***Rasanya darah berdesir hebat, Naima menahan gejolak hatinya. Air matanya ditahan agar tidak jatuh. Marah, kecewa, benci, dan tidak percaya dengan sang suami. Dunia seakan tidak lagi memihak padanya. Helmi tersadar dengan perbuatannya barusan. Tidak seharusnya membentak istrinya seperti itu. "Sayang, maaf. Abang tidak sengaja." Helmi menatap wajah sang istri yang menghindari tatapannya. "Jalan saja, Bang. Biar cepat selesai urusan kita." Pria itu membuang napas berat. Dia pun menjalankan kembali mobilnya. Setelah lima ratus meter dari posisi awal, mobil itu akhirnya masuk ke pekarangan sebuah rumah. Helmi memarkirkan mobilnya. Sekali lagi dia melirik Naima yang diam tertunduk. Entah apa yang istrinya itu pikirkan."Sayang, Abang mau tanya sekali lagi. Kamu yakin mau masuk?""Iya," jawab Naima singkat."Naima, Sayang?""Turun, Bang." Ketika Naima hendak membuka pintu. Tiba-tiba seorang wanita datang mendekat. "Istri kamu datang, Bang."Karena kaca mobil Naima tidak tembus pandang
***"Aaaa … auuu," rintih Naima merasakan perih di perut, sekaligus pergelangan tangannya."Ma, hati-hati … istri saya sedang hamil besar!" cegah Helmi merasa khawatir, berusaha menahan paksaan dari mertuanya itu.Sriyani tidak peduli, dia terus menyeret Naima hingga di depan pintu. Helmi pun ikut keluar sambil memegangi pundak istrinya."Saya, tidak peduli! Pergi kalian dari sini. Dan ingat perkataan saya tadi, Helmi!" Sriyani menunjuk ke arah Helmi, lalu pintu itu di banting.Naima langsung syok, perlakuan kasar yang dia terima sangat tidak dia duga. Kemarahan yang tertahan seakan ingin meledak saat itu juga. Tapi sakit yang dia rasakan kini mampu menutupi kekesalannya. Tangan Naima tidak lepas dari perut, menahan agar rasa sakit itu segera menghilang. Helmi pun menyadarinya. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia tampak mulai khawatir.Naima tidak menjawab. Sedetik, dua detik, tiga detik, Naima menahan hingga rasa sakit itu hilang. Di sela rintihan kecil, dia menjawab, "Aku baik-baik
***Dokter sedang melakukan pemeriksaan. Helmi yang mondar mandir di depan ruang UGD, kelihatan sangat takut. Berkali-kali dia mengusap wajahnya, menengadah ke langit-langit. Duduk tak tenang, berdiri juga tak mau diam. Dalam hatinya dia terus berdoa, agar tidak terjadi apa-apa dengan istri dan anaknya. Pintu ruang UGD tiba-tiba terbuka, Helmi lantas berhambur ke depan pintu. Tepat saat seorang dokter keluar, Helmi mendesaknya."Dokter, bagaimana istri saya?" tanya Helmi khawatir. Wajahnya sudah terlihat pucat, cemas akan jawaban yang akan Dokter itu sampaikan. "Anak dalam kandungan istri saya bagaimana, Dokter?""Saya langsung saja ke intinya, Pak. Kami harus segera melakukan operasi caesar pada istri bapak. Istri bapak mengalami pendarahan cukup banyak, dan kondisi janin bisa tidak tertolong jika kami tidak melakukan operasi tersebut. Kami harus meminta persetujuan terlebih dahulu pada, Bapak.""Lakukan saja, Dokter. Tolong selamatkan istri dan anak saya." Dokter menghela napas pa
***Semua orang telah diam di tempat duduknya masing-masing. Tidak ada lagi keributan. Mereka hanya saling menguatkan. Saling mengucapkan kata-kata agar tetap tenang. Rinjani yang sedari tadi berpelukan dengan Andita. Bara dan Radit duduk berdampingan, tepat di sebelah Jani duduk. Sakti yang bersandar tepat di dekat pintu ruang operasi. Sedangkan Helmi juga duduk bersandar di pintu itu, tapi di sisi yang lainnya. Mereka dengan sabar menunggu. Berharap semua baik-baik saja dan Naima keluar dengan selamat. Begitupun juga dengan bayinya.Sesekali Sakti menatap tajam ke arah Helmi yang tertunduk. Dia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Sakti harus mencari tahu kebenaran yang sebenarnya. Informasi terakhir, sudah sangat membuatnya yakin bahwa ada yang tidak beres dengan Helmi dan adiknya.Kemudian dia teringat Nara dan langsung mengirim pesan pada wanita itu. Hanya pengakuan Nara yang dia butuhkan, kali ini Sakti harus memaksa, agar kekasihnya itu mau membagi informasi. Karena, suda
***"Tolong!" Kepanikan terjadi, dia terus berteriak dan menangis.Nara sangat ketakutan, dia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada tanda-tanda orang berlalu lalang di luar sana. Nara bersandar dan menangis di depan pintu. Sesekali dia masih memukul pintu itu, dengan lemah."Tolong! Siapa pun, tolong!" Lalu Nara terkejut mendengar suara dari arah atas. Tempat itu sedikit gelap, dia tidak dapat melihat dengan jelas. Nara semakin ketakutan, dia menggigil, menyembunyikan wajah, memangku tubuhnya.Hingga akhirnya, pintu itu tiba-tiba terbuka. Dan seseorang merengkuhnya. "Aaaaa … Aaaa!" Nara yang sudah ketakutan berteriak sekencang mungkin. Mendorong tubuh orang yang memeluknya."Sssttt, Ra … Nara! Ini aku!" Teriakan orang itu hingga membuat Nara diam. Sesaat wanita itu melihat wajah pria yang memeluknya. Nara pun merasa lega, karena ternyata Sakti yang datang, dia lantas merangkul, mengeratkan pelukan itu. Meluapkan rasa ketakutan yang tadi sempat membuatnya nyaris pingsan. Dia menan
***Keesokan harinya, Naima sudah sadarkan diri. Dan dia juga telah dipindahkan ke kamar yang lebih besar. Semua anggota keluarga juga telah datang mengunjungi Naima. Perasaan sedih dan bahagia bercampur dalam setiap ekspresi wajah mereka. Bahagia karena melihat Naima dan bayinya selamat. Sedih karena Naima harus melahirkan dengan kondisi seperti ini.Walaupun begitu, semua orang masih memperlihatkan senyum di hadapan Naima. Memeluk dan memberi selamat, serta ucapan terima kasih karena sudah kuat dan bertahan. Radit dan Rinjani yang berdiri di sisi kanan Naima. Bara dan Andita di sisi kirinya. Sakti, Nara dan Maharani berdiri di depan Naima. Mereka menunjukan senyum terbaik, melihat Naima sibuk menciumi Kiran, putri yang sangat dirindukan.Sedangkan Helmi, dia duduk sendirian di sofa kamar itu. Dia seperti terabaikan, tak dipedulikan oleh siapa pun yang ada di sana. Tentu saja karena mereka masih marah, dan satu alasan lagi, karena Helmi sendiri juga merasa bersalah. Dia lebih memilih
***Setelah keluar dari gedung rumah sakit tempat Naima dirawat. Helmi langsung menuju ke parkiran dan masuk ke dalam mobil. Tetapi dia tidak segera menyalakan mesin mobilnya. Helmi terlebih dulu melihat ponsel dan membaca semua pesan yang masuk. Begitu banyak pesan dari semalam. Dia membaca dan membalas pesan yang penting saja.Pertama pesan dari asistennya di kantor, Rafka. Hanya beberapa masalah pekerjaan yang dilaporkan padanya. Kemudian dia membalas dan akan ke kantor besok saja. Untuk sekarang dia ingin beristirahat. Jika ada hal penting Rafka diminta datang saja ke rumah.Kemudian Helmi membuka pesan dari Sherra, istri keduanya. Dan itu ada di ponselnya yang lain, khusus dipakainya untuk menghubungi Sherra, sebab itulah dia bisa menyimpan rahasianya dengan rapi. Naima tidak pernah tahu bahwa Helmi mempunyai ponsel khusus.Ada banyak panggilan tak terjawab dari kemarin, dan juga beberapa pesan singkat dari istri keduanya itu.Sherra my love'Mas, kamu ada di mana? Beneran mau ce
***Sesampainya di rumah, Helmi hanya membersihkan dirinya dan berganti pakai. Lalu segera pergi lagi menuju ke rumah Sherra. Penampilannya sudah rapi dan wangi. Wajahnya juga sudah terlihat sedikit lebih segar. Sesampainya di kediaman Sherra, Helmi langsung memarkirkan mobilnya di garasi. Layaknya seorang tuan rumah, Helmi masuk sedikit tergesa tanpa mengetuk pintu. Begitu dia masuk Sherra telah menyambutnya. Dengan senyuman yang manis seperti biasa. Helmi tampak membuang napas lega. Melihat wajah wanita terkasihnya membuat perasaan lebih tenang. Helmi mendekat ke wanita itu dan langsung memeluknya. Lalu mengecup kening dan bibir wanita itu sekilas."Selamat malam, Sayang. Kamu apa kabar?""Baik, Mas. Terima kasih sudah mau pulang ke sini, Mas. Aku kangen banget sama kamu. Dan anak kita sepertinya juga kangen ayahnya," ucap Sherra seraya mengelus perutnya yang sudah terlihat membesar. Helmi pun tersenyum dan berjongkok di depan Sherra. Lalu dia mengecup perut istrinya itu dan meng
*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka
***Tiga bulan kemudian ….Keadaan pun semakin membaik. Setelah semua hari yang buruk, saat bahagia pun akan datang. Tak selamanya manusia akan tenggelam dalam keterpurukan. Satu waktu ada saatnya dia untuk bangkit dan menjalani hari yang baru. Kehidupan akan terus berjalan dan berputar. Ada kalanya seseorang berada di atas, dan ada kalanya berada di bawah. Biarbagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, itu adalah perasaan sedihnya. Yang terpenting bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya ditempat yang sama.Naima, telah melewati banyak hal dalam beberapa bulan ini. Beruntung dia sangat kuat dan tegar. Beruntung dia mempunyai keluarga yang sangat menyayangi dirinya. Beruntung dia mempunyai dua buah hati yang menjadi sumber kekuatannya. Dan dia juga sangat beruntung memiliki orang yang sangat mencintainya. Saat ini ….Di kediaman Sanjaya. Sedang berlangsung perhelatan besar. Di depan rumah terpasang tenda tinggi dari pagar hingga ke
***Dini hari itu, setelah Sherra ditemukan di pinggiran sungai, kehebohan tiba-tiba terjadi di rumah sakit. Wanita itu dibawa tanpa identitas, pihak rumah sakit tak tau harus menghubungi keluarganya kemana. Warga yang membawa wanita itu pun tak tau apa-apa. Rumah sakit pun memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Karena mereka menduga pasien itu merupakan korban sebuah tindakan kejahatan.Pihak kepolisian segera turun tangan dan mengusut kasus ini. Wanita itu terbaring lemah di ranjang dengan selang infus, oksigen serta alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuhnya. Hingga pagi harinya, Bawahan Bara datang dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mereka cari. Sehingga berita itu langsung mereka sampaikan ke atasan mereka. Banyak sekali bekas luka di pergelangan tangan Sherra, sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka. Hal itu pun menjadi perbincangan para perawat. Meraka sangat prihatin melihat kondisi wanita itu. "Maya … kira-kira kenapa tubuh pasien wanita di kamar itu
***Pukul 01.00 dini hari, di area gudang tempat Sherra disekap. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti ada benda menabrak sesuatu yang keras. Sherra yang berada di dalam kamar, terbangun karena terkejut. Entah keributan apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk. Sherra berteriak, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.Pria itu berdiri tanpa melakukan apa pun. Dia terus menatap pada Sherra yang telah ketakutan. Mata wanita itu melihat pada pintu yang terbuka lebar. Dia pun mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, ketika dia berada tepat di depan pintu, satu orang pria lain, menyergap dirinya. Mulut Sherra dibekap dengan tangan kekar pria itu. "Ermmm … ermmm …." Sherra terbelalak, meronta minta dilepaskan. Sesaat kemudian, tubuhnya tiba-tiba diangkat, dia terus berteriak dan meronta. Sherra dibawa pergi dari pintu belakang. Menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka. Kemudian dia dilemparkan masuk kedalam