Morgan menatap Ayra dengan dalam. "Kamu tahu apa yang sedang saya rasakan saat ini, Ayra? Kehidupan saya hancur karena saya nolong kamu kemarin! Dengan entengnya kamu ngomong kalau kamu muak sama saya. Harusnya saya yang bicara seperti itu! Saya muak sama kamu, karena saya gak melakukan apa pun sama kamu tapi terpaksa harus menanggung permasalahan ini!" ujarnya dengan sedikit kasar.
Ayra yang jiwanya sedang terluka, merasa tidak bisa menerimanya. Ia merasa kesal, karena kejadian ini juga bukanlah keinginannya."Lho, bukan salah saya dong Pak! Ini juga bukan keinginan saya! Lagian kenapa Bapak masuk ke dalam ruangan itu gitu aja? Kenapa Bapak lalai banget, tanpa mikirin dampak yang akan terjadi, hah? Katanya Bapak guru, kenapa hal begini aja Bapak gak bisa prediksi, sih?" ungkap Ayra dengan sinis, membuat Morgan menghela napasnya dengan kasar."Ayra, saya ini guru. Bukan cenayang. Saya gak bisa prediksi apa pun di luar nalar. Kamu harusnya tahu itu!" ujar Morgan dengan nada yang sedikit ia tekan.Mendengar Morgan yang mengatakan hal itu, membuat Ayra sedikit tersentil. Namun, ucapan Morgan terdengar sedikit lucu, dengan ekspresi Morgan yang seperti itu di hadapannya.Ingin sekali Ayra tertawa, tetapi ia masih menjaga image di hadapan Morgan.Melihat gelagat Ayra yang menahan tawanya, Morgan pun merasa kesal. Tak disangka, Ayra bahkan hendak menertawakan derita yang ia rasakan."Kamu ngetawain saya, hah?" tanya sinis Morgan, membuat Ayra tertawa lepas karena sudah tidak bisa menahannya."Cenayang katanya?" batin Ayra, yang malah tak bisa menahan tawanya di hadapan Morgan.Melihat kedua orang tersebut di hadapannya, Lidya yang baru saja datang merasa terganggu dengan pemandangan ini. Dalam sudut pandangnya Ayra dan Morgan terlihat sangat romantis."Mereka bersikap romantis di hadapan saya? Kenapa mereka sengaja begitu, sih?" batin Lidya yang malah kesal melihat kebersamaan mereka.Karena sudah terlalu kesal, Lidya pun berlari pergi dari sana dan melewati mereka tanpa berkata apa pun.Ayra yang bingung, hanya bisa memandang kepergian Lidya saja."Dia kenapa?" gumam Ayra, dengan Morgan yang hanya diam tak memedulikan apa yang Lidya lakukan.Morgan memandang kepergian Lidya. "Dia ngeliat, ya? Baguslah," batinnya yang sedikit lega karenanya.Beberapa saat, Morgan tersadar dengan keadaan. Ia kembali memandang sinis ke arah Ayra, membuat Ayra juga tersadar dan memandang Morgan dengan tatapan yang tak kalah sinisnya."Pokoknya saya gak mau masuk penjara!" ujar Morgan dengan kesal, karena sudah tidak bisa mengatakan apa pun lagi."Lebih baik begitu, daripada saya harus nikah sama Pak Morgan!" ujar Ayra dengan ketus, membuat Morgan tak bisa menerimanya."Kamu ...."Ayra pergi, sebelum Morgan bisa meneruskan apa yang hendak ia katakan."Ayra, tunggu!" pekik Morgan, yang tak dipedulikan oleh Ayra.Dengan rasa kesal yang memuncak, Morgan hanya bisa menendang udara. Ia merasa tidak bisa melakukan apa pun lagi, karena ternyata Ayra yang memang tidak menginginkan pernikahan itu terjadi."Ya, saya juga gak mau pernikahan itu sampai terjadi. Tapi saya juga gak mau sampai masuk penjara!" gerutu Morgan, yang merasa tidak bisa menerima kedua hal tersebut.***Jam pelajaran hari ini sudah hampir selesai. Sepanjang hari Ayra hanya tertidur di kelas, karena ia yang semalaman tidak bisa beristirahat. Tak ada guru yang menegurnya, karena kepala sekolah yang berpesan pada mereka untuk tidak menghukum Ayra selama dua hari ke depan."Baiklah, jika tidak ada pertanyaan mari kita sudahi pelajaran hari ini. Sampai jumpa besok di hari Jumat," ucap guru yang mengisi jam pelajaran kali ini.Semua orang membubarkan diri, setelah guru keluar dari ruangan kelas ini. Ayra masih saja tertidur pulas, sehingga membuat sahabatnya yang bernama Nadine merasa iba melihatnya.Nadine menggoyangkan lengan tangan Ayra. "Ra, bangun. Ini udah selesai jam pelajaran," ujarnya dengan sangat hati-hati membangunkan Ayra."Eng?" Ayra tersadar dari tidurnya, dan menyadari bahwa keadaan sekelilingnya sudah sangat sepi."Kamu capek banget kelihatannya. Kamu begadang semalem?" tanya Nadine, penasaran dengan apa yang Ayra lakukan.Ayra membenarkan sikap duduknya, kemudian menghela napasnya dengan panjang. "Ya, aku ga bisa tidur.""Kenapa gak bisa tidur? Apa ada yang kamu pikirin?" tanya Nadine lagi.Karena tidak ingin mengatakan apa pun, Ayra hanya bisa menggelengkan kepalanya saja."Aku cuma gak bisa tidur aja semalam. Aku main game, sampai lupa waktu. Aku kebablasan," ujar Ayra yang berusaha untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.Nadine menghela napasnya dengan panjang. "Harusnya kalau mau main game, di weekend. Kamu bisa dengan enaknya main tanpa mengganggu pelajaran kamu di sekolah."Nadine memanglah sangat baik. Selain itu, ia adalah anak paling pandai di kelas ini. Ia sangat rajin, sehingga membuat para guru memerhatikan lebih kepada dirinya."Ya, aku salah. Lain kali aku gak akan begitu lagi," ucap Ayra dengan nada rendah, berusaha untuk tidak melawan yang Nadine katakan."Ya udah, ayo kita pulang," ajak Nadine."Duluan aja, Nad. Aku dijemput sama pacar aku."Nadine mengangguk kecil. "Ya udah, kamu hati-hati di jalan ya. Jangan malam-malam pulangnya," pesannya.Selain rajin, Nadine juga adalah anak yang sangat baik. Ia sangat patuh peraturan, dan tidak macam-macam menjalani kehidupannya. Semuanya sudah tersusun rapi sesuai jadwal, sehingga Nadine tidak bisa melanggar hal yang sudah ia pelajari sejak kecil."Oke deh."Mereka pun berpisah di sana, dengan Nadine yang lebih dulu pergi dari sana. Melihat kepergian Nadine, Ayra pun menghela napasnya dengan panjang."Pura-pura gak ada apa-apa itu, ternyata butuh effort yang besar," batin Ayra, yang merasa sudah mulai tertekan dengan apa yang ia jalani saat ini.Setelah merapikan barang-barang miliknya, Ayra pun segera pergi dari sana untuk menuju ke arah gerbang sekolah.Di sana, ternyata sudah ada Ilham yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Ayra. Karena profesi Ilham yang merupakan manajer di sebuah perusahaan, ia datang menggunakan mobil dan juga jas yang rapi.Biasanya Ayra tidak ingin jalan bersama Ilham, yang terlihat lebih dewasa darinya. Apalagi saat ini Ayra masih mengenakan seragamnya, sehingga nampak jelas perbedaan umur di antara keduanya.Ayra masuk ke dalam mobil Ilham dengan mood yang tidak jelas. Ia hanya diam tak menatap Ilham, membuat Ilham heran dengan apa yang terjadi dengan kekasihnya itu."Ada apa, Sayang? Kenapa bete gitu ketemu sama aku?" tanya Ilham.Ayra hanya diam, tidak memedulikan apa yang Ilham katakan.Menyadari dengan mood remaja yang satu ini, Ilham pun hanya bisa menghela napasnya dengan panjang. Ia mengerti dengan apa yang Ayra rasakan."Ya udah, kita makan dulu ya. Nanti baru cerita," ujar Ilham, yang masih tak dihiraukan oleh Ayra.Ilham mengemudikan mobilnya untuk menuju ke tempat yang ingin mereka tuju.Di luar dugaan, ternyata sedari tadi Morgan ada di sana memerhatikan Ayra dari kejauhan. Ia tak percaya, Ayra akan pergi dengan pria yang tidak ia kenal."Ayra pergi dengan siapa? Kenapa kelihatannya sudah dewasa, ya? Apa ... itu kakaknya?" gumam Morgan, yang penasaran dengan hubungan di antara Ayra dan pria yang menjemputnya tadi.Karena rasa penasaran yang menggebu, Morgan pun segera menuju ke arah mobilnya untuk membuntuti mereka. Hati Morgan cemas, tetapi ia tidak paham dengan apa yang ia rasakan. Sepanjang jalan ia hanya bisa memandang ke arah mobil tersebut. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya, karena ia yang khawatir dengan keadaan Ayra. "Kalau pria itu bukan kakak atau kerabatnya, bagaimana? Apa yang akan terjadi dengan mereka?" batin Morgan, sembari tetap memandang ke arah mobil tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, mereka pun akhirnya sampai di sebuah restoran. Morgan memandang Ayra yang keluar dari dalam mobil tersebut, dengan pria yang hendak menggenggam tangannya. Namun, Ayra menolak dan menghempaskan tangannya karena tidak ingin Ilham menggandengnya. Hal itu membuat Morgan berspekulasi sendiri. "Kalau pria itu kakaknya, dia tidak mungkin menggandeng mesra tangan adik perempuannya. Kalau pria itu kekasihnya, kenapa Ayra menolak gandengan tangannya?" gumam Morgan,
"Tunggu dulu, Sayang. Apa alasan kamu minta aku buat segera menikahi kamu? Biasanya kamu gak gini?" tanya Ilham, yang merasa masih bingung dengan alasan Ayra untuk hal ini. Karena tidak mungkin mengatakan hal yang terjadi padanya dan Morgan, Ayra hanya bisa diam dan tak berkata tentang hal itu. "Pokoknya kamu harus nikahin aku! Aku gak mau jadi milik orang lain!" bentak Ayra, yang sudah kehabisan akal untuk memberikan alasan kepada Ilham. "Apa?" Mendengar ucapan Ayra, Ilham sampai terkejut karenanya. Ia merasa tidak mengerti dengan perkataan yang Ayra maksudkan. "Maksud kamu apa, Ra? Milik orang lain?" tanya Ilham. Ayra menghela napasnya dengan panjang. "Ya, Papa jodohin aku sama orang lain. Pernikahan akan dilakukan besok malam. Makanya, aku minta kamu nikahin aku sekarang juga." "Apa?" pekik Ilham, yang kembali membuat semua orang memandang heran ke arahnya. Karena merasa tidak nyaman dengan suasana ini, Ilham pun menarik lengan tangan Ayra untuk menjauh pergi dari sana. "A
Melihat Ayra yang meledak seperti itu, Ilham segera memeluknya dari belakang. Ilham tidak ingin Ayra sampai marah padanya, hanya karena permasalahan seperti ini. "Oke, oke! Aku akan nikahin kamu," ucap Ilham, membuat Ayra merasa sangat tenang mendengarnya. "Tapi gak sekarang atau hari ini," tambah Ilham, sontak membuat Ayra melepaskan dirinya dari Ilham dan bangkit di hadapannya. "Maksud lo apa, hah? Gak hari ini gimana? Perjodohannya tinggal besok, kenapa lo gak mau nikahin gue sekarang?" tanya sinis Ayra dengan kesal. "Dengerin dulu, Ra. Aku janji akan nikahin kamu, kalau kamu sudah bercerai sama dia. Jadi, kamu bertahan dulu aja sama dia dalam pernikahan palsu kamu. Biarin Papa kamu mikir, kalau kamu bisa nerima apa yang dia mau. Setelah berjalan beberapa waktu, kamu tinggal bilang kalau kamu gak cocok jalanin pernikahan sama dia. Kalian tinggal bercerai, dan pada saat yang tepat, aku akan melamar kamu," ujar Ilham yang menjelaskan tentang hal ini pada Ayra. Ayra yang tak bisa
