“Jangan, Bu! Jangan beri tahu Mas Herdi, saya pun tidak bermaksud menipunya. Saya hanya–“ Mirna memohon sambil memegang kaki Yana, butiran bening masih mengalir deras di kedua pipinya. Yana membalik badan mendengar rintihan Mirna. Seketika ia punya rencana baru untuk wanita itu. Air mukanya yang tadi penuh dengan kemarahan berubah menjadi lebih ramah. Bukan menerima kondisi Mirna yang sekarat. Namun, ia ingin membuat kesepakatan dengan menantunya. “Imbalan apa yang akan kamu berikan jika saya tetap merahasiakannya dari Herdian?” Yana menatapnya dengan tatapan licik. Mirna menengadah, menatap wajah mertuanya. Ia mengusap pipinya yang basah kuyup lalu berdiri. Sejujurnya, ia tidak mengerti tentang apa yang dikatakan mertuanya. Meskipun mencoba untuk berpikir keras, tapi ia belum bisa menebaknya. “Imbalan seperti apa yang Ibu inginkan?” Mirna menatapnya tajam. “Akan kuberitahu setelah memikirkan apa yang kira-kira pantas. Sekarang kamu hanya perlu menyatakan persetujuan atas hal it
“Bu, tadi ada yang menitipkan ini.” Pak Satpam menyodorkan sesuatu. “Untuk saya?” Mayang mengerutkan dahinya. Pak Satpam hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berpikir sejenak, Mayang melanjutkan langkahnya ke tempat parkir. Begitu Pak Satpam menyerahkan padanya, ia langsung tahu bahwa itu kunci ruko miliknya. Tanpa menunggu lama, ia segera pergi. Semua atribut yang berhubungan dengan Echo Bakery telah dilucuti. Sekarang ia hanya berdiri di depan sebuah ruko kosong miliknya. Langkah beratnya berayun masuk ke dalam ruko. Semua kembali ke keadaan semula. Hanya ada secarik kertas yang sengaja ditempelkan pada papan pesanan. Untuk Ibu Mayang Damayanti Saya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bantuan Ibu selama ini. Mohon maaf, jika saya tidak mengatakannya secara langsung. Saya hanya tidak ingin momen perpisahan menjadi momen terakhir yang memberi kesan buruk. Kami membutuhkan ruang dan waktu untuk saling menjaga. Sejujurnya, saya telah menganggap Ibu Mayang seperti
Langkah kakinya mulai gontai, wajahnya tampak lesu. Harapan untuk bertemu putri semata wayangnya terpaksa ia biarkan padam sejenak. Isi kepalanya mulai memberi komando untuk melepas keinginan yang beberapa saat lalu masih membara. Meski tak ingin, tapi ia harus melakukannya. Jangan sampai ia hancur lalu menyerah dengan keadaan. “Tak ada yang bisa ditemukan!” Mayang masuk ke dalam mobil dengan lemas. “Kita akan menemukannya. Mungkin–perlu menunggu sedikit waktu lagi.” Pria di belakang kemudi menoleh padanya. “Sudahlah, antar saya pulang!” titah Mayang. “Saya juga kurang enak badan.” Wanita itu segera menutup kaca mobilnya. Sesuai permintaan majikannya, sopir pun membawa Mayang melesat meninggalkan kawasan tersebut. Namun meskipun Mayang lebih memikirkan Mirna. Ia juga tidak pernah melepaskan Kemala dari benaknya. Keduanya sangat berarti bagi Mayang. Tidak apa jika Kemala ingin melupakannya. Namun, ia terlanjur menyayangi wanita itu selayaknya menyayangi putrinya sendiri. Bahka
“Kamu sengaja menipuku, hahh!” Herdian menghardik Mirna sambil mengguncang-guncangkan tubuh ringkihnya. Mirna hanya menangis, ia ketakutan. Sebab suaminya tampak sangat marah. Luapan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tidk ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Lagi pula ia memang menipu Herdian. Mengungkapkan alasan dari perbuatannya sama saja menghantarkannya pada pusaran masalah. Sebab itulah ia memilih bungkam. “Dasar jalang, bisanya cuma nangis.” Yana berdecak kesal, ia memalingkan mukanya. “Tadinya kami kupikir, aku rela meninggalkan istri dan anakku karena kamu punya segalanya.” Herdian berbalik arah sambil memegang kepala, lalu kembali mencengkeram wajah Mirna lagi, “Sekarang, kamu sudah tidak ada harganya lagi. Tolong, pergi dari sini!” Herdian mengacungkan tangannya ke arah pintu. “Tapi–ke mana aku harus pergi, Mas? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.” Mirna memicingkan matanya yang masih sembab. Baik Herdian maupun Yana berlagak tidak me
Yana meletakkan jari telujuk di depan bibirnya sambil berkedip-kedip ke arah Herdian. Kemudian menyeret putranya ke samping rumah. Kemudian membisikkan sesuatu ke telinga pria itu, tampak pula Herdian mengangguk-angguk pelan. “Ohh–kenapa Ibu tidak memberitahuku lebih awal?” Herdian sedikit berbisik. “Jadi, itu rencana ibu untuk si gadis manja sialan.” Yana menyeringai, terlihat jelas niat buruknya. Keesokan harinya, di tempat lain Mentari memperlihatkan keanggunannya, sinarnya menembus 7 lapis langit mencapai bumi. Udara menerima energi untuk memecah dingin yang nyaris membeku. Pagi itu, suasana di sekitar tempat tinggal Kemala terasa hangat. Jiwanya berangsur pulih setelah mendapatkan luka yang berkali-kali menyayat hatinya. “Lagi momong, Yu (panggilan pada wanita dalam bahasa Jawa)?” Seorang tetangga yang belum ia kenal menyapa ramah. Kemala hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Ia melangkahkan kaki telanjangnya sambil mendorong kereta bayi. Sesekali ia berhenti sambil berb
“Hurry up, Brother!” Seorang pria menunjuk pada jam tangan sebagai isyarat mengingatkan bahwa waktu mereka tidak banyak. “Well, give me a minute, alright?” Bhre masih mencoba menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. “You’re a bit behind schedule and need to get moving.” Pria itu kembali menghampiri Bhre, ia sedikit memaksa agar Bhre segera meninggalkan apartemen. Pada akhirnya, Bhre Atman menyerah. Ia telah berusaha menyambung kembali komunikasi yang terputus sejak setahun lalu. Selama 1 bulan terakhir, ia tidak pernah berhenti untuk menghubunginya. Namun hasilnya selalu nihil. Panggilannya selalu ditolak bahkan tanpa bertanya siapa dirinya. Pria berperawakan tinggi itu pun menyeret kopernya menuju ke luar ruangan. Sementara asistennya telah lebih dulu pergi. Mereka segera bergegas pergi ke bandara. Seperti yang dikatakan pria berkebangsaan Perancis tadi kepada Bhre, mereka hampir ketinggalan jadwal penerbangan. Situasi itu membuat seorang Bhre Atman terpaksa melupakan keingi
“Pagi-pagi gini, mau ke mana, Bro?” Marco menatap curiga ke arah Bhre yang sedang bersiap pergi. “Menyelesaikan misi yang sempat tertunda.” Bhre mengikat tali sepatunya. “Pinjam mobil yaaa–gak lama kok.” Ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Belum sempat menjawab, Bhre telah lebih dulu pergi. Pria itu bergegas ke bagian samping rumah dengan air muka ceria. Sesekali ia bersenandung lirih. Sedangkan Marco hanya menatap dengan perasaan kesal. Bukan keberatan karena Bhre meminjam mobilnya. Namun, ia tidak suka melihat sahabatnya masih menaruh harapan pada sesuatu yang hampir menghancurkan mimpi terbesar seorang Bhre. Seseorang yang menurutnya tiba-tiba datang mendominasi kehidupan Bhre. Meskipun begitu, Bhre Atman tidak mengetahui tentang dendam yang tersimpan di hati Marco. Siapa sangka jika Marco masih mengingat jelas kejadian setahun yang lalu. Padahal, ia tidak tahu target sakit hatinya. Pria yang pagi itu duduk di balik kemudi sambil bersenandung, masih tampak
Bhre kembali fokus pada benda di hadapannya. Tangannya menari mengikuti gelombang irama yang hanya ada di dalam pikirannya. Intuisi membimbing setiap sapuan ujung kuasnya, meniupkan ruh di setiap karya. “Aku cabut dulu, Bro.” Marco menyambar kunci mobil di atas meja. “Kalau butuh apa-apa, kabari, aku pasti bantu.” Ia melangkah menuju ke luar ruangan. “Aku akan membeli rumah ini!” Bhre meletakkan kuasnya. Kalimat yang dikatakan Bhre mampu menahan langkah kaki Marco yang baru saja mencapai pintu ruangan. Pria itu berbalik badan, lalu menghampiri Bhre yang masih duduk di depan kanvas. Ia menarik kursi di samping Bhre. “Apakah kamu serius?” Marco memastikan kembali penyataan Bhre dengan mimik wajah yang sedikit bingung. “Kurasa kau tahu tanpa harus bertanya,” sindir Bhre, ia masih bersikap dingin. “Ok, nanti kusampaikan pada paman.” Marco menepuk bahu Bhre lalu pergi meninggalkan rumah. Wacana tentang ketertarikan Bhre untuk membeli rumah tersebut, rupanya sampai kepada Yos. Peng
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b
“Meskipun beliau bukan ibu kandungmu, kurasa ia memang tulus. Aku melihat dari sorot matanya yang penuh penyesalan.” Kemala tersenyum. Pria itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kemala. Setiap kali berbicara dengan tunangannya, Bramantyo merasa tenang. Wanita yang akan ia nikahi memang selalu bersikap bijak menghadapi persoalan yang terjadi. Sebab itulah, ia yakin Kemala adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Bramantyo, ia menggandeng tangan Kemala. “Mungkin, besok pagi. Kebetulan besok aku berencana tutup toko.” Kemala melepas genggaman tangan Bram. “Baiklah, kuharap tidak ada lagi hambatan yang memberatkan persiapan pernikahan kita.” Bram melangkah pergi, ia meninggalkan Kemala yang tengah berdiri di depan rumahnya._____________ Seperti yang Kemala janjikan, ia mengunjungi rumah kediaman Sekar. Ia membawa rantang berisi beberapa kue dan masakan kesukaan Sekar. Setelah Bram meninggalkan rumahnya tadi malam, Kemala mencari tahu
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar