Naima tiba-tiba menginterupsi percakapan. "Bang Helmi dijebak?" Untuk beberapa saat semua orang terdiam."Iya, semua sudah direncanakan." Sakti pun memperlihatkan foto selanjutnya. "Ini ketika malam kejadian saat Helmi menghadiri pertemuan di Surabaya."Yang terlihat di foto itu adalah. Helmi yang dipapah oleh dua orang pria, masuk ke dalam kamar tempat Helmi menginap. Di belakang ada Sherra mengikutinya. Foto itu diambil dari rekaman CCTV hotel di Surabaya. Sakti sendiri yang mendapatkannya, dengan kekuatannya, yaitu uang. Karena tidak mudah untuk mendapatkan itu, jika bukan karena uang."Naima, apa yang kamu tau tentang ini?" Sekarang pertanyaan ini ditujukan pada Naima oleh Radit. Karena Naima pasti orang pertama yang Helmi beritahu tentang kronologi perselingkuhannya."Iya, Sayang. Katakan, apa yang Helmi lakukan malam itu, apakah sama dengan yang ada di foto itu?" tanya Andita kemudian.Naima terdiam sejenak, cerita suaminya berbeda dari yang ada di foto itu. "Yang Bang Helmi k
Kembali lagi ke kediaman Sanjaya.Berjam-jam mereka berbincang, hingga tak terasa malam kian larut. Naima masuk ke dalam kamar, tapi sebelumnya dia melihat keadaan Kiran terlebih dahulu. Walau dia mengatakan ingin beristirahat, tapi nyatanya dia tidak bisa tidur sama sekali. Naima berharap, saat tidur nanti bisa bermimpi indah, dan mimpi itu menjadi nyata ketika bangun.Sementara itu, yang lainnya masih membicarakan langkah selanjutnya. Tentu saja menunggu Helmi datang ke hadapan mereka, berlutut, dan mengakui kesalahannya langsung.Di sini, Bara dan Andita yang paling marah. Mereka merasa tidak dihormati sebagai orang tua. Padahal mereka tidak mengajarkan hal yang buruk.Masih ada hal lain yang Sakti ingin katakan. "Pa, Ma. Kita belum tau rencana seperti apa yang mereka punya. Jadi, apa yang selanjutnya yang kita lakukan?" Walaupun dia sebenarnya tau apa yang harus dilakukan, tidak ada salahnya bertanya dulu."Sakti, tidak bisakah kamu mencari tahu. Lihat video tadi, apa ada kemungki
Naima terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia merasa tersentuh. Pengakuan Helmi seakan mencairkan hatinya yang ia tutup selama ini. Ia pun tidak menyangka, pria dihadapannya ini juga mempunyai perasaan yang samaNamun, ada yang membuatnya ragu. "Bang, aku …." Naima menarik tangan dari genggaman HelmiHelmi enggan melepas tangannya, ia terus menggenggam tangan gadis itu. Meskipun Naima juga merasakan hal yang sama, ia masih tetap menahan gejolaknya untuk berterus terang soal perasaannya. Mereka saling tatap, seolah cinta di antara mereka bisa dirasakan satu sama lain. Helmi mundur selangkah lalu membungkukkan tubuhnya. Ia mengecup punggung tangan Naima untuk sekedar menyampaikan cintanya. "Abang janji akan berubah, demi kamu," bisiknya dalam kecupan, lalu mendongak melihat wajah gadis itu. Pada saat itu, Naima benar-benar merasakan kebahagiaannya. Menyukai seorang lelaki yang dikenal sebagai playboy di sekolah, yang saat itu menyatakan cinta padanya, hingga momen kebahagiaan ketika h
***"Selamat pagi, Nyonya, Tuan." Sapa dua orang yang baru datang dari arah belakang, secara bersamaan.Andita menatap kedua wanita di depannya. "Pagi, Bik. Helmi-nya ada, kan?""Ada, Nyonya. Semalam pulang larut, jadi mungkin masih tidur," jawab Bik siti dengan sopan."Baiklah kami ke atas dulu.""Baik, Nyonya."Setelah satu langkah, Andita menahan lengan suaminya. Dia meminta kepada sang suami agar menunggu saja di ruang tengah. Sementa dia yang akan naik ke lantai dua, membagunkan Helmi. Tapi sebelumnya ada sesuatu yang harus dia lakukan."Ya udah, papa tunggu di sana."Bara pun meninggalkan istrinya. Sesuai kesepakatan mereka, saat berdiskusi di rumah semalam, Bara membiarkan