Dua kancing atasnya sudah terbuka. Oh, tidak. Mataku ternoda!
"Jangan mesum, ah! Aku teriak, nih!" ancamku sambil menutup wajah dengan tangan."Dikit aja, Ra."Aku benar-benar merinding. Astaga, ini makhluk jelmaan apa, sih, sebenarnya?"Mas, jangan aneh-aneh, deh. Aku beneran teriak, nih!" Aku mulai sewot."Canda, Ra." Mas Arga terbahak sambil memasang kancing bajunya kembali.Gak ada akhlak!***"Sorry. Rumahnya emang kecil, tapi muat kalau cuma buat nampung kamu sama anak-anak kita nanti."Aku mencebik. Ternyata bisa ngelawak juga Mas Arga ini. Aku berkeliling sebentar ketika dia membuka pintu, banyak tanaman kecil-kecil yang berbentuk aneh di teras. Rumahnya memang tidak besar, tapi sepertinya nyaman dan bersih."Ini apaan?" tanyaku menunjuk pada tumbuhan seukuran pot bunga dengan batang meliuk-liuk."Bonsai. Mahal itu.""Beginian mahal?" tanyaku tak percaya."Mau masuk gak?"Aku berjalan mendekat. Ketika pintu terbuka, aku spontan membelalakkan mata. Untuk ukuran bujangan, ini rumah sangat rapi. "Katanya gak ada pembantu, tapi rumahnya rapi banget? Bersih.""Emang bujangan gak boleh bersih-bersih?"Jiwa isengku pun menggelora. Sambil duduk manis di sofa, aku menyilangkan kaki di sana."Berarti aku gak perlu bersih-bersih rumah, dong?" Aku menaikturunkan alis."Iya. Aku aja yang bersih-bersih, tapi ada syaratnya."Aku mendadak curiga. "Apa?"Matanya bergerak ke dadaku. Spontan aku melindungi tubuh bagian depanku itu dengan tangan sambil berteriak. "No!"Mas Arga tergelak. Dasar!***Awalnya kupikir Mas Arga ini tipe laki-laki yang irit bicara. Itu sebabnya Mbak Aida menganggap dia adalah orang yang menyebalkan, tapi ternyata dia justru laki-laki yang suka membicarakan banyak hal. Bahkan yang dibicarakan pun terkesan tidak penting.Selepas mandi tadi, Mas Arga cukup cerewet. Menceritakan banyak hal yang membosankan hingga membuatku berlari ke kamar dan mengunci diri di dalam."Ra, mau makan gak? Aku udah beli makanan.""Gak!" teriakku dari dalam kamar.Setelah itu sudah tak terdengar apa-apa lagi. Kirain bakalan maksa, ternyata dia tidak peduli. Baguslah. Aku mengambil HP untuk mengabari ibu, tapi pesan grup dari teman kerja membuatku tiba-tiba malas membuka aplikasi hijau tersebut.Lilis : Gimana ceritanya kamu bisa nikah sama dia, sih, Ra?Ratri : Iya. Bukannya Mas Arga itu mantan pacarnya Mbak Aida?Dyah : Jangan-jangan kalian udah lama selingkuh, ya?Aku mematikan HP. Lalu kembali pada posisi rebahan sambil makan keripik kentang yang kuambil dari kulkas.Rumah ini cuma ada satu kamar tidur, satu ruang keluarga dan juga dapur. Satu kamar mandi di dalam kamar dan satu kamar mandi tamu di sebelah dapur. Aku mengembuskan napas berat sambil menatap langit-langit kamar, pernikahan aneh ini harus segera dihentikan. Bukan cuma teman-teman saja, tapi Mbak Aida pasti berpikir kalau aku dan Mas Arga sudah menjalin hubungan sejak lama."Ra, buka pintunya!"Aku tak menggubris. Mau tak mau harus secepatnya berpikir, bagaimana caranya agar Mas Arga mau menceraikan aku, ya? "Ra, aku mau tidur siang. Ngantuk.""Tidur di depan TV aja!" teriakku.Ceklek! Pintu terbuka. Kok, bisa?"Kok, bisa buka? Kan, dikunci." Aku memasang kuda-kuda."Kamu lupa ini rumah siapa?" Mas Arga memperlihatkan kunci cadangan yang dia bawa. "Pakai acara dikunci segala lagi pintunya." Aku mulai sewot.Laki-laki yang memakai kaus hitam ketat itu langsung berbaring di sampingku tanpa memedulikanku yang gemetar sejak tadi. Mau bagaimanapun aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki selain Bapak. Jangankan pacaran, teman cowok aja gak punya saking malasnya.Aku mendadak punya ide brilian. Aku harus membuat Mas Arga ilfeel agar dia mau menceraikan istrinya. Aku menganggukkan kepala sambil menyeringai menatapnya. Aku yakin 1000% kalau Mas Arga akan ilfeel karena sikapku yang bertolak belakang dengan Mbak Aida. Setahuku, dia suka wanita yang kalem. "Ngapain ngeliatin begitu? Nafsu?"Dih!"Kita bikin perjanjian kayak di sinetron. Mas Arga, gak boleh tidur seranjang sama aku. Tidurnya di bawah atau di depan TV aja.""Ogah."Aku mendelik. "Gak bisa gitu, dong. Salah siapa yang main nikahin aja. Padahal kan aku cuma iseng."Mas Arga tak menjawab. Namun, karena HP miliknya berbunyi, ia pun membuka mata.Panggilan pertama, kedua dan ketiga masih diabaikan hingga membuatku penasaran."Berisik. Angkat aja gak bisa?" tanyaku.Akhirnya pada panggilan entah ke berapa, laki-laki itu baru benar-benar menjawab meski dengan muka masam."Apa?""Enggak.""Terserah.""Aku mau istirahat."Aku mengerutkan dahi. Singkat-singkat banget jawabannya? Siapa yang nelepon, ya?***Malamnya. Aku sudah menyiapkan bantal dan selimut yang akan kuberikan pada Mas Arga agar dia mau tidur di depan TV. Aku sudah membuat perjanjian seperti di sinetron agar terkesan dramatis. Mau tidak mau juga Mas Arga harus mau!"Kamu pikir aku nikahin kamu cuma mau main-main kayak gini, Ra? Enggak. Kita udah sah, gak usah aneh-aneh atau aku paksa."Aku menelan ludah. Kata 'paksa' yang Mas Arga ucapkan kayak boomerang rasanya."Kan, udah dibilang aku gak mau. Makanya jangan suka maksa.""Maksa nikah aja aku bisa apalagi maksa yang lain. Udah. Buang aja itu kertas perjanjian, kita nikmatin malam pertama kita sebagai pengantin."Enak aja. Enggak. Pokoknya aku enggak mau diapa-apain sama Mas Arga. Aku menggelengkan kepala."Mau ngapain?!" tanyaku sambil mundur-mundur. Berlawanan dengan langkah Mas Arga yang semakin maju, menghampiriku.Mas Arga bersedekap. Tatapannya mulai ke mana-mana dan menyebalkan."Enaknya dimulai dari mana, ya, Ra?"Aku melotot. "Jangan aneh-aneh! Minggir!"Dia tergelak. Lantas mengacak rambutku hingga berantakan kemudian kembali duduk di ranjang sambil memegangi perutnya. Sial!Aku masih menormalkan napas yang sempat tidak beraturan. Bisa-bisanya dia bikin senam jantung malam-malam. "Tidur sana!" katanya."Mas keluar dulu. Kalau gak mau biar aku yang tidur di luar!" ancamku sambil membawa bantal dan selimut."Ya, udah sana. Awas ada kecoa."Fix. Nyebelin!Aku memutar tubuh, lalu berjalan ke luar kamar. Meletakkan bantal di karpet bulu depan TV lalu mulai berbaring di sana dengan mata terpejam. Aku yakin, tak lama setelah ini pasti Mas Arga akan keluar dan memintaku untuk tidur di kamar, sementara dia yang akan tidur di luar. Sudah lima belas menit, tapi belum ada tanda-tanda Mas Arga akan keluar kamar. Jangan-jangan dia udah tidur? Ah, nyebelin! Dasar suami pohon pisang! Gak punya hati, cuma punya jantung doang. Kenapa gak nyuruh aku tidur di kamar, sih?Aku menggulingkan tubuh ke samping. Tepat di bawah lemari ada benda bergerak-gerak entah apa. Aku menajamkan pengelihatan, sedikit mengucek mata agar tidak buram.Kecoa!"Aaa ... kecoa!"Aku lari tunggang langgang sembari mengumpat."Dasar suami nyebelin! Awas aja, yak. Besok aku tukar dia sama bonsai!""Mas Arga, ada kecoa!" Aku menggoncang tubuh Mas Arga. Tetapi, bukannya bangun, dia malah menarik selimut. Ish! Ini orang lagi cosplay jadi batu apa gimana? Masa ada orang teriak-teriak dia enggak denger? "Dasar manusia setengah bonsai! Enggak ada peduli-pedulinya sama orang!"Merasa usahaku telah sia-sia, akhirnya aku pun menarik selimut yang membungkus tubuhnya dan membaringkan tubuh di sebelah Mas Arga dengan meletakkan guling sebagai pembatasnya.***"Hoam!" Aku menguap sambil merenggangkan otot tangan. Matahari sudah meninggi, jam di HP pun sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Aku menoleh ke sisi kiri, tapi suamiku tidak ada, mungkin Mas Arga sudah bangun sejak pagi tadi.Aku berjalan dengan gontai ke luar kamar sambil memperhatikan sekeliling. Kosong. Kamar mandi kosong, dapur, dan ruang keluarga juga kosong. Di mana Mas Arga?Meja makan pun masih kosong. Tidak ada roti atau apa pun yang bisa kumakan pagi ini. Ah, jadi kangen Ibu. Setiap pagi-pagi sekali pasti beliau sudah menyiapka
"Habis dikerjain, ya?" Mbak Aida tertawa. "Arga emang suka gitu," lanjutnya.Aku hanya nyengir kuda. Tak paham dan tak mau paham apa maksudnya. Lagian males juga nanggepinnya. Pasti setelah ini Mbak Aida bakal cerita kenangan waktu pacaran sama Mas Arga dulu."Nyebelin gitu, Arga orangnya romantis, kok, Ra. Dulu sering banget lupa jemput, tapi paginya beli bunga. Aku tadinya mau marah jadi nggak bisa."Kan, kaaan!"Tapi, kamu kan nggak suka bunga, Ra. Jadi, kayaknya beda cerita kalau di kamu. Gagal romantis gitu."Aku hanya mengangguk sambil memakan camilan di toples sembari memperhatikan Mbak Aida yang mencuci sayuran yang terdiri dari kubis, wortel, brokoli, dan juga sawi hijau di baskom. Bisa kutebak kalau dia akan memasak capcay."Lupa gak beli udang. Mau masak capcay, kan?" tanyaku sambil membantu mengupas bawang."Arga alergi sama udang. Jangan masakin dia seafood, ya. Dia juga gak suka pedes."Aku mengangguk."Arga suka banget capcay buatan aku, Ra. Sini aku ajarin masak.""En
"Kerja yang bener, ya. Nanti aku jemput," katanya sambil mengacak rambut. Aku menatapnya dengan malas lalu kembali duduk di meja kasir."Yang diacak rambutnya siapa, yang berantakan siapa." Lilis meracau, aku mendongak. Dia masih menatap punggung Mas Arga yang sudah menjauh."Awas naksir!" sahutku."Hatiku berantakan, Ra. Kamu serius gak suka sama dia? Good looking gitu.""Ambil ajalah kalah suka.""Serius? OTW jadi pelakor!" Lilis mengambil sesuatu dari dalam saku.Aku makin mengernyit melihat Lilis mengoleskan lipstik merah menyala di bibirnya."Dah pantes jadi pelakor belum?" tanya Lilis yang kujawab dengan toyoran di kepalanya.***Jam dua sore. Satu jam lagi waktu pergantian sif, aku menghitung jumlah uang dan menyamakannya dengan nominal di komputer. Sebelum pergantian sif begini, uang yang terkumpul selama sif pertama akan dipisahkan dengan jadwal sif berikutnya.Setelah memastikan jumlah uang dengan yang tertera di layar monitor itu sama, aku mengikat pendapatan sejak pagi tad
Semenjak minum obat dari Mas Arga tadi, perutku sudah mulai membaik. Namun, sudah hampir jam sebelas malam, tapi mataku masih belum bisa diajak terpejam juga. Aku berguling ke kanan dan ke kiri, tapi cuma gerah doang yang ada.Sayup aku mendengar suara nada dering dari luar kamar. Ini sudah hampir tengah malam, tapi kenapa Mas Arga masih menerima panggilan?Aku berjalan ke dapur karena perut terasa kosong, sepertinya bakso tiga porsi tadi benar-benar sudah tidak menempati ruang di lambungku lagi. Tanpa memedulikan Mas Arga yang sedang berbicara entah dengan siapa, aku melewatinya begitu saja tanpa bertanya.Aku mengambil air dari dispenser lalu menarik kursi di meja makan. Tanganku terulur hendak menjangkau apel di piring, tapi terhalang oleh cekalan Mas Arga. Aku menyentak, tapi dia justru terbahak."Laper lagi?" tanyanya."Masalah buat situ?" Aku kembali meraih apel dan langsung menggigitnya.Mas Arga duduk di depanku sambil memperhatikan. Matanya tidak berkedip sama sekali, membua
Aku membelalak. Ini salah. Bukan. Bukan karena aku suka sama Mas Arga, tapi ucapan Mbak Aida ini benar-benar bibit masalah."Mbak, sadar. Kamu udah nikah sama Mas Imran. Jangan ngadi-adi ngomongnya, dosa!""Aku serius, Ra. Aku gak rela kamu nikah sama dia." Mbak Aida tiba-tiba tergugu."Udah! Udah!Mending Mbak Aida pulang. Jangan ke sini lagi, bahaya. Bibit dosa jangan makin dipupuk, nanti malah subur kayak jenggot bapak. Mbak, jangan main-main sama pernikahan, Mas Imran itu orang baik. Rela gak rela emang udah kayak gini kenyataannya.""Kamu gak tahu gimana rasanya kehilangan, Ra. Kamu gak tahu, kan, gimana rasanya sayang sama orang, tapi orang itu udah bukan milik kamu lagi.""Ya emang aku gak tahu dan gak mau tahu. Kalau mau mungkin udah dari dulu aku pacaran juga. Gak usah makin ngelantur gitu ngomongnya," kataku mulai kalut. Bisa-bisa aku kepancing emosi juga kalau begini urusannya."Aku nginep di sini. Semalam aja.""Enggak! Ayo, Yura anter pulang." Aku mengambil tas miliknya da
Aku sengaja menunggu. Benar saja, Mas Arga pasti hanya menggoda, tapi dia sama sekali tidak berani menyentuhku. Jangan-jangan memang benar ucapan Lilis, bahwa sebenarnya Mas Arga ini pura-pura mau padahal aslinya hanya untuk menutupi malu. Ah, aku jadi penasaran.Aku membalikkan tubuh. Posisi Mas Arga masih seperti malam-malam biasanya. Terpejam dengan tangan yang diletakkan di atas kening. Pelan-pelan kupindahkan guling di antara kami dan mulai merapatkan tubuh."Dingin, ya, Mas." Meski gemetar, tapi tanganku akhirnya berhasil melingkar di atas perutnya. Ini namanya uji nyali!Bisa kurasakan kalau Mas Arga terkejut, karena setelah itu dia terlihat gugup. Sementara aku berusaha menahan tawa dengan sekuat tenaga."Katanya gak boleh pegang-pegang dulu." Tangannya memindahkan tanganku.Namun, aku kembali melingkarkan tangan dan merapatkan tubuh, memeluknya."Dingin," kataku. "Ah, elah. Bikin gagal ngantuk aja, Ra. Ya udah sini, kita saling menghangatkan."Aku gelagapan ketika Mas Arga
10.Aku kembali menunduk karena merasa tidak kenal dengan laki-laki yang celingukan di depan sana. Lilis menyenggol lengan, memberi isyarat agar aku menemui orang itu sebelum warung penuh."Samperin, gih. Bukan pengemis dia."Aku tertawa. Lalu, menghampiri laki-laki itu."Masnya siapa, ya?" tanyaku ketika menghampirinya."Ah, iya. Kenalin, nama saya Edo."Aku menjabat tangannya. "Ada keperluan apa, Mas Edo?""Ternyata kamu cantik banget, ya." Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum.Bau-bau buaya."Maksudnya apa, ya? Maaf banget, Mas, soalnya saya sibuk. Ini jam kerja." Intonasiku mulai meninggi."Eh, iya, astaga. Maaf. Aku ke sini karena disuruh sama Aida. Sore nanti, kamu disuruh ke rumah. Oh, iya. Aku temen kerjanya dulu, kebetulan tempat kerjaku deket-deket sini juga. Pulang jam tiga, kan? Nanti bisa bareng. Bye!" Dia melambai tanpa menunggu jawabanku.Meresahkan. Bukan Lilis namanya kalau tidak langsung menanyakan tentang siapa laki-laki tadi. Aku hanya menjawab sekenanya karen
11Tubuhku bersentuhan dengan benda lembut. Aku membuka mata, lalu memejam kembali ketika harus melihat wajah Mas Arga, lagi dan lagi.Rupanya Mas Arga membaringkan tubuhku di kasur. Badanku rasanya seperti tak bertulang. Lemas dan pusing."Boleh, ya, Ra?" bisik Mas Arga.Aku menggulingkan tubuh. "Gak!""Puasa terooos!"Bibirku tertarik ke atas. Emang enak?!Aku bisa merasakan kalau Mas Arga ikut berbaring di belakangku. Tubuhku menegang ketika tangan Mas Arga melingkar di pinggang. Dia benar-benar memelukku dari belakang."Please, jangan marah. Sebentar aja, Ra," bisiknya. Anehnya, aku benar-benar tidak marah dan tidak bergerak. Hanya diam dan menikmati embusan napasnya yang hangat menjalar di punggung. Ada sensasi aneh yang terasa saat Mas Arga mengeratkan pelukannya.Jantungku berdebar kencang. Rasanya mirip banget kayak waktu disuruh Ibu menemui kang kredit lingerie. Ngeri-ngeri sedap."Unboxing, ya, Ra?"Aku menyikut perutnya hingga laki-laki itu tertawa dan menarik tangan yang
Pagi ini, aku seperti memulai hari baru. Aku bahkan sudah tidak mengusir Mas Arga lagi dan memintanya tidur di luar. Semalaman, Mas Arga menceritakan banyak hal. Anehnya, aku mulai menyukai kebiasaannya yang banyak bicara itu.Aku menopang dagu di meja, sambil memperhatikan Mas Arga yang sedang menuang nasi goreng di piring. Aku menghirup aroma nasi goreng yang membuat perut semakin keroncongan."Selamat sarapan, Cinta." Dia mengecup pipi.Aku mulai melahap nasi goreng buatan Mas Arga. Lalu, membulatkan mata ketika merasakan sensasi pedas yang memenuhi indera perasa."Wow. Pedes banget. Mas Arga bisa makan pedes?" tanyaku saat melihatnya mulai melahap nasi di piringnya."Aku belajar menyukai semua hal tentang kamu, Ta."Aku tersenyum. "Harusnya jangan. Nanti malah bikin Mas Arga kenapa-kenapa.""Kamu khawatir?"Aku langsung mengatupkan bibir. Salah ngomong ternyata.Mas Arga menggeser kursinya hingga ke sampingku. Tangan kirinya melingkar di perutku, sedangkan tangan kanannya masih sib
Warning! Part ini menyebabkan baper.--"Tuh, kan, basah lagi rambutnya."Mas Arga tertawa. Sementara aku hanya membuang muka, tak mau menatapnya. Aku masih sibuk mengeringkan rambut karena satu jam lagi harus berangkat bekerja. Mas Arga memutuskan untuk berangkat di jam yang sama, agar kami juga bisa pulang sama-sama. Tentunya agar kejadian semalam yang katanya ketiduran itu tidak terulang kembali.Kami memang bekerja di rumah makan yang sama. Rumah makan dengan 33 cabang yang tersebar di kota Jogjakarta. Hanya saja aku bekerja di bagian kasir, sedangkan Mas Arga menjadi SPV. Jam kerjanya sama, hanya jadwal sif yang sedikit berbeda. Aku dua sif dan seorang SPV ada jadwal tiga sif."Habis gajian besok aku udah ada janji sama Lilis.""Harusnya jangan libur barengan gitu, kasihan yang lain. Satu-satu aja, dong.""Udah sepakat, kok. Nanti kita juga gantian.""Tiga hari juga?""Lilis sehari, aku yang tiga hari.""Kalau gitu aku ambil jatah liburnya barengan kamu ajalah.""Ish. Kok, gitu?"
Tangan Mas Arga membelai pipi, seolah-olah memintaku untuk mendekat. Spontan aku memejamkan mata. Keringat dingin mulai bercucuran, apa yang akan Mas Arga lakukan?Aku menelan ludah dengan susah payah. Embusan napasnya yang hangat menyapu wajah. Aku ... tidak bisa menolak ketika jarak di antara kami benar-benar terkikis. Apakah itu tandanya, hatiku mulai menerima?"Mas, malu." Aku bergumam, sambil membuka mata. Tapi, gumaman itu hanya dianggap angin lalu oleh Mas Arga. Dia menarik tubuhnya sedikit. Lalu, kembali menatapku dengan lekat, seakan-akan sedang meminta persetujuan."Boleh?" tanyanya lirih.Aku diam sebentar, lalu mengangguk meski ragu. Bibir itu mulai mendekat, lalu akhirnya menempel lekat. Selama beberapa saat kami tenggelam. Rasanya seperti sedang melayang atas sesuatu yang memabukkan.Malam ini, kami benar-benar melebur dalam balutan kasih sebagai pasangan halal. ***Aku mengerjap. Matahari sudah meninggi, cahayanya masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Aku menggera
Aku celingukan. Lalu, melotot ketika melihat Lilis sedang bersembunyi di bawah meja kasir. Dia yang ngajak gibah, aku pula yang kena masalah.Mas Arga masih memasang wajah datar. Sementara aku mulai salah tingkah. Kenapa bisa tidak sadar kalau ternyata mobil Mas Arga terparkir di halaman, ya?"Gak usah bayar. Biar aku aja nanti yang bayar.""Ini suap? Biar gak kena hukuman, kan?""Enggak gitu. Lilis yang mulai."Aku menarik tangan Lilis agar dia keluar dari persembunyian."Maaf, Mas. Yura yang ngajak duluan," kata Lilis sambil meremas lenganku."Emang bukan salah kamu, tapi salah Yura. Tenang aja, dia yang akan dapet hukuman dari saya."Aku mengerucutkan bibir. Kena lagi, kan?Aku menghindar saat Mas Arga hendak mengacak rambutku lagi. Dia tertawa."Pinter, ya, sekarang," katanya."Jangan ngacak-acak rambut terus, males sisiran.""Rambutku aja yang diacak, Mas." Lilis menyahut. Aku menyenggol lengannya.Mas Arga hanya tersenyum, lalu berpamitan."Masya Allah ganteng banget jodoh orang
13"Ra."Aku mendongak. "Iya, Pak?""Di sini gak ada gula?"Aku menyemburkan tawa. "Ada, kok. Mau ditambahin?"Bapak menggeleng sambil terkekeh. "Jangan terlalu tegang begitu. Kayak lagi ngomong sama tukang kredit langganan Ibu saja."Kami terbahak bersama. Namun, senyumku langsung memudar ketika Bapak kembali bicara."Arga banyak berubah selepas putus dengan Aida. Sepertinya dia jadi banyak bicara sekarang.""Memangnya dulu enggak banyak bicara, Pak?"Aku mencoba mengingat saat Mas Arga sering mengantar Mbak Aida pulang. Aku yang tidak pernah peduli pada mereka atau memang saat berpacaran dengan Mbak Aida, Mas Arga itu tidak banyak bicara? Entahlah.Beliau hanya tersenyum kecil. "Masuk sore, ya? Bapak jadi kangen jemput kamu waktu pulang malam lagi."Kali ini aku benar-benar dibuat mellow. Ah, Bapak. Sepertinya baru kemarin kita berangkat kerja bersama. Aku yang selalu ketiduran saat menunggu jemputan dari Bapak. Lalu, akhirnya kita akan berhenti di pasar malam hanya agar aku tidak m
12"Mas Arga ngomong apaan, sih? Yang sakit siapa yang ngelantur siapa."Aku melewatinya. Lalu, kembali duduk dan meletakkan dagu di meja.Mas Arga mendekat, lantas melakukan hal yang sama."Ra, maaf. Semalam aku ngelakuin itu tanpa sepengetahuan kamu. Aku minta maaf." Wajahnya tidak bercanda."Mas, bohong, kan?"Dia menggeleng. Aku mulai panik, jangan-jangan obat yang aku minum semalam itu obat tidur? Jadi, aku sudah ternodai? Sudah tidak suci lagi?Namun, tiba-tiba saja Mas Arga menyemburkan tawa. Kencang sekali. Aku memutar bola mata dengan malas, lalu melempar celemek pada laki-laki mesum yang sedang memegangi perutnya itu."Wajah kamu lucu."Aku mencebik. Lucu katanya?Dasar otak mesum!Mas Arga kembali pada kompornya. Tangannya cukup lihai ketika mulai memasukkan bumbu di wajan. Aku mendekat, lalu melongok pada wajan di atas kompor."Lah, gak usah pakai daun jeruk, ah. Aku gak suka. Bumbuin bawang ama cabe aja udah!" protesku."Nasi goreng daun jeruk, kan, enak.""Gak enak, aneh
11Tubuhku bersentuhan dengan benda lembut. Aku membuka mata, lalu memejam kembali ketika harus melihat wajah Mas Arga, lagi dan lagi.Rupanya Mas Arga membaringkan tubuhku di kasur. Badanku rasanya seperti tak bertulang. Lemas dan pusing."Boleh, ya, Ra?" bisik Mas Arga.Aku menggulingkan tubuh. "Gak!""Puasa terooos!"Bibirku tertarik ke atas. Emang enak?!Aku bisa merasakan kalau Mas Arga ikut berbaring di belakangku. Tubuhku menegang ketika tangan Mas Arga melingkar di pinggang. Dia benar-benar memelukku dari belakang."Please, jangan marah. Sebentar aja, Ra," bisiknya. Anehnya, aku benar-benar tidak marah dan tidak bergerak. Hanya diam dan menikmati embusan napasnya yang hangat menjalar di punggung. Ada sensasi aneh yang terasa saat Mas Arga mengeratkan pelukannya.Jantungku berdebar kencang. Rasanya mirip banget kayak waktu disuruh Ibu menemui kang kredit lingerie. Ngeri-ngeri sedap."Unboxing, ya, Ra?"Aku menyikut perutnya hingga laki-laki itu tertawa dan menarik tangan yang
10.Aku kembali menunduk karena merasa tidak kenal dengan laki-laki yang celingukan di depan sana. Lilis menyenggol lengan, memberi isyarat agar aku menemui orang itu sebelum warung penuh."Samperin, gih. Bukan pengemis dia."Aku tertawa. Lalu, menghampiri laki-laki itu."Masnya siapa, ya?" tanyaku ketika menghampirinya."Ah, iya. Kenalin, nama saya Edo."Aku menjabat tangannya. "Ada keperluan apa, Mas Edo?""Ternyata kamu cantik banget, ya." Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum.Bau-bau buaya."Maksudnya apa, ya? Maaf banget, Mas, soalnya saya sibuk. Ini jam kerja." Intonasiku mulai meninggi."Eh, iya, astaga. Maaf. Aku ke sini karena disuruh sama Aida. Sore nanti, kamu disuruh ke rumah. Oh, iya. Aku temen kerjanya dulu, kebetulan tempat kerjaku deket-deket sini juga. Pulang jam tiga, kan? Nanti bisa bareng. Bye!" Dia melambai tanpa menunggu jawabanku.Meresahkan. Bukan Lilis namanya kalau tidak langsung menanyakan tentang siapa laki-laki tadi. Aku hanya menjawab sekenanya karen
Aku sengaja menunggu. Benar saja, Mas Arga pasti hanya menggoda, tapi dia sama sekali tidak berani menyentuhku. Jangan-jangan memang benar ucapan Lilis, bahwa sebenarnya Mas Arga ini pura-pura mau padahal aslinya hanya untuk menutupi malu. Ah, aku jadi penasaran.Aku membalikkan tubuh. Posisi Mas Arga masih seperti malam-malam biasanya. Terpejam dengan tangan yang diletakkan di atas kening. Pelan-pelan kupindahkan guling di antara kami dan mulai merapatkan tubuh."Dingin, ya, Mas." Meski gemetar, tapi tanganku akhirnya berhasil melingkar di atas perutnya. Ini namanya uji nyali!Bisa kurasakan kalau Mas Arga terkejut, karena setelah itu dia terlihat gugup. Sementara aku berusaha menahan tawa dengan sekuat tenaga."Katanya gak boleh pegang-pegang dulu." Tangannya memindahkan tanganku.Namun, aku kembali melingkarkan tangan dan merapatkan tubuh, memeluknya."Dingin," kataku. "Ah, elah. Bikin gagal ngantuk aja, Ra. Ya udah sini, kita saling menghangatkan."Aku gelagapan ketika Mas Arga