Di sela memikirkan perasaannya terhadap Clara, Morgan tiba-tiba saja memikirkan Ayra. Perasaannya tidak enak, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayra. "Dia cuma murid baru. Saya juga belum terlalu kenal sama dia, tapi kenapa pikiran saya dipenuhi dengan dia saat ini? Saya juga gak melakukan apa pun yang merugikan dia. kKenapa saya bisa merasa bersalah sama dia, sih?" gumam Morgan, yang merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. "Morgan ... kamu udah selesai mandi belum?" tanya Clara dari arah depan pintu kamar Morgan. Mrgan tersadar, dan akhirnya ia pun bangkit untuk menghampiri Clara di sana yang sudah menunggunya. Setelah Morgan sampai di sana, Clara pun tersenyum dengan sangat bahagia. Akhirnya ia bisa melakukan kebersamaan kembali dengan Morgan. Kebersamaan yang sempat hilang, kini kembali lagi. "Akhirnya kamu udah selesai mandi. Ayo kita makan! Aku udah nggak sabar mau makan bareng kamu!" Tidak ada jawaban dari Morgan. Ia hanya bisa mengikuti apa yang Clara ingi
Ilham mengusap rambut Ayra dengan lembut. "Aku bukan gak perjuangin kamu, Ayra. Aku cuma belum bisa melakukan apa-apa untuk saat ini." Ayra merasa kesal mendengarnya. "Sama aja kamu gak perjuangin aku!" bentaknya, sembari membuang pandangannya dari Ilham. "Sayang ... aku janji, kok! Aku pasti akan ngelamar kamu nanti, di saat yang tepat. Aku lagi berusaha untuk dapetin beberapa proyek, untuk kasih kamu pesta pernikahan termewah. Aku janji itu," ujar Ilham, berusaha untuk merayu Ayra. Karena dirinya yang sudah sangat mencintai Ilham, Ayra hanya bisa diam. Ilham merengkuhnya, sembuat Ayra menyandarkan kepalanya di dada Ilham. "Kamu percaya sama aku, ya?" ujar Ilham, tetapi Ayra sama sekali tidak merespon apa pun padanya. *** Setelah seharian mencari bukti dan saksi, baik Morgan ataupun Ayra, mereka sama sekali tidak mendapatkannya. Hari ini adalah penentuan bagi mereka, tentang permasalahan mereka dengan kedua orang tua Ayra. Karena Morgan tidak bisa mendapatkan bukti apa pun, i
"Ya, setidaknya saya gak dicap penjahat oleh orang lain. Biarlah saya dicap penjahat oleh orang tua kamu, tapi setidaknya saya mau bertanggung jawab menikahi kamu. Ya ... walaupun saya gak mengakui kalau saya melakukan itu sama kamu sih!" sahut Morgan, membuat Ayra kesal mendengarnya. Saking kesalnya, Ayra merasa sangat bingung harus melakukan apa. Ia hanya bisa menahan diri untuk tidak memukul Morgan, padahal hatinya sangat ingin memukul Morgan sekeras mungkin. "Saya akui tekad kamu," ujar seseorang dari arah belakang Morgan, sontak membuat Morgan berbalik ke arahnya. Betapa terkejutnya Morgan, ketika melihat kedua orang tua Ayra yang berada di belakangnya. Ayra juga terkejut, karena ternyata sejak tadi perbincangan mereka terdengar orang tuanya. "Mama, Papa! Sejak kapan ada di sini?" tanya Ayra tak percaya. Morgan mendelik kaget. "Pak Darmawan, Bu Viona." "Sejak tadi Papa sudah mendengar seluruh percakapan kalian. Papa dan Mama sengaja datang lagi ke sekolah, karena ini sudah
Ayra mendelik, karena ia merasa Morgan sudah melakukan hal yang tidak perlu ia lakukan. Hal itu membuatnya menjerit, karena Morgan benar-benar melakukannya. “Pak Morgan, turunin saya!” teriak Ayra, tetapi Morgan sama sekali tidak menghiraukannya. Kini Morgan berhasil menggendong Ayra di dadanya. Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, membuat keduanya terpaku untuk sejenak. Ayra merasa sangat malu, sehingga membuat wajahnya memerah tanpa ia sadari. “Saya ‘kan udah bilang, saya masih mampu gendong kamu! Gak ada rasa berat sama sekali, tubuh kamu kayak kapas! Lagian saya masih muda, masih 25 tahun! Saya masih sanggup gendong kamu!” gerutu Morgan, yang hanya bisa menyombongkan dirinya di hadapan Ayra. Menyadari wajah Ayra yang memerah, Morgan pun juga merasa demikian. Ia merasa malu, dan segera menuruni Ayra dari gendongannya. Kini mereka sama-sama merasa salah tingkah, dengan Morgan yang tidak ingin menatap wajah Ayra. Hal itu membuat Ayra merasa sangat gugup, dan ia juga e
Jantungnya seketika berdetak dengan kencang, karena merasa sangat tidak percaya dengan keadaan ini.“Harusnya aku yang memersiapkan semuanya,” batin Morgan tak percaya, karena ternyata ia sudah lebih dulu melihat dekorasi pesta yang indah ini.Sayang sekali, ia harus menikah dengan orang yang tidak ia sukai. Terlebih lagi pernikahan ini karena terpaksa, dan juga karena sebuah insiden yang tidak menyenangkan. Morgan semakin bingung, karena ternyata ia benar-benar dihadapkan dengan keadaan seperti ini.“Aku ... benar-benar akan menikahi Ayra?” batin Morgan, yang masih tidak percaya dengan keadaan ini.Tak hanya Morgan, bahkan Ayra pun tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan merancang semua ini sedemikian rupa. Ia tidak mengira, bahwa semuanya akan jadi semewah ini.“Apa-apaan ini? Kenapa Mama Papa malah bikin pesta pernikahan meriah gini, sih? Mewah banget, buat ukuran gue yang sama sekali gak mau pernikahan ini terjadi!” gerutu Ayra dalam hati, tak terima dengan semua ini.“Kalian
Sementara itu di dalam kamar mandi, Morgan membuka shower yang sengaja ia alirkan mengenai sekujur tubuhnya yang panas. Lekuk dada Ayra yang menggiurkan, ternyata cukup membuat pikiran Morgan berantakan sejenak.“Ah ... dia terlalu seksi untuk seukuran anak SMA,” batin Morgan, dengan tangan yang ia sibakkan pada rambutnya yang sudah basah terkena percikan air shower.Sebisa mungkin Morgan menahan dirinya untuk tidak melampiaskan hasratnya.Setelah beberapa saat, Morgan pun keluar dari kamar mandi. Dengan hanya mengenakan handuk yang ia lilitkan pada pinggangnya, Morgan melangkah tanpa ragu.Sejak tadi, Ayra masih saja berpikir macam-macam dengan keadaan yang ada. Karena pikiran itu, ia masih saja berada di dalam selimut yang membungkus sekujur tubuhnya.Mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka, Ayra pun spontan menoleh, sehingga Morgan juga ikut menoleh ke arahnya.“Ah!” teriak Ayra, ketika ia sadar bahwa Morgan berdiri di hadapannya dengan tanpa mengenakan busana.Saking terkeju
Morgan berusaha menghindar dari serangan bantal dan guling yang Ayra lakukan. Namun, ternyata kekuatan Ayra cukup kuat, sehingga ia kewalahan sendiri menghadapinya.“Sudah cukup, Ayra!” ucap Morgan, yang terkena lemparan bantal tersebut.Lemparan kedua masih kena, tetapi Morgan berusaha menahan kesabarannya.“Ayra ....”“Ayra sudah cuk—” Morgan terdiam, karena lemparan keempat yang Ayra lakukan ternyata tepat mengenai wajahnya. “ ... kup,” sambungnya, setelah terkena lemparan tersebut.Ayra memandangnya dengan sinis, saking kesalnya ia dengan apa yang Morgan lakukan padanya. Setelah puas melempari Morgan, kini Ayra kembali menyembunyikan tubuhnya di dalam selimut, menyisakan wajahnya saja.Karena merasa sudah terkena imbasnya, Morgan pun hanya bisa menggelengkan kecil kepalanya sambil menghela napasnya dengan panjang. Karena kejadian ini, ia malah berharap pernikahan ini tidak sampai terjadi.“Kenapa pernikahan ini terjadi, ya? Aku menyesal sekarang,” batin Morgan, yang baru mengawali
Morgan menuju ke arah kamar Ayra. Walau dengan berat hati, ia mencoba membuka pintu dan ternyata tidak terkunci. Hal itu membuatnya bingung, karena Ayra yang tidak mengunci pintu kamarnya setelah melarikan diri tadi.“Aku kira pintunya dikunci,” batin Morgan, yang mulai memasuki kamar Ayra yang bernuansa merah muda.Terlihat banyak sekali pajangan pada dinding, termasuk figura dan beberapa polaroid membentuk gambar hati. Banyak sekali foto kebersamaan Ayra dengan seorang pria, yang sepertinya sangat tidak asing bagi Morgan.Morgan menyipitkan matanya ketika memandangi foto tersebut. “Itu ... bukannya pria yang waktu itu menjemput Ayra di sekolah? Gak nyangka, ternyata mereka pacaran,” batinnya, yang tidak menyangka akan hal itu.Sama sekali tidak terlihat keberadaan Ayra, sampai membuat Morgan semakin penasaran dengan pajangan yang berada di dinding tersebut. Satu per satu polaroid ia pandangi, dengan berbagai gaya foto yang terlihat cukup bagus untuk photo genic.“Ternyata mereka san
Karena mengetahui Morgan yang mencium keningnya, sekujur tubuh Ayra pun bergetar. Ia merasa sangat takut, karena ternyata seperti inilah rasanya ketika Morgan mengecupnya dengan lembut. Sangat berbeda rasanya ketika ia mendapatkan sentuhan dari Ilham.“Dia ... beneran cium gue? Kita udah jadi suami istri sekarang?” batin Ayra dengan mata yang mendelik, masih kaget dengan keadaan mereka saat ini.Tepuk tangan dan sorakan para saksi membuat Morgan menghentikan kecupan lembutnya pada kening Ayra. Ia menatap dalam Ayra, sampai membuat Ayra berbinar karena apa yang ia lakukan.Ayra paham, tatapan Morgan seakan meminta izin padanya untuk mencium bibirnya. Namun, Morgan juga paham bahwa Ayra mungkin saja tidak akan mengizinkannya untuk melakukannya. Semua itu berlangsung cukup lama, sampai membuat pendeta berdeham karenanya.“Kalian boleh saling mencium, kok!” goda Ayah Ayra, membuat wajah keduanya seketika memerah karena malu.Karena sudah mendapatkan persetujuan dari Ayah Ayra, Morgan pun
Jantungnya seketika berdetak dengan kencang, karena merasa sangat tidak percaya dengan keadaan ini.“Harusnya aku yang memersiapkan semuanya,” batin Morgan tak percaya, karena ternyata ia sudah lebih dulu melihat dekorasi pesta yang indah ini.Sayang sekali, ia harus menikah dengan orang yang tidak ia sukai. Terlebih lagi pernikahan ini karena terpaksa, dan juga karena sebuah insiden yang tidak menyenangkan. Morgan semakin bingung, karena ternyata ia benar-benar dihadapkan dengan keadaan seperti ini.“Aku ... benar-benar akan menikahi Ayra?” batin Morgan, yang masih tidak percaya dengan keadaan ini.Tak hanya Morgan, bahkan Ayra pun tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan merancang semua ini sedemikian rupa. Ia tidak mengira, bahwa semuanya akan jadi semewah ini.“Apa-apaan ini? Kenapa Mama Papa malah bikin pesta pernikahan meriah gini, sih? Mewah banget, buat ukuran gue yang sama sekali gak mau pernikahan ini terjadi!” gerutu Ayra dalam hati, tak terima dengan semua ini.“Kalian
Ayra mendelik, karena ia merasa Morgan sudah melakukan hal yang tidak perlu ia lakukan. Hal itu membuatnya menjerit, karena Morgan benar-benar melakukannya. “Pak Morgan, turunin saya!” teriak Ayra, tetapi Morgan sama sekali tidak menghiraukannya. Kini Morgan berhasil menggendong Ayra di dadanya. Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, membuat keduanya terpaku untuk sejenak. Ayra merasa sangat malu, sehingga membuat wajahnya memerah tanpa ia sadari. “Saya ‘kan udah bilang, saya masih mampu gendong kamu! Gak ada rasa berat sama sekali, tubuh kamu kayak kapas! Lagian saya masih muda, masih 25 tahun! Saya masih sanggup gendong kamu!” gerutu Morgan, yang hanya bisa menyombongkan dirinya di hadapan Ayra. Menyadari wajah Ayra yang memerah, Morgan pun juga merasa demikian. Ia merasa malu, dan segera menuruni Ayra dari gendongannya. Kini mereka sama-sama merasa salah tingkah, dengan Morgan yang tidak ingin menatap wajah Ayra. Hal itu membuat Ayra merasa sangat gugup, dan ia juga e
"Ya, setidaknya saya gak dicap penjahat oleh orang lain. Biarlah saya dicap penjahat oleh orang tua kamu, tapi setidaknya saya mau bertanggung jawab menikahi kamu. Ya ... walaupun saya gak mengakui kalau saya melakukan itu sama kamu sih!" sahut Morgan, membuat Ayra kesal mendengarnya. Saking kesalnya, Ayra merasa sangat bingung harus melakukan apa. Ia hanya bisa menahan diri untuk tidak memukul Morgan, padahal hatinya sangat ingin memukul Morgan sekeras mungkin. "Saya akui tekad kamu," ujar seseorang dari arah belakang Morgan, sontak membuat Morgan berbalik ke arahnya. Betapa terkejutnya Morgan, ketika melihat kedua orang tua Ayra yang berada di belakangnya. Ayra juga terkejut, karena ternyata sejak tadi perbincangan mereka terdengar orang tuanya. "Mama, Papa! Sejak kapan ada di sini?" tanya Ayra tak percaya. Morgan mendelik kaget. "Pak Darmawan, Bu Viona." "Sejak tadi Papa sudah mendengar seluruh percakapan kalian. Papa dan Mama sengaja datang lagi ke sekolah, karena ini sudah
Ilham mengusap rambut Ayra dengan lembut. "Aku bukan gak perjuangin kamu, Ayra. Aku cuma belum bisa melakukan apa-apa untuk saat ini." Ayra merasa kesal mendengarnya. "Sama aja kamu gak perjuangin aku!" bentaknya, sembari membuang pandangannya dari Ilham. "Sayang ... aku janji, kok! Aku pasti akan ngelamar kamu nanti, di saat yang tepat. Aku lagi berusaha untuk dapetin beberapa proyek, untuk kasih kamu pesta pernikahan termewah. Aku janji itu," ujar Ilham, berusaha untuk merayu Ayra. Karena dirinya yang sudah sangat mencintai Ilham, Ayra hanya bisa diam. Ilham merengkuhnya, sembuat Ayra menyandarkan kepalanya di dada Ilham. "Kamu percaya sama aku, ya?" ujar Ilham, tetapi Ayra sama sekali tidak merespon apa pun padanya. *** Setelah seharian mencari bukti dan saksi, baik Morgan ataupun Ayra, mereka sama sekali tidak mendapatkannya. Hari ini adalah penentuan bagi mereka, tentang permasalahan mereka dengan kedua orang tua Ayra. Karena Morgan tidak bisa mendapatkan bukti apa pun, i
Di sela memikirkan perasaannya terhadap Clara, Morgan tiba-tiba saja memikirkan Ayra. Perasaannya tidak enak, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ayra. "Dia cuma murid baru. Saya juga belum terlalu kenal sama dia, tapi kenapa pikiran saya dipenuhi dengan dia saat ini? Saya juga gak melakukan apa pun yang merugikan dia. kKenapa saya bisa merasa bersalah sama dia, sih?" gumam Morgan, yang merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. "Morgan ... kamu udah selesai mandi belum?" tanya Clara dari arah depan pintu kamar Morgan. Mrgan tersadar, dan akhirnya ia pun bangkit untuk menghampiri Clara di sana yang sudah menunggunya. Setelah Morgan sampai di sana, Clara pun tersenyum dengan sangat bahagia. Akhirnya ia bisa melakukan kebersamaan kembali dengan Morgan. Kebersamaan yang sempat hilang, kini kembali lagi. "Akhirnya kamu udah selesai mandi. Ayo kita makan! Aku udah nggak sabar mau makan bareng kamu!" Tidak ada jawaban dari Morgan. Ia hanya bisa mengikuti apa yang Clara ingi