"Mas nanti di atas, ya," kata Mas Arga sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kelabakan. Maksudnya apa? Baru juga keluar kamar mandi, udah denger kalimat tidak senonoh seperti ini. Dia lupa perjanjian yang baru saja kita sepakati tadi?"Apanya yang di atas?" tanyaku dengan gugup."Tidurnya.""Di atas siapa?""Di atas kasur. Kamu di lantai. Piktor banget. Katanya gak boleh dulu.""Ogah! Ini, kan, kamar aku!""Mau gimanapun juga kamu, kan, istriku. Harus nurut."Enak aja!Aku mendadak gemetar, tubuh rasanya panas dingin ketika Mas Arga hendak membuka handuk yang melilit di tubuh bagian bawahnya.Spontan aku menutup mata dengan telapak tangan, berjalan miring-miring macam kepiting hingga menjangkau ranjang."Jangan buka di sini! Di kamar mandi, kan, bisa?" protesku."Emang apa bedanya di sini sama di kamar mandi? Kan, udah suami istri, jangankan lihat, pegang juga boleh. Kamu nafsu?""Nafsu kagak, geli iya!""Gede, lho ... kakiku." Dia ngakak. Dasar!"Sana! Sana!" teriakku.Aku menarik selimut sampai menutupi kepala. Sial! Berawal dari sumpah tidak masuk akal yang tidak sengaja kuucapkan, kini aku harus tinggal bahkan harus menikah dengan mantan. Kalau mantanku sendiri sih gak masalah, lha ini, mantan pacarnya Mbak Aida. Kan, beda urusannya.***[Yura, cepetan! Tiga puluh menit lagi kamu gak sampai, kita coret nama kamu dari kartu keluarga!]Keringatku sudah sebesar biji jagung. Sekarang sudah jam tujuh malam, tapi sama sekali belum ada ojek online yang menerima pesananku. Jam segini juga udah gak ada angkutan umum, taksi pun gak ada satu pun yang lewat. Sial!Dengan keberanian yang cuma satu setengah persen itu, aku melambaikan tangan pada beberapa kendaraan yang lalu lalang. Berharap dengan cara itu aku akan mendapat tumpangan dan pulang secepatnya.Aku mondar-mandir sambil melirik jam di tangan. Mungkin sebaiknya aku lari saja agar cepat sampai, tapi kalau pingsan di jalan gimana? Terus diculik orang dan dibuang di hutan? Enggak. Ini ide gila."Tolong! Siapa pun yang berhenti dan ngasih saya tumpangan, kalau dia cowok saya jadiin suami. Kalau dia cewek saya ambil suaminya!" Aku meneriaki kendaraan di jalanan."Saya bersumpah! Masa gak ada yang mau ngasih tumpangan, sih? Tolongin, dong!"Aku makin kalut. Sudah delapan menit waktu yang terbuang sia-sia, sepertinya memang jalan satu-satunya adalah lari sekencang mungkin. Perkara pingsan di jalan itu urusan belakangan.Tiin!Spontan aku menutup telinga. Udah mirip banget sama adegan di sinetron yang Ibu tonton semalam dan bodohnya aku malah mengulang kejadian di mana si artis ceweknya itu cuma teriak sambil tutup telinga. Kenapa gak minggir aja? Gak kepikiran!"Yura? Gak papa, kan?"Aku menurunkan tangan, menatap lelaki dengan pakaian formal itu dengan dahi berkerut. Kayaknya kenal."Mas Arga?""Masih inget, Ra? Kirain dah lupa. Mau pulang? Aku anter."Aku mengangguk, eh tapi gak jadi. Tiba-tiba ingat sama sumpah yang sempat terucap beberapa menit lalu. Tapi, kalau aku gak cepet-cepet pulang, bisa berabe acara pertunangan Mbak Aida nanti."Gak usah, Mas. Aku jalan kaki aja," tolakku halus."Oh ya udah. Hati-hati."Aku mengerucutkan bibir. Tega banget nih orang. Pantesan aja diputusin sama Mbak Aida."Duluan, ya, Ra.""E-eh! Ikut, Mas!"Bodo amat sama sumpah. Toh, Mas Arga juga gak denger, kan? Tinggal mikir urusan dosa aja, bisalah dibicarakan baik-baik dengan Tuhan."Kamu dari mana?""Ya, kan, tadi di depan toko emas. Berarti dari toko emas, dong," jawabku sekenanya."Jutek amat. Aida banget."Aku melengos. Dari cerita Mbak Aida, laki-laki ini memang nyebelin. Sudahlah tidak romantis, Mbak Aida minta putus, eh dia malah bilang 'ya udah'. Harusnya, kan, ada usaha atau apa. Bener-bener bukan suami idaman! Untung sekarang Mbak Aida udah nemu pengganti yang jauh lebih baik dan romantis dari Mas Arga."Cepetan, Mas. Penting ini. Bisa dicoret dari KK kalau kelamaan di jalan.""Emang kenapa?""Aku yang bawa cincin mereka. Kalau gak sampai rumah dalam waktu tiga puluh menit, bisa bubar acara pertunangan Mbak Aida.""Tunangan?"Aku menoleh ke arahnya. Wajah Mas Arga berubah aneh. Biarin ajalah. Salah sendiri dia ngelepasin permata begitu aja."Nyesel, ya?" ejekku."Enggak. Bukan jodohnya.""Ya, tapi kan pernah ada kenangan. Masa udah bener-bener hilang perasaan?" "Biasa aja."Dih!Sepertinya Mas Arga memang masih ingat betul jalan ke rumah kami. Itu tandanya dia belum sepenuhnya lupa. Iya, 'kan? Buktinya kami sudah sampai tepat waktu. Tak sempat mengucapkan terima kasih, aku pun segera berlari ke dalam dan menghampiri Mbak Aida yang berada di kamar serta menyerahkan kotak beludru warna merah itu padanya."Lain kali lebih teliti bisa gak, sih? Untung ada aku, coba kalau enggak? Malu yang ada! Lagian, nih, ya, di mana-mana itu cincin pertunangan yang bawa cowoknya, bukan malah ceweknya yang ribet!" protesku di belakang Mbak Aida. "Makasih, Yura. Siapa aja yang bawa cincinnya itu bukan masalah. Yang penting, 'kan, ada."Aku mencebik. Lantas melesat ke kamarku sendiri dan berganti pakaian biar gak malu-maluin keluarga. Gak mandi gak papa, yang penting wangi. Katanya masih ada lima belas menit lagi sebelum keluarga calon suami Mbak Aida datang, jadi aku masih punya waktu sedikit untuk merebahkan tubuh di ranjang."Ra, kamu bawa calon?" Ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar itu membuatku mengerutkan dahi."Ra, kamu pacaran sama Arga?" Sekarang gantian Mbak Aida yang tanya."Apa-apaan, sih, ini?" Aku bangkit berdiri. Menurut saja ketika Ibu menyeret tanganku ke luar dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Mas Arga sudah duduk manis bersama tamu undangan. Kenapa dia gak pulang?"Ngapain tuh orang di sana?" tanyaku pada Mbak Aida. Tapi, bukannya dijawab, malah toyoran di kepala yang kudapat."Jadi Nak Arga ke sini mau melamar Yura?" tanya salah satu anggota keluarga.Lalu, nyebelinnya ... Mas Arga mengangguk. "Benar, Pak."Wah. Gak beres ini. Bisa-bisanya dia jawab begitu? "Ra, serius?" tanya Mbak Aida lagi. Gawat. Bisa dianggap pelakor aku nanti sama dia. Jangan sampai Mbak Aida berasumsi yang aneh-aneh, aku harus menjelaskan duduk perkaranya. Yang terpenting kita harus duduk dulu, berdiri gini pegel juga."Mbak, bukan gitu. Aku bisa jelasin.""Ai, ayo. Acaranya udah dimulai. Keluarga Imran sudah datang." Ibu menggandeng Mbak Aida ke luar.Aku menelan ludah. Apalagi ketika melihat Mas Arga berjalan menujuku dan duduk di sampingku."Apa-apaan, sih, Mas?" bisikku sambil melotot tajam."Kan kamu sendiri yang bilang.""Bilang apa? Kapan?"Mas Arga tak menjawab. Sekarang justru asyik dengan HP di tangannya. Aku pun membuang pandangan ke depan."Tolong! Siapapun yang berhenti dan ngasih saya tumpangan, kalau dia cowok saya jadiin suami. Kalau dia cewek saya ambil suaminya!""Saya bersumpah! Masa gak ada yang mau ngasih tumpangan, sih? Tolongin, dong!"Seluruh umat manusia yang seharusnya sedang membicarakan hal serius mengenai pernikahan Mbak Aida itu seketika memandangku. Sial! Rekaman dari mana itu? Bukannya Mas Arga tadi enggak ada di sana?"Baik. Kalau begitu, kita sekalian nyari tanggal buat pernikahan Yura," ucap Bapak. Lembut tapi tegas dan sialnya lagi, itu mengundang tawa seluruh tamu yang hadir."Barengin sama Aida aja, Kang!" usul Om Tirta."Iya. Biar sekalian makan duitnya."Dan satu per satu usulan pun bermunculan.Aku mengusap wajah, lantas menoleh ke sisi kanan dimana Mas Arga duduk dengan sangat tenang."Saya siap. Kapan saja," katanya.Aku mendelik semakin tajam, tapi dia hanya membalas dengan seringai menyebalkan.***"Ngalamun mulu, beneran gak boleh unboxing ini? Rugi, dong?" Pertanyaan Mas Arga membuatku melempar bantal ke arahnya. Laki-laki itu makin mendekati ranjang, sebelum dia mencapainya, aku pun memintanya berhenti dengan gerakan tangan."Jangan ngadi-adi! Udah dibilang gak boleh megang seujung kuku juga! Sana!""Biasanya laki-laki malah makin penasaran kalau dilawan." Seringainya membuat bulu kudukku meremang."Dasar mesum!"Aku menarik selimut hingga menutup wajah. Namun, karena sudah lama menunggu dan tidak terjadi apa-apa, aku pun membuka selimut dengan sedikit mengintip. Laki-laki menyebalkan itu sudah berbaring dengan tangan kanan yang diletakkan di atas kening dan memejam.Ish! Kirain bakalan kayak adegan di sinetron yang Ibu tonton. Ternyata enggak."Pengen diapa-apain, ya?" tanyanya."Mas Arga tidur di lantai, dong! Kan, perjanjiannya gak boleh sentuhan dulu sebelum akunya siap.""Gak ada yang mau nyentuh juga. Aku gak bisa tidur di lantai, nanti kedinginan. Emang kamu mau meluk?"What?!Aku menggulingkan tubuhnya, tapi rupanya suami dadakanku ini bukan manusia biasa. Kenapa tubuhnya tidak bergeser sama sekali? Jangan-jangan dia punya kekuatan super?"Dosa. Mau dibacain hadis? Kamu aja yang di bawah kalau mau." Dia masih saja tak bergerak.Aku mendengkus, lantas meletakkan guling di tengah-tengah sebagai pembatas dan kembali meringkuk. Baru terlelap beberapa menit, aku sudah dikejutkan oleh tepuk
Dua kancing atasnya sudah terbuka. Oh, tidak. Mataku ternoda! "Jangan mesum, ah! Aku teriak, nih!" ancamku sambil menutup wajah dengan tangan."Dikit aja, Ra."Aku benar-benar merinding. Astaga, ini makhluk jelmaan apa, sih, sebenarnya?"Mas, jangan aneh-aneh, deh. Aku beneran teriak, nih!" Aku mulai sewot."Canda, Ra." Mas Arga terbahak sambil memasang kancing bajunya kembali.Gak ada akhlak!***"Sorry. Rumahnya emang kecil, tapi muat kalau cuma buat nampung kamu sama anak-anak kita nanti."Aku mencebik. Ternyata bisa ngelawak juga Mas Arga ini. Aku berkeliling sebentar ketika dia membuka pintu, banyak tanaman kecil-kecil yang berbentuk aneh di teras. Rumahnya memang tidak besar, tapi sepertinya nyaman dan bersih."Ini apaan?" tanyaku menunjuk pada tumbuhan seukuran pot bunga dengan batang meliuk-liuk."Bonsai. Mahal itu.""Beginian mahal?" tanyaku tak percaya."Mau masuk gak?"Aku berjalan mendekat. Ketika pintu terbuka, aku spontan membelalakkan mata. Untuk ukuran bujangan, ini r
"Mas Arga, ada kecoa!" Aku menggoncang tubuh Mas Arga. Tetapi, bukannya bangun, dia malah menarik selimut. Ish! Ini orang lagi cosplay jadi batu apa gimana? Masa ada orang teriak-teriak dia enggak denger? "Dasar manusia setengah bonsai! Enggak ada peduli-pedulinya sama orang!"Merasa usahaku telah sia-sia, akhirnya aku pun menarik selimut yang membungkus tubuhnya dan membaringkan tubuh di sebelah Mas Arga dengan meletakkan guling sebagai pembatasnya.***"Hoam!" Aku menguap sambil merenggangkan otot tangan. Matahari sudah meninggi, jam di HP pun sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Aku menoleh ke sisi kiri, tapi suamiku tidak ada, mungkin Mas Arga sudah bangun sejak pagi tadi.Aku berjalan dengan gontai ke luar kamar sambil memperhatikan sekeliling. Kosong. Kamar mandi kosong, dapur, dan ruang keluarga juga kosong. Di mana Mas Arga?Meja makan pun masih kosong. Tidak ada roti atau apa pun yang bisa kumakan pagi ini. Ah, jadi kangen Ibu. Setiap pagi-pagi sekali pasti beliau sudah menyiapka
"Habis dikerjain, ya?" Mbak Aida tertawa. "Arga emang suka gitu," lanjutnya.Aku hanya nyengir kuda. Tak paham dan tak mau paham apa maksudnya. Lagian males juga nanggepinnya. Pasti setelah ini Mbak Aida bakal cerita kenangan waktu pacaran sama Mas Arga dulu."Nyebelin gitu, Arga orangnya romantis, kok, Ra. Dulu sering banget lupa jemput, tapi paginya beli bunga. Aku tadinya mau marah jadi nggak bisa."Kan, kaaan!"Tapi, kamu kan nggak suka bunga, Ra. Jadi, kayaknya beda cerita kalau di kamu. Gagal romantis gitu."Aku hanya mengangguk sambil memakan camilan di toples sembari memperhatikan Mbak Aida yang mencuci sayuran yang terdiri dari kubis, wortel, brokoli, dan juga sawi hijau di baskom