Sesampainya di rumah, Kemala segera masuk lalu mengunci dirinya di dalam kamar. Sebenarnya dia tak tahan dengan sikap Yana serta mengutuki perbuatan Herdian. Namun itulah kenyataan yang harus dihadapinya sekarang. Suami yang dua bulan lamanya tiba-tiba menghilang ternyata menikahi wanita lain. Dan dia menghadiri pernikahan terkutuk itu dengan keadaan sadar.
Di dalam kamar berukuran 3x3 meter itu dia menangis sejadi-jadinya. Dalam tangisan itu dia menyesal atas semua yang terjadi antara dirinya dan Herdian. Mengapa dia tidak dapat mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan suaminya. Seharusnya dialah yang paling mengerti bukan Yana.
“Mas, mengapa kamu melakukan ini padaku!” pekiknya dalam hati, sambil membuka lembar demi lembar album foto pernikahannya.
Angannya melayang jauh ke beberapa tahun silam saat malam pertama mereka. Di hari dan bulan yang sama, mereka melangsungkan pernikahan secara sederhana di rumah orang tua Kemala.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Kemala Larasati Binti Hartono dengan mas kawin berupa ....” Kalimat akad yang diikrarkan oleh Herdian di hadapan ayahnya selaku wali nikah.
“Bagaimana saksi? SAH?”
“SAH!”
Memang saat itu, Yana menentang pernikahan mereka karena Kemala hanyalah anak dari seorang pensiunan guru. Sementara Herdian yang nota bene adalah anak dari mantan Lurah yang kekayaannya jauh di atas keluarga Kemala.
“Kemala, aku akan menjagamu di sepanjang usiaku,” janji Herdian.
“Tapi ....” Kemala tak meneruskan kalimatnya karena Yana menatap sinis padanya dari kejauhan.
“Tapi apa, aku sudah sah menjadi suamimu. Tak akan ada yang bisa memisahkan kita. Soal ibuku, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu meyakinkan dia bahwa kamu adalah menantu dan istri yang baik.”
Kenangan masa lalu bersama Herdian seolah meracuni pikirannya. Air matanya semakin deras mengalir hingga kedua pipinya basah kuyup. Sedetik kemudian ia tersadar atas kekonyolannya. Kalimat yang diucapkan sang Ayah terngiang-ngiang di telinganya. Dan seketika itu pula Kemala menghapus butiran kristal bening yang telah melemahkannya.
Malam ini ia lalui seorang diri. Meski terkadang bayangan Herdian yang sedang menikmati malam pertamanya menyeruak dalam pikiran Kemala. Sakit dan pedih terasa menyayat hatinya. Dia bersenang-senang di atas penderitaan Kemala. Dengan susah payah ia menepis semua bayangan menjijikkan yang mungkin dilakukan Herdian dengan istri barunya, Mirna. Entah berapa lama Kemala bergulat dengan kegelisahannya hingga matanya terpejam.
_______
[“Mbak Kemala, jangan lupa kuenya saya ambil jam 8 pagi ya.”] Sebuah pesan singkat yang dikirimkan seorang pelanggan.
Kemala mungkin hanya tidur sebentar, kepalanya masih terasa sangat berat. Namun tanggung jawab pekerjaan memaksanya untuk bangun. Sejak pukul 3 dini hari tadi selepas melakukan ibadah sepertiga malamnya, Kemala memulai aktivitasnya membuat kue. Tanpa seorang pun yang membantunya. Sejauh ini pekerjaannya masih bisa dihandle dengan baik.
Hari ini ada pesanan 2 buah red velvet chiffon cake dan 1 buah puding lumut yang akan diambil pukul 8 pagi. Sementara Kemala baru menyelesaikan 1 dari 2 buah chiffon cake nya sementara 1 yang lain masih di dalam oven, untuk puding lumut masih proses pembuatan lapisannya.
Tepat jam 7 pagi, semua selesai dikemas. Hanya menunggu si empunya datang untuk mengambil. Tentu aktivitasnya tidak sampai disitu saja, dia akan melanjutkan pesanan kue yang lain. Ada dua pesanan lagi yang dua-duanya akan diambil sore hari.
“Mungkin sebaiknya aku manfaatkan waktu barang satu jam untuk tidur,” monolognya.
Wajah Kemala memang tampak sangat pucat dengan kedua netranya yang memerah. Kepalanya juga terasa pusing. Setelah yakin sudah mematikan kompor, ia pun segera tidur. Belum ada lima menit dia memejamkan kedua netranya, seseorang menggedor-gedor pintu rumahnya dengan sangat kasar.
“Siapa sih, belum juga tidur,” gerutu Kemala, ia berjalan keluar dari kamar menuju pintu bagian depan rumahnya.
“Iya, sebentar!” teriaknya dari dalam sambil membuka kunci.
Dan begitu pintu rumah terbuka, seorang tamu istimewa datang dengan membawa serantang buah-buahan. Seketika rasa kantuknya hilang. Kemudian wanita itu menerobos masuk sebelum dipersilahkan oleh Kemala.
Tamunya memeriksa seluruh rumah, lalu pandangannya tertuju pada tiga kotak kue yang sudah siap diambil pelanggan. Kemudian ia melirik ke dapur yang dipenuhi bahan-bahan kue dan memang belum dirapikan karena Kemala masih akan membuat kue pesanan lainnya.
“Ada perkembangan juga kamu. Dari istri yang bisanya cuma minta-minta sama suami, sekarang harus banting tulang untuk cari nafkah sendiri.” Dia membuka kotak kue di atas meja makan, lalu berkata, “Wow ... kelihatannya enak ya, bagaimana kalau saya cicipi sedikit. Siapa tahu saya cocok dengan rasanya.”
Kemala menjadi sangat emosional ketika Yana berniat mendaratkan sendok untuk kue pesanan orang tersebut. Secara refleks, tangan Kemala menahan tangan jahil Yana seraya berkata, “Ibu mertuaku sayang, jangan yang ini. Saya sudah siapkan yang jaaauh lebih enak daripada ini. Khusus untuk menyambut tamu istimewa sepertimu.” Cengkeraman tangan Kemala semakin kuat hingga Yana terlihat meringis kesakitan.
Ditutupnya kembali kotak kue tersebut oleh Kemala. Sementara sebelah tangannya yang masih mencengkeram pergelangan tangan Yana. Setelah menutup rapat kotak kuenya, Kemala menyeret paksa Yana menuju ke ruang tamu.
“Kemala, lepas! Sudah gila kamu ya,” ujar Yana sambil menahan rasa sakit pada pergelangan tangan mulusnya. “Lepas, Kemala! Atau saya akan teriak.” Yana mengancamnya, tapi ancamannya tak membuat Kemala takut.
“Teriak saja, Ibu mertuaku tersayang. Kupastikan aku akan memotong lidahmu sebelum teriakanmu terdengar oleh orang lain.” Kedua mata Kemala melotot geram ke arah Yana yang sedang menghindari tatapannya.
“Ternyata tajam juga lidahmu, DASAR JALANG PEMBAWA SIAL!” Dadanya kembali terlihat kembang kempis menahan amarah.
Dengan santainya Kemala pun mendekat lalu berbisik di telinga Yana, “Bukankah aku belajar semua ini dari Ibu, apakah Ibu lupa?”
Kemala sama sekali tak menaikkan nada bicaranya, dia tetap berbicara dengan nada dasarnya. Namun dengan kalimat yang menusuk dan mungkin juga mencabik-cabik harga diri Yana. Dan memang itu yang Kemala inginkan.
“Katakan apa maksud kedatanganmu kemari!” seru Kemala agak kasar, “Apakah kau berniat menceritakan betapa hebatnya menantu barumu? Apakah putra kesayanganmu sudah menceritakan apa saja yang mereka lakukan semalam?”
“Kemala! Jaga mulutmu!” teriak Yana.
Kemala kembali mendekat dan berbisik, “Pelankan suara Ibu, jangan sampai harga diri Ibu ternoda hanya karena ketahuan berteriak padaku.” Kemala memperhatikan detail penampilan Yana dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu kembali bersuara, “Biasanya di usia seperti ini akan mudah terserang stroke, jadi kontrol emosi Ibu. Tentu aku tak ingin melihat Ibu meninggal sekarang. Aku ... masih ingin melihat Ibu menderita sepertiku.”
“Kurang ajar!” Yana mengangkat tangan kanannya untuk menampar wajah mulus Kemala tapi sekali lagi Kemala menangkap tangannya.
“Sudah Kemala bilang, jaga emosi Ibu. Memangnya Ibu tidak ingin melihat cucu Ibu lahir? Aku lupa bilang, kalau aku sedang mengandung anak dari putra kesayanganmu. Namun jangan berani-berani mengaku bahwa ini adalah cucumu atau anak Herdian. Aku tak akan pernah mengijinkan kalian bertemu apalagi menyentuhnya nanti,” ancam Kemala.
“Hamil ...? Bukankah kau mandul?”
“Siapa bilang? Aku hanya belum beruntung dan baru kali ini Tuhan mempercayakannya padaku. Kau, tunggu saja cucu dari menantu barumu.” Kemala berdecak kesal, “Ish ... jangan bilang kau belum memeriksa kesehatan menantu barumu. bagaimana kalau justru dia yang mandul? Apakah sudah kau telusuri silsilah keluarganya?”
Yana merasa ketir mendengar hinaan Kemala. Dirinya berniat datang untuk memaki Kemala tapi kini situasinya terbalik. Kemala yang habis-habisan menelanjanginya dengan kalimat yang diucapkan lembut tapi terasa perih di relung hatinya. Hingga ia bertekad untuk membalas perlakuan Kemala padanya, entahlah apa yang akan dia lakukan. Dia masih memutar otak untuk menjatuhkan Kemala.
Baik Kemala ataupun Yana masih tidak saling berbicara sejak beberapa detik yang lalu. Kemala sedang mengamati gerak gerik Yana sementara mertuanya itu sedang berpikir keras untuk membalas semua hinaan yang terlontar dari mulut wanita yang masih berstatus menantunya itu. Sebenarnya Kemala bisa saja mengusirnya tetapi ada hal yang ingin Kemala ketahui dari Yana. Selain itu rumah yang ditempati Kemala, sebagian uangnya dari pemberian Yana kepada Herdian yang saat itu hanya milik Kemala. “Sebaiknya aku bersiap,” gumamnya sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Kemala beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, sebelum itu dia membawa masuk tiga kotak kue ke dalam kamarnya lalu menguncinya. Agar Yana tak bisa merusak pesanan kuenya sepeninggal Kemala. Wanita cantik itu selalu menyambut pelanggannya atau siapapun tamu yang datang dengan penampilan yang bersih dan rapi. Itulah salah satu ajaran yang ditanamkan oleh ibunya sejak ia kecil. Untuk me
“Iii-ya ... silahkan dicari. Saya akan coba untuk mencarinya juga!” Kemala tergagap untuk menjawab Mirna, sama halnya dengan Yana yang menjadi salah tingkah. “Di mana ya, Kak? Seingatku aku simpan di saku celana, ternyata tidak ada. Tadi aku pun cukup lama mencari di teras depan, barangkali terjatuh.” Pernyataan Mirna seakan membuat manik mata Kemala ingin keluar, bahkan jantungnya berpacu dengan cepat. Kemala seakan diserang rudal oleh Mirna. Wanita itu masih sibuk berpikir, apakah Mirna sudah lama berada di teras rumahnya? Apa saja yang dia dengar? Akh ... semua gara-gara Yana yang seenaknya saja mengeluarkan kalimat itu. Namun Kemala pun ingin tahu apa motif dibalik pernikahan Herdian dengan Mirna hingga meninggalkannya tanpa kabar. “Ibu juga akan coba bantu, ya ...,” ujar Yana demi menyembunyikan rasa canggungnya. Beberapa menit mereka bertiga mencari keberadaan kunci mobil milik Mirna. Tiba-tiba Mirna mengeluarkan sesuatu dari saku outernya, lalu berkata, “Kak ... ternyata a
Tanpa Kemala sadari, dirinya pun telah sampai di depan rumah ayahnya. Rumah Hartono tampak sepi. Ia pikir ayahnya sedang beristirahat karena biasanya selepas sholat dzuhur, Hartono menyempatkan diri untuk tidur siang. “Ayah! Ayah!” Kemala memanggil-manggil Hartono karena pintu rumahnya terkunci. Sesekali dia mengedor-gedor pintu rumah Hartono. Kemala duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumah. Dalam benaknya dia berpikir, “Tidak biasanya Ayah mengunci semua pintu.” Hatinya merasa tidak tenang sehingga dirinya beranjak pergi ke rumah tetangga sebelah. Kemala bertanya pada tetangga Hartono yang kebetulan pintu rumahnya terbuka. Si pemilik rumah pun sedang menonton acara televisi saat Kemala datang. Tok! Tok! “Permisi, Bu Siti!” “Kemala, ayo masuk!” ajaknya. “Bu Siti lihat Ayah, tidak?” tanya Kemala, “Dari tadi saya panggil-panggil tidak menyahut. Semua pintu terkunci, biasanya tidak pernah seperti ini.” “Lho, bukannya Pak Hartono menginap di rumahmu?” wanita yang usianya s
Sepertinya Dokter telah menyelesaikan penanganan pertamanya kepada Hartono. Kemala mengintip di balik celah tirai yang menjadi pembatas antar pasien. Seorang perawat menampakkan wajah sendu sementara Dokter pria itu menggelengkan kepalanya.“Ayah ....” Kemala hanya bisa pasrah.Wanita itu tetap duduk sambil menahan butiran bening yang hampir jatuh. Ia duduk bersandar pada dinding ruangan yang terasa dingin. Kepalanya seakan tidak dapat ditegakkan. Ia hanya tertunduk sambil berdoa dalam diam.Seorang pria berjas putih menghampirinya, “Tolong ikut ke ruangan saya sebentar!”Kemala beranjak meninggalkan ruangan menuju ke ruangan lain, ia mengekor di belakang pria tersebut. Sesampainya di sebuah ruangan, pria yang lebih dulu sampai itu mempersilahkan dirinya untuk duduk. Kemala pun menurutinya.“Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?” tanyanya lirih.“Kami, selaku tim medis yang menangani pasien sudah mengusahakan yang terbaik. Kami telah melakukan CT-scan dan rontgen. Ada pembuluh darah yang
“Operasinya berjalan dengan lancar.” Dokter yang masih mengenakan pakaian bedah itu pun berlalu dari hadapan Kemala. Kemala menarik napas lega, dia harap ayahnya semakin membaik setelah ini. Tidak sia-sia dirinya mengusahakan biaya untuk operasi. Semua itu tak akan ada artinya dibandingkan dengan kesehatan Hartono. Setelah perawat menyiapkan kamar perawatan, Hartono dipindahkan dari ruang operasi. Kemala tak pernah jauh dari sisi ayahnya. Meskipun Hartono belum sadarkan diri, tapi dirinya ingin selalu ada jika mungkin dibutuhkan sewaktu-waktu. Sudah dua hari sejak selesai dioperasi, Hartono berangsur-angsur mulai membaik. Tentu hal itu membuat Kemala senang. Tak ada keluhan yang dirasakannya. Hanya saja mereka harus menunggu kondisinya stabil. Sebab saat ini Hartono masih menggunakan alat bantu pernapasan melalui mulut. Menurut dokter, pernapasannya masih lemah. Meskipun ia sudah dapat menggerakkan anggota tubuhnya. “Ayah, bagaimana keadaan Ayah hari ini?” tanya Kemala lembut. H
Kemala menghempaskan map berisi dokumen tersebut ke tubuh suaminya. Ia tak menghiraukan gertakan Yana, dirinya segera masuk ke dalam mobil mini bus berwarna putih itu bersama Bu Siti. Sopir melajukan mobil perlahan melintasi jalanan kampung bersama iring-iringan pelayat. Kini mereka sudah berada di tempat pemakaman. Beberapa orang turun ke dalam liang lahat untuk menangkap jasad Hartono yang akan diletakkan di dalam peristirahatan terakhirnya. Serangkaian prosesi pemakaman telah selesai dilaksanakan. Para pelayat pamit satu per satu meninggalkan tanah pemakaman. Tak terkecuali Bu Siti, tetangga Hartono yang membantu Kemala. “Aku pamit pulang dulu, Kemala. Kamu harus ikhlas agar ayahmu tenang,” ucapnya. “Iya, Bu Siti. Terima kasih sudah membantu Kemala mempersiapkan semuanya.” Kemala menatap wanita yang seumuran ayahnya itu dengan tatapan sendu. Sekarang hanya ada dirinya dan gundukan tanah yang masih basah di hadapannya. Kemala merasa belum percaya bahwa ayahnya akan pergi secepa
“Kamu lihat tadi, istri pembawa sialmu itu semakin sombong.” Yana tampak sedang kesal. “Sudahlah, Bu. Semua yang ibu inginkan sudah Kemala turuti, bahkan ia tidak melawan.” Yana semakin naik pitam begitu mendengar putranya membela Kemala. Sedangkan pria muda di sampingnya hanya bersikap biasa saja. Terkadang Herdian merasa hidupnya dikendalikan Yana sepenuhnya. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti. Sebab, Yana tidak punya siapapun lagi selain dirinya. Sementara itu, Kemala sedang membersihkan rumah. Beberapa perabotan tampak berantakan karena sudah hampir sepuluh hari rumah itu dibiarkan begitu saja. Setelah ruang tamunya bersih, ia beralih ke kamar mendiang Hartono yang tak kalah berantakan. Kurang lebih pukul 5 sore, ia menyelesaikan aktivitasnya membersihkan rumah mendiang orang tuanya. Selanjutnya, ia pergi ke rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Bukan untuk pulang, melainkan ingin mencicil memindahkan barang-barangnya ke rumah
Seorang wanita yang juga memiliki andil dalam usaha bakery-nya datang. Ia menghampiri Kemala yang tengah sibuk melayani pembeli. Sementara perutnya mulai membesar. Wanita itu terus saja melihat ke arah Kemala. “Biar saya saja.” Wanita itu menyerobot secarik kertas pesanan pengunjung. Kemala tentu merasa tidak enak hati, sebab wanita yang lebih ia anggap seperti ibunya itu sudah banyak membantu dirinya. Meskipun sebenarnya ada yang Kemala sembunyikan darinya. Harapan Kemala, wanita itu tidak terseret dalam cerita masa lalunya. Ia belum siap jika nanti hubungan mereka renggang hanya karena permasalahan masa lalunya. “Bu, biar saya saja.” Kemala menahan Mayang. “Bu Mayang duduk saja, saya siapkan choco latte ya, Bu.” Ia menyiapkan beberapa pesanan dari secarik kertas yang ia dapatkan dari wanita yang masih menatapnya itu. “Terima kasih. Echo Bakery selalu di hati.” Kemala menyodorkan sebuah paper bag berisi kue pesanan salah seorang pengunjung. Setelah pengunjung itu keluar dari Echo
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b
“Meskipun beliau bukan ibu kandungmu, kurasa ia memang tulus. Aku melihat dari sorot matanya yang penuh penyesalan.” Kemala tersenyum. Pria itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kemala. Setiap kali berbicara dengan tunangannya, Bramantyo merasa tenang. Wanita yang akan ia nikahi memang selalu bersikap bijak menghadapi persoalan yang terjadi. Sebab itulah, ia yakin Kemala adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Bramantyo, ia menggandeng tangan Kemala. “Mungkin, besok pagi. Kebetulan besok aku berencana tutup toko.” Kemala melepas genggaman tangan Bram. “Baiklah, kuharap tidak ada lagi hambatan yang memberatkan persiapan pernikahan kita.” Bram melangkah pergi, ia meninggalkan Kemala yang tengah berdiri di depan rumahnya._____________ Seperti yang Kemala janjikan, ia mengunjungi rumah kediaman Sekar. Ia membawa rantang berisi beberapa kue dan masakan kesukaan Sekar. Setelah Bram meninggalkan rumahnya tadi malam, Kemala mencari tahu
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar