“Bagaimana perjalanannya, Bu?” tanya Kemala, ia menyambut kedatangan Yana. Tidak disangka, wanita itu memalingkan muka. Bahkan ia tidak menerima uluran tangan Kemala yang ingin mencium punggung tangannya. Senyumnya hanya ia tujukan pada putra kesayangannya. Sementara pria itu memberi isyarat agar Kemala membawa masuk barang bawaan ibunya. Ingin mengeluh tapi tak bisa, itulah yang dirasakan Kemala saat ini. Wanita itu pun membawa masuk koper dan sebuah tas dengan tangannya yang lemah. Jalannya terseok-seok karena menahan beban yang lebih berat dari badan ringkihnya. Setelah meletakkan barang-barang Yana di kamar, ia merasakan tangannya yang agak kebas. Ia menghirup napas panjang untuk membuat tubuhnya segar kembali. Belum hilang rasa lelahnya, Herdian berteriak memanggilnya. “Ada apa, Mas?” Kemala menghampiri suaminya. “Apa makanannya sudah siap?” Bukannya menjawab, pria itu malah balas bertanya. “Makanan? Emm ... maksudnya untuk ibu–“ Kemala tergagap. Suami tak tau diri i
Setelah selesai memasak, Kemala menyajikannya di atas meja makan. Kemudian ia mempersilahkan Yana untuk sarapan seperti biasa. Meskipun ia telah diberitahu bahwa mereka tidak ingin makan makanan rumah, Kemala yakin kalau mereka tetep akan makan makanan yang ia buat. Apalgi waktu telah menunjukkan pukul 10 pagi. Biasanya Yana meminta disiapakan sarapan pukul 8 pagi. Mungkin Kemala perlu berpura-pura ada urusan di rumah ayahnya. Agar ibu mertuanya tidak merasa malu jika ingin makan makanan buatannya. Seperti rencananya, Kemala pun pergi ke rumah ayahnya setelah berpamitan pada Yana. Kebetulan jaraknya tidak jauh. Wanita berparas cantik itu mengayunkan langkah demi langkah sambil sesekali menyapa tetangga yang berpapasan dengannya. “Mau ke mana, Mala?” Seorang wanita tua menyapanya. “Ke rumah ayah, Bu Siti.” Kemala tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Ayahmu sepertinya sedang tidak sehat, sejak semalam ia mengeluh kalau kepalanya agak pusing.” Wanita yang merupakan tetangga Har
“Kuharap ibu tidak benar-benar marah,” ujar Herdian, “Aku pun menepati janjiku untuk membeli makanan sesuai pesanan ibu.” Herdian Menyajikan makanan di atas meja makan yang sudah ia bersihkan sebelumnya. “Ini baru yang namanya makan,” gumam Yana, ia mulai mencicipi makanannya. Wanita itu menyantap makanan yang ia inginkan. Kali ini ia menikmati makan siang keduanya dengan lahap. Melihat Yana yang sedang makan dengan wajah bahagia, Herdian tersenyum. Ia merasa lega karena dapat menuruti permintaan ibunya meskipun bukan ia yang membelinya. Semua makanan itu dibeli oleh Mirna. Beberapa barang seperti pakaian juga ia terima dari gadis kaya pilihan ibunya. Herdian mulai tergiur dengan kemewahan yang ditawarkan Mirna. Gadis itu pun berjanji untuk mengusulkan pada ibunya agar Herdian dapat bekerja di perusahaan keluarganya. Tentu semua itu berkat kisah mengharukan yang diceritakan oleh Yana pada Mirna tentang kehidupan Herdian. Yana sengaja mengarang cerita yang dapat menyentuh hati M
Sementara Kemala sibuk merawat ayahnya, Herdian memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lebih gencar mendekati Mirna. Bahkan ia berhasil meyakinkan Mayang untuk memberi lampu hijau pada hubungan mereka. Ternyata rencana berjalan dengan mulus, ia tidak hanya mendapat restu untuk menjalin hubungan dengan Mirna. Namun ia juga diminta bergabung dengan perusahaan serta mendapatkan fasilitas berupa tempat tinggal dan kendaraan. “Apakah sebaiknya aku jujur pada Kemala tentang pekerjaan dan fasilitas yang kudapatkan, Bu?” Herdian mulai gamang, ia merasa ragu apakah langkah ini tepat untuk hidupnya. “Herdi, kamu sudah terlanjur masuk dalam rencana ini. Jangan merusak semuanya hanya karena Kemala. Toh, nanti dia juga yang enak kalau kamu sukses.” Yana menyerang sisi lemah Herdian. Wanita itu tahu betul cara meneguhkan kembali tekad putranya. Kemala bukan hanya istri tetapi juga kekuatan sekaligus kelemahan Herdian. Oleh sebab itu, dia pun menggunakan Kemala agar Herdian meneguhkan kembali n
Beberapa kali Vita memanggil nama Kemala dari luar ruang produksi. Namun Kemala tidak menyahut, padahal suaranya cukup keras. Sementara pelanggannya menunggu kue pesanan yang seharusnya telah siap diambil. Vita mencoba mengulur waktu dengan menyambutnya dengan baik. Ia tidak ingin membuat pelanggan tersebut kecewa.“Bu, mungkin pesanan ibu sedang dikemas. Untuk mengisi waktu sembari menunggu, silahkan nikmati espresso latte dan soufle kacang yang kami buat khusus untuk hari ini!” Vita sengaja tersenyum lebar.“Terima kasih, saya harap pesanan segera siap. Saya tidak punya banyak waktu lagi, acara akan segera dimulai.” Air muka wanita tua itu agak kesal.Vita masih berusaha tersenyum. Dalam hatinya ia berharap Kemala segera membawa keluar pesanan wanita tua itu. Gadis itu belum pernah melihat Kemala seperti ini sebelumnya. Biasanya wanita itu selalu menyelesaikannya tepat waktu.Langkah kaki mungilnya t
“Beruntung pria itu tidak bertemu denganku,” gumam Mayang, “Aku sungguh ingin menghajar pria yang menghancurkan hidup putriku.” Wanita paruh baya itu pun tampak Geram. Vita dan Kemala saling memandang satu sama lain. Entah apa yang dipikirkan keduanya, sepertinya ada kalimat Mayang yang membuat mereka agak bingung. Mungkin lebih tepatnya terkejut, terutama Kemala. Sekarang Vita mengernyitkan dahinya. Dalam benaknya, ia mulai berpikir tentang pria yang disebut sebagai ayah Dylan dan masih berstatus sebagai suami Kemala. Ia yakin jika telinganya tidak salah mendengar. Mayang menyebut kalau putrinya hancur karena pria yang tadi juga membuat Kemala sedih. “Maaksud Bu Mayang, Bu Mirna juga–“ Vita terpaksa menghentikan kalimat yang akan ia katakan karena Kemala mencolek pinggangnya agak keras. “Bagaimana? Sepertinya tadi kamu mengatakan sesuatu, Vita.” Mayang menoleh pada Vita yang mendadak bungkam dengan wajahnya yang merah padam. “Tiiidak! Emm–maksud saya, Vita tadi berniat menan
Seketika Kemala terhenyak, ia terbangun dari mimpi buruk yang memaksa jiwanya tinggal. Padahal ia baru saja menatap lukisan itu, entah kapan ia memejamkan kedua matanya. Kalimat yang dikatakan seseorang di dekat ruang dengarnya begitu jelas. Sosok itu samar, seorang pria dengan masker hitam, menutup sebagian wajahnya. Namun tatapan tajam sepasang mata elangnya seolah masih mengikuti Kemala. “Yah, sepasang mata itu–aku tidak asing dengan tatapannya,” gumam Kemala, kedua tangannya menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Ada apa, Kak?” Vita yang baru saja memasuki ruang produksi heran dengan sikap Kemala. “Tidak apa,” jawabnya singkat, “Vita, apakah ada pesanan baru hari ini?” Kemala berpura-pura sibuk merapikan peralatan untuk mengecoh perhatian Vita. “Belum ada, Kak. Tapi, akan ada seseorang yang datang malam nanti. Sepertinya pelanggan terakhir kita hari ini.” Vita tersenyum lalu kembali ke tempatnya. Tidak ingin repot-repot berpikir, Kemala kembali membersihkan meja kerjanya. Sejak
Kemala bergegas turun ke lantai satu untuk menanyakan sesuatu hal pada Vita. Ia yakin Vita mengetahui sesuatu. Entah mimpi atau apalah itu, Kemala sudah tidak dapat lagi membedakannya. Semua bercampur, mungkin karena selama ini ia berusaha menekan dirinya agar tetap kuat walaupun sebenarnya rapuh. “Vita ... Vita ... Vita–tolong jawab pertanyaanku dengan jujur.” Kemala masih sibuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Sementara gadis di hadapannya menatap bingung. Ia tetap tak bergeming, keningnya mengernyit. Terpaku menunggu kalimat selanjutnya yang mungkin akan keluar dari mulut Kemala. Dan–benar saja, Kemala bertanya, “Apakah kamu tahu sesuatu tentang kalimat yang tadi kukatakan?” Hampir 10 detik berlalu, gadis di hadapan Kemala hanya bungkam. Ia pun tak kalah bingungnya dengan sikap Kemala. Sekali lagi Kemala mendesak gadis itu agar memberikan sebuah informasi padanya terkait kalimat yang terukir jelas di dalam benaknya. “Vita–dengar, hal ini penting untukku. Tapi, baikla