Baik Kemala ataupun Yana masih tidak saling berbicara sejak beberapa detik yang lalu. Kemala sedang mengamati gerak gerik Yana sementara mertuanya itu sedang berpikir keras untuk membalas semua hinaan yang terlontar dari mulut wanita yang masih berstatus menantunya itu.
Sebenarnya Kemala bisa saja mengusirnya tetapi ada hal yang ingin Kemala ketahui dari Yana. Selain itu rumah yang ditempati Kemala, sebagian uangnya dari pemberian Yana kepada Herdian yang saat itu hanya milik Kemala.
“Sebaiknya aku bersiap,” gumamnya sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Kemala beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, sebelum itu dia membawa masuk tiga kotak kue ke dalam kamarnya lalu menguncinya. Agar Yana tak bisa merusak pesanan kuenya sepeninggal Kemala.
Wanita cantik itu selalu menyambut pelanggannya atau siapapun tamu yang datang dengan penampilan yang bersih dan rapi. Itulah salah satu ajaran yang ditanamkan oleh ibunya sejak ia kecil. Untuk memuliakan tamu dengan berpenampilan bersih dan rapi. Sebagai penghormatan untuk dirinya sendiri. Meskipun lahir dari keluarga yang sederhana, tapi nilai-nilai luhur selalu ia junjung hingga saat ini seperti yang diajarkan orang tuanya.
Tentu pengecualian untuk Yana. Lagi pula dirinya tidak tahu jika wanita ular itu akan berkunjung di pagi hari seperti ini. Belum lagi baru dibukakan pintu, Yana langsung menyerangnya. Hingga dirinya pun terpancing, alhasil dia lupa untuk memperbaiki penampilannya yang masih berantakan setelah berkutat di dapur sejak dini hari.
“Segarnya ... seketika rasa lelahku hilang setelah mandi,” gumamnya.
“Huh, meskipun mandi kembang tetap aja bau orang SUSAH,” ejek Yana lirih, hampir tak terdengar oleh Kemala.
Kemala sengaja tak menggubrisnya karena ia akan kedatangan pelanggan yang kerap memesan kue buatannya. Kini badannya menjadi jauh lebih segar. Tak lupa dia pun memilih pakaian yang baik meskipun tidak mahal dan tidak baru. Menyambut tamu dengan pakaian yang bersih dan rapi, itulah yang paling penting.
Kemala kembali ke ruang tamu dimana Yana masih duduk sambil memainkan ponsel keluaran terbarunya. Ketika melihat Kemala, sifat buruknya kembali muncul. Yana melancarkan aksinya untuk menghina Kemala.
“Itu bukannya baju sejak beberapa tahun yang lalu ya, masih ada aja. Ups ... maaf, lupa kalau kamu orang SUSAH. Mana mampu beli baju baru,” cibirnya.
Kemala tetap tak menghiraukan ocehan tak berarti dari mulut Yana. Selang beberapa menit seseorang mengetuk pintu rumahnya. Kemala pun membuka pintu karena kemungkinan yang datang adalah pelanggan yang akan mengambil kue pesanannya.
“Selamat pagi!” sapa wanita yang tengah berdiri di depan pintu.
“Selamat pagi!” balas Kemala.
Kemala tak dapat berkata-kata lagi, ia terkejut sebab wanita yang datang itu tak lain adalah madunya. Seorang wanita yang baru kemarin dinikahi oleh suaminya, Herdian. Kemala memang kesal dan ingin menunjukkan kemarahannya tetapi ditahannya. Menurut Kemala, belum tentu wanita itu mengetahui siapa dirinya. Dia hanya perlu mengamati situasinya sambil menahan emosi yang mulai memanas.
“Ibu ... ” Wanita itu terkejut melihat Yana, “Ibu kok bisa ada di sini, apakah ibu juga memesan kue?”
“Ah, iii-ya. Ibu lagi pesan kue untuk acara pengajian minggu depan. Kamu sendiri sedang apa di sini?” Ternyata benar dugaan Kemala, wanita bernama Mirna itu belum tahu tentang dirinya.
