleh orang lain. Biarlah saya dicap penjahat oleh orang tua kamu, tapi setidaknya saya mau bertanggung jawab menikahi kamu. Ya ... walaupun saya gak mengakui kalau saya melakukan itu sama kamu sih!" sahut Morgan, membuat Ayra kesal mendengarnya. Saking kesalnya, Ayra merasa sangat bingung harus melakukan apa. Ia hanya bisa menahan diri untuk tidak memukul Morgan, padahal hatinya sangat ingin memukul Morgan sekeras mungkin. "Saya akui tekad kamu," ujar seseorang dari arah belakang Morgan, sontak membuat Morgan berbalik ke arahnya. Betapa terkejutnya Morgan, ketika melihat kedua orang tua Ayra yang berada di belakangnya. Ayra juga terkejut, karena ternyata sejak tadi perbincangan mereka terdengar orang tuanya. "Mama, Papa! Sejak kapan ada di sini?" tanya Ayra tak percaya. Morgan mendelik kaget. "Pak Darmawan, Bu Viona." "Sejak tadi Papa sudah mendengar seluruh percakapan kalian. Papa dan Mama sengaja datang lagi ke sekolah, karena ini sudah
Ilham mengusap rambut Ayra dengan lembut. "Aku bukan gak perjuangin kamu, Ayra. Aku cuma belum bisa melakukan apa-apa untuk saat ini." Ayra merasa kesal mendengarnya. "Sama aja kamu gak perjuangin aku!" bentaknya, sembari membuang pandangannya dari Ilham. "Sayang ... aku janji, kok! Aku pasti akan ngelamar kamu nanti, di saat yang tepat. Aku lagi berusaha untuk dapetin beberapa proyek, untuk kasih kamu pesta pernikahan termewah. Aku janji itu," ujar Ilham, berusaha untuk merayu Ayra. Karena dirinya yang sudah sangat mencintai Ilham, Ayra hanya bisa diam. Ilham merengkuhnya, sembuat Ayra menyandarkan kepalanya di dada Ilham. "Kamu percaya sama aku, ya?" ujar Ilham, tetapi Ayra sama sekali tidak merespon apa pun padanya. *** Setelah seharian mencari bukti dan saksi, baik Morgan ataupun Ayra, mereka sama sekali tidak mendapatkannya. Hari ini adalah penentuan bagi mereka, tentang permasalahan mereka dengan kedua orang tua Ayra. Karena Morgan tidak bisa mendapatkan bukti apa pun, i
Di sela memikirkan perasaannya terhadap Clara, Morgan tiba-tiba saja memikirkan Ayra. Perasaannya tidak enak, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayra. "Dia cuma murid baru. Saya juga belum terlalu kenal sama dia, tapi kenapa pikiran saya dipenuhi dengan dia saat ini? Saya juga gak melakukan apa pun yang merugikan dia. kKenapa saya bisa merasa bersalah sama dia, sih?" gumam Morgan, yang merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. "Morgan ... kamu udah selesai mandi belum?" tanya Clara dari arah depan pintu kamar Morgan. Mrgan tersadar, dan akhirnya ia pun bangkit untuk menghampiri Clara di sana yang sudah menunggunya. Setelah Morgan sampai di sana, Clara pun tersenyum dengan sangat bahagia. Akhirnya ia bisa melakukan kebersamaan kembali dengan Morgan. Kebersamaan yang sempat hilang, kini kembali lagi. "Akhirnya kamu udah selesai mandi. Ayo kita makan! Aku udah nggak sabar mau makan bareng kamu!" Tidak ada jawaban dari Morgan. Ia hanya bisa mengikuti apa yang Clara ingi