sang istri menyelesaikan hal lain terlebih dahulu.Andita mengajak kedua ART itu ke belakang. Ingin menyampaikan sesuatu kepada mereka. Sementara itu Sherra hanya berdiri mematung melihat kedua orang tua Helmi. Tak tau harus berbuat apa, dia pun memutuskan untuk ikut ke ruang tengah. Karena kalau dia ke belak
***Di ruang tamu, saat ini Helmi sedang duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya. Bara dan Andita menatap sang anak dengan tatapan yang tajam.Di belakang Helmi, Sherra berdiri menunduk, saling meremas jari jemari satu sama lain. Tidak pernah terpikirkan olehnya akan bertemu dengan kedua orang tua Helmi dengan cara yang seperti ini. Sherra memberanikan diri menatap Andita, tapi sedetik kemudian, dia kembali menundukkan pandangannya melihat tatapan Andita yang seperti ingin menelannya.Helmi merasa kali ini sedang bersiap untuk disidang, dengan papanya yang berlaku sebagai hakim. Suasana di ruangan itu terasa sangat mencekam, tak ada yang bicara sama sekali.Helmi menghela napasnya, dia bersiap untuk menjawab pertanyaan apa pun yang keluar dari mulut papanya."Angkat wajah kamu!" Bara berkata dengan ketegasannya. "Katakan, apa kamu sudah tidak menganggap kami lagi sebagai orang tua kamu?" Nada suara Bara terdengar datar, tapi mengandung kemarahan.Helmi tidak berani mengangkat kepal
***"Pa, apa ini tidak terlalu berlebihan?" Andita tiba-tiba bertanya pada sang suami.Bara yang baru saja masuk ke dalam mobil, mengerutkan keningnya. "Berlebihan? Bukannya mama yang mau Helmi sadar?""Iya, tapi kenapa mama merasa bersalah, seperti menelantarkan anak sendiri, Pa."Sebesar apa pun kesalahan yang Helmi lakukan. Sebagai seorang ibu, Andita tentu masih punya rasa kasihan kepada sang putra. Bagaimanapun juga, seorang ibu akan berharap anaknya baik-baik saja."Kita tidak menelantarkan, Ma. Helmi itu sudah dewasa, dia seharusnya bisa berpikir mana yang baik dan tidak untuk kehidupannya. Lagipula kita tetap memantau semuanya kan?" jelas Bara kemudian."Iya sih, Pa." Andita menghela napasnya sesaat. "Mama jadi ragu, anak yang dikandung Sherra bukanlah anak Helmi.""Entahlah, papa juga sedikit ragu, Ma. Semoga saja perkiraan kita salah, dan semoga tujuan Sherra tidak lebih dari pada ini.""Iya, Pa."Melihat kesedihan di wajah sang istri, membuat Bara merasa bersalah. Dia mera
***Sudah lebih satu minggu Naima pergi meninggalkan rumahnya. Membiarkan sang suami bersama dengan istri yang lain. Madu yang pernah tinggal bersamanya selama seminggu lebih. Wanita ular berkepala dua, yang merebut semua perhatian Helmi darinya. Yang selalu mencari-cari masalah dan berusaha Ingin mencelakainya.Naima lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Bermain dengan Kiran, mengobrol dengan mamanya. Kadang jika bosan dia melukis di halaman belakang rumah, hanya sekedar mengisi waktu luangnya, selain mengerjakan desain pesanan pelanggan.Entah bagaimana kelanjutan dari kisah rumah tangganya. Naima masih belum bisa memberi kepastian. Apakah dia masih ingin melanjutkan atau ingin mengakhiri semuanya. Jika dia meneruskan, maka semakin banyak tekanan batin yang akan diterima. Jika Naima mengakhirinya, anak-anaknya akan kekurangan kasih sayang seorang ayah. Dan semua itu tidak akan mudah, Helmi belum tentu mau bercerai dengannya. Di sisi lain hatinya masih sangat berat untuk kehilang
***Saat berlari keluar dari restoran, mereka berpapasan dengan Nara yang baru saja sampai. Tanpa banyak bicara lagi, Sakti langsung menarik tangan wanita itu. Nara yang terkejut mendengar berita singkat itu pun ikut mereka ke mobil.Di perjalanan ke rumah sakit, Naima terus menangis. Dia sangat khawatir pada sang putra yang sedang dalam penanganan dokter. Naima baru saja dihubungi oleh pihak rumah sakit, bahwa Arthur sedang mengalami masa kritis."Bang! Cepatlah, Arthur, Bang!" Naima merengek dalam tangisan.Sementara Nara yang duduk di samping Naima, berusaha menenangkan, merangkul pundak sahabatnya itu."Iya, Ini Abang udah cepat. Bentar lagi kita sampai," jawab Sakti sambil fokus pada jalanan."Gimana ini ... tadi pagi hingga siang Arthur baik-baik saja. Sudah dua bulan, dan dokter bilang dia sehat. Tapi kenapa …?" Tangan Naima menekan pada dada yang mulai terasa sesak.Nara pun mengusap lengan Naima. "Sabar Naima."Meninggalkan sang putra di rumah sakit sendiri sudah sangat berat
*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka
***Tiga bulan kemudian ….Keadaan pun semakin membaik. Setelah semua hari yang buruk, saat bahagia pun akan datang. Tak selamanya manusia akan tenggelam dalam keterpurukan. Satu waktu ada saatnya dia untuk bangkit dan menjalani hari yang baru. Kehidupan akan terus berjalan dan berputar. Ada kalanya seseorang berada di atas, dan ada kalanya berada di bawah. Biarbagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, itu adalah perasaan sedihnya. Yang terpenting bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya ditempat yang sama.Naima, telah melewati banyak hal dalam beberapa bulan ini. Beruntung dia sangat kuat dan tegar. Beruntung dia mempunyai keluarga yang sangat menyayangi dirinya. Beruntung dia mempunyai dua buah hati yang menjadi sumber kekuatannya. Dan dia juga sangat beruntung memiliki orang yang sangat mencintainya. Saat ini ….Di kediaman Sanjaya. Sedang berlangsung perhelatan besar. Di depan rumah terpasang tenda tinggi dari pagar hingga ke
***Dini hari itu, setelah Sherra ditemukan di pinggiran sungai, kehebohan tiba-tiba terjadi di rumah sakit. Wanita itu dibawa tanpa identitas, pihak rumah sakit tak tau harus menghubungi keluarganya kemana. Warga yang membawa wanita itu pun tak tau apa-apa. Rumah sakit pun memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Karena mereka menduga pasien itu merupakan korban sebuah tindakan kejahatan.Pihak kepolisian segera turun tangan dan mengusut kasus ini. Wanita itu terbaring lemah di ranjang dengan selang infus, oksigen serta alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuhnya. Hingga pagi harinya, Bawahan Bara datang dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mereka cari. Sehingga berita itu langsung mereka sampaikan ke atasan mereka. Banyak sekali bekas luka di pergelangan tangan Sherra, sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka. Hal itu pun menjadi perbincangan para perawat. Meraka sangat prihatin melihat kondisi wanita itu. "Maya … kira-kira kenapa tubuh pasien wanita di kamar itu
***Pukul 01.00 dini hari, di area gudang tempat Sherra disekap. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti ada benda menabrak sesuatu yang keras. Sherra yang berada di dalam kamar, terbangun karena terkejut. Entah keributan apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk. Sherra berteriak, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.Pria itu berdiri tanpa melakukan apa pun. Dia terus menatap pada Sherra yang telah ketakutan. Mata wanita itu melihat pada pintu yang terbuka lebar. Dia pun mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, ketika dia berada tepat di depan pintu, satu orang pria lain, menyergap dirinya. Mulut Sherra dibekap dengan tangan kekar pria itu. "Ermmm … ermmm …." Sherra terbelalak, meronta minta dilepaskan. Sesaat kemudian, tubuhnya tiba-tiba diangkat, dia terus berteriak dan meronta. Sherra dibawa pergi dari pintu belakang. Menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka. Kemudian dia dilemparkan masuk kedalam