“Mirna mau ambil kue yang dipesan Mama,” akunya.
Apakah jangan-jangan, Mirna ini putri Bu Mayang? Pelanggan tetap yang selalu memesan kue pada Kemala. Namun Kemala masih saja diam mendengarkan percakapan ibu mertua dan menantu barunya. Terlihat jelas bahwa ternyata Yana pun menyembunyikan jati diriku kepada Mirna. Bisa jadi Mirna juga tak mengetahui bahwa suaminya masih menjadi suami Kemala yang sah secara hukum agama dan hukum negara.
“Tunggu deh, kemarin Kak Kemala hadir di acara pernikahanku bukan?” Mirna teringat sesuatu, “Jangan-jangan Mama yang mengundang Kak Kemala ya?” tebaknya.
“Eng ... anda tahu nama saya?” tanya Kemala, dia sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
Kalau dia jawab Bu Mayang yang mengundangnya tapi ternyata tidak maka akan membuat Mirna curiga. Kemala tidak ingin Mirna mengetahui tentang jati dirinya sekarang. Sebab dia masih perlu mengorek banyak hal mengenai pernikahan Mirna dengan Suaminya.
“Tentu saya tahu. Mama saya, Mayang selalu cerita tentang Kak Kemala. Bahkan beliau juga selalu bilang kalau Kak Kemala mengingatkan beliau pada dirinya sendiri.” Mirna terdiam sejenak, “Ayah saya juga menghilang tanpa kabar saat saya berusia lima belas tahun. Dan Mama berjuang sendirian untuk mencari nafkah membesarkan saya. Hingga usahanya menjadi seperti sekarang ini.”
Memang benar, Mayang selalu bilang bahwa Kemala mirip dengan kisah masa mudanya. Sebab itu Mayang selalu baik dan membantu Kemala. Dan ternyata dunia ini sangat sempit hingga dia dipertemukan dengan putri Mayang yang tak lain madunya. Tentu sangat dilematis bagi Kemala.
Bagaimanapun Kemala juga memikirkan perasaan Mirna. Apa yang akan terjadi jika dia tahu bahwa suaminya juga suami Kemala? Kemala melakukannya bukan untuk Herdian apalagi untuk Yana. Dia melakukannya karena Mayang sudah sangat baik padanya.
Sementara Yana tertunduk sejak mendengar cerita Mirna tentang keluarganya. Sampai akhirnya dia berani mengangkat kembali wajahnya ketika Mirna berpamitan, “Ibu, Mirna pulang lebih dulu. Mama butuh kuenya untuk meeting di kantor. Atau ... ibu mau barengan aja sama Mirna, kebetulan Mirna bawa mobil. Nanti Mirna antar ke rumah.”
“Silahkan! Kamu duluan saja. Ibu belum selesai pesan kuenya, masih bingung. Abisnya semua kelihatan enak-enak buatan Kemala,” kilahnya.
“Baiklah kalau begitu. Mirna pamit ya, Bu.” Wanita yang lebih muda tiga tahun di bawah Kemala itu mencium punggung tangan Yana.
“Terimakasih, Kak Kemala. Mama bilang uangnya ditransfer seperti biasa. Tolong dicek, takutnya Mama lupa.”
“Iya, nanti saya kabari Bu Mayang.”
Mirna pun keluar dari rumah Kemala, wanita itu benar-benar tidak tahu tentang siapa Kemala. Dan mengapa Yana bisa ada di rumahnya. Di sudut hatinya, Kemala justru menjadi kasihan kepada Mirna daripada dirinya sendiri. Sebab ternyata wanita itu telah ditipu oleh Herdian dan Yana.
“Jangan sekali-kali kamu mengungkap jati dirimu kepada Mayang atau Mirna. Bisa gagal rencanaku,” ancamnya sambil mencengkeram lengan Kemala.
“Rencana? Apa maksud Ibu?” Kemala tak mengerti maksud perkataan Mertuanya.
“Saya menikahkan Herdian dengan Mirna juga agar setengah kekayaan mereka menjadi milik Herdian. Ini untuk masa depan kamu juga, jadi jangan coba-coba mengaku bahwa kamu istri Herdian yang sah.” Yana menjeda kalimatnya, lalu berbisik, “Mirna dan Mayang tahunya kamu yang tiba-tiba meninggalkan Herdian dengan pria lain.”
“Apa?” Kemala membelalak ke arah Yana, “Bagaimana bisaaa–“
“Kak, maaf apakah ada kunci mobil saya di sini? Sepertinya tertinggal.” Tiba-tiba Mirna kembali masuk ke dalam rumah Kemala.
Entahlah apakah dia mendengar pembicaraan Kemala dan Yana. Sebab tadi Yana berbicara cukup keras. Kemala tidak bisa membayangkan bagaimana jika Mirna tahu. Kemala justru khawatir jika Mirna dan Mayang nantinya mengira mereka semua bersekongkol. Ia tak ingin menyakiti hati Mayang yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri.
“Iii-ya ... silahkan dicari. Saya akan coba untuk mencarinya juga!” Kemala tergagap untuk menjawab Mirna, sama halnya dengan Yana yang menjadi salah tingkah. “Di mana ya, Kak? Seingatku aku simpan di saku celana, ternyata tidak ada. Tadi aku pun cukup lama mencari di teras depan, barangkali terjatuh.” Pernyataan Mirna seakan membuat manik mata Kemala ingin keluar, bahkan jantungnya berpacu dengan cepat. Kemala seakan diserang rudal oleh Mirna. Wanita itu masih sibuk berpikir, apakah Mirna sudah lama berada di teras rumahnya? Apa saja yang dia dengar? Akh ... semua gara-gara Yana yang seenaknya saja mengeluarkan kalimat itu. Namun Kemala pun ingin tahu apa motif dibalik pernikahan Herdian dengan Mirna hingga meninggalkannya tanpa kabar. “Ibu juga akan coba bantu, ya ...,” ujar Yana demi menyembunyikan rasa canggungnya. Beberapa menit mereka bertiga mencari keberadaan kunci mobil milik Mirna. Tiba-tiba Mirna mengeluarkan sesuatu dari saku outernya, lalu berkata, “Kak ... ternyata a
Tanpa Kemala sadari, dirinya pun telah sampai di depan rumah ayahnya. Rumah Hartono tampak sepi. Ia pikir ayahnya sedang beristirahat karena biasanya selepas sholat dzuhur, Hartono menyempatkan diri untuk tidur siang. “Ayah! Ayah!” Kemala memanggil-manggil Hartono karena pintu rumahnya terkunci. Sesekali dia mengedor-gedor pintu rumah Hartono. Kemala duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumah. Dalam benaknya dia berpikir, “Tidak biasanya Ayah mengunci semua pintu.” Hatinya merasa tidak tenang sehingga dirinya beranjak pergi ke rumah tetangga sebelah. Kemala bertanya pada tetangga Hartono yang kebetulan pintu rumahnya terbuka. Si pemilik rumah pun sedang menonton acara televisi saat Kemala datang. Tok! Tok! “Permisi, Bu Siti!” “Kemala, ayo masuk!” ajaknya. “Bu Siti lihat Ayah, tidak?” tanya Kemala, “Dari tadi saya panggil-panggil tidak menyahut. Semua pintu terkunci, biasanya tidak pernah seperti ini.” “Lho, bukannya Pak Hartono menginap di rumahmu?” wanita yang usianya s
Sepertinya Dokter telah menyelesaikan penanganan pertamanya kepada Hartono. Kemala mengintip di balik celah tirai yang menjadi pembatas antar pasien. Seorang perawat menampakkan wajah sendu sementara Dokter pria itu menggelengkan kepalanya.“Ayah ....” Kemala hanya bisa pasrah.Wanita itu tetap duduk sambil menahan butiran bening yang hampir jatuh. Ia duduk bersandar pada dinding ruangan yang terasa dingin. Kepalanya seakan tidak dapat ditegakkan. Ia hanya tertunduk sambil berdoa dalam diam.Seorang pria berjas putih menghampirinya, “Tolong ikut ke ruangan saya sebentar!”Kemala beranjak meninggalkan ruangan menuju ke ruangan lain, ia mengekor di belakang pria tersebut. Sesampainya di sebuah ruangan, pria yang lebih dulu sampai itu mempersilahkan dirinya untuk duduk. Kemala pun menurutinya.“Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?” tanyanya lirih.“Kami, selaku tim medis yang menangani pasien sudah mengusahakan yang terbaik. Kami telah melakukan CT-scan dan rontgen. Ada pembuluh darah yang
“Operasinya berjalan dengan lancar.” Dokter yang masih mengenakan pakaian bedah itu pun berlalu dari hadapan Kemala. Kemala menarik napas lega, dia harap ayahnya semakin membaik setelah ini. Tidak sia-sia dirinya mengusahakan biaya untuk operasi. Semua itu tak akan ada artinya dibandingkan dengan kesehatan Hartono. Setelah perawat menyiapkan kamar perawatan, Hartono dipindahkan dari ruang operasi. Kemala tak pernah jauh dari sisi ayahnya. Meskipun Hartono belum sadarkan diri, tapi dirinya ingin selalu ada jika mungkin dibutuhkan sewaktu-waktu. Sudah dua hari sejak selesai dioperasi, Hartono berangsur-angsur mulai membaik. Tentu hal itu membuat Kemala senang. Tak ada keluhan yang dirasakannya. Hanya saja mereka harus menunggu kondisinya stabil. Sebab saat ini Hartono masih menggunakan alat bantu pernapasan melalui mulut. Menurut dokter, pernapasannya masih lemah. Meskipun ia sudah dapat menggerakkan anggota tubuhnya. “Ayah, bagaimana keadaan Ayah hari ini?” tanya Kemala lembut. H
Kemala menghempaskan map berisi dokumen tersebut ke tubuh suaminya. Ia tak menghiraukan gertakan Yana, dirinya segera masuk ke dalam mobil mini bus berwarna putih itu bersama Bu Siti. Sopir melajukan mobil perlahan melintasi jalanan kampung bersama iring-iringan pelayat. Kini mereka sudah berada di tempat pemakaman. Beberapa orang turun ke dalam liang lahat untuk menangkap jasad Hartono yang akan diletakkan di dalam peristirahatan terakhirnya. Serangkaian prosesi pemakaman telah selesai dilaksanakan. Para pelayat pamit satu per satu meninggalkan tanah pemakaman. Tak terkecuali Bu Siti, tetangga Hartono yang membantu Kemala. “Aku pamit pulang dulu, Kemala. Kamu harus ikhlas agar ayahmu tenang,” ucapnya. “Iya, Bu Siti. Terima kasih sudah membantu Kemala mempersiapkan semuanya.” Kemala menatap wanita yang seumuran ayahnya itu dengan tatapan sendu. Sekarang hanya ada dirinya dan gundukan tanah yang masih basah di hadapannya. Kemala merasa belum percaya bahwa ayahnya akan pergi secepa
“Kamu lihat tadi, istri pembawa sialmu itu semakin sombong.” Yana tampak sedang kesal. “Sudahlah, Bu. Semua yang ibu inginkan sudah Kemala turuti, bahkan ia tidak melawan.” Yana semakin naik pitam begitu mendengar putranya membela Kemala. Sedangkan pria muda di sampingnya hanya bersikap biasa saja. Terkadang Herdian merasa hidupnya dikendalikan Yana sepenuhnya. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti. Sebab, Yana tidak punya siapapun lagi selain dirinya. Sementara itu, Kemala sedang membersihkan rumah. Beberapa perabotan tampak berantakan karena sudah hampir sepuluh hari rumah itu dibiarkan begitu saja. Setelah ruang tamunya bersih, ia beralih ke kamar mendiang Hartono yang tak kalah berantakan. Kurang lebih pukul 5 sore, ia menyelesaikan aktivitasnya membersihkan rumah mendiang orang tuanya. Selanjutnya, ia pergi ke rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Bukan untuk pulang, melainkan ingin mencicil memindahkan barang-barangnya ke rumah
Seorang wanita yang juga memiliki andil dalam usaha bakery-nya datang. Ia menghampiri Kemala yang tengah sibuk melayani pembeli. Sementara perutnya mulai membesar. Wanita itu terus saja melihat ke arah Kemala. “Biar saya saja.” Wanita itu menyerobot secarik kertas pesanan pengunjung. Kemala tentu merasa tidak enak hati, sebab wanita yang lebih ia anggap seperti ibunya itu sudah banyak membantu dirinya. Meskipun sebenarnya ada yang Kemala sembunyikan darinya. Harapan Kemala, wanita itu tidak terseret dalam cerita masa lalunya. Ia belum siap jika nanti hubungan mereka renggang hanya karena permasalahan masa lalunya. “Bu, biar saya saja.” Kemala menahan Mayang. “Bu Mayang duduk saja, saya siapkan choco latte ya, Bu.” Ia menyiapkan beberapa pesanan dari secarik kertas yang ia dapatkan dari wanita yang masih menatapnya itu. “Terima kasih. Echo Bakery selalu di hati.” Kemala menyodorkan sebuah paper bag berisi kue pesanan salah seorang pengunjung. Setelah pengunjung itu keluar dari Echo
Echo Bakery baru saja tutup, Kemala berjalan kaki ke arah rumahnya. Kebetulan jarak Echo Bakery dan rumahnya tidak terlalu jauh. Kemala lebih suka berjalan kaki daripada naik motor. Selain sambil menikmati pemandangan malam hari, ia juga merasa lebih senang karena sekaligus berolahraga. Mengingat selama membuat kue dan melayani pelanggan, dirinya hanya duduk dan sesekali saja berdiri. Terkadang ia merasakan sakit di area punggungnya. Terlebih sekarang dirinya sedang hamil tua, pinggangnya sering kali terasa ngilu. Malam itu, Kemala membawa sebuah kotak berisi dua potong brownies masing-masing varian keju dan original. Ia mengetuk pintu rumah Siti, sebelum dirinya masuk ke dalam rumahnya. Mereka memang tinggal bersebelahan. “Kemala ....” Siti membukakan pintu untuknya. “Ayo masuk!” ajaknya. “Tidak usah, Bu Siti. Saya hanya ingin memberikan ini.” Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam paper bag-nya, lalu menyodorkannya pada Siti. Siti merasa segan, setiap hari wanita muda itu sel
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b
“Meskipun beliau bukan ibu kandungmu, kurasa ia memang tulus. Aku melihat dari sorot matanya yang penuh penyesalan.” Kemala tersenyum. Pria itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kemala. Setiap kali berbicara dengan tunangannya, Bramantyo merasa tenang. Wanita yang akan ia nikahi memang selalu bersikap bijak menghadapi persoalan yang terjadi. Sebab itulah, ia yakin Kemala adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Bramantyo, ia menggandeng tangan Kemala. “Mungkin, besok pagi. Kebetulan besok aku berencana tutup toko.” Kemala melepas genggaman tangan Bram. “Baiklah, kuharap tidak ada lagi hambatan yang memberatkan persiapan pernikahan kita.” Bram melangkah pergi, ia meninggalkan Kemala yang tengah berdiri di depan rumahnya._____________ Seperti yang Kemala janjikan, ia mengunjungi rumah kediaman Sekar. Ia membawa rantang berisi beberapa kue dan masakan kesukaan Sekar. Setelah Bram meninggalkan rumahnya tadi malam, Kemala mencari tahu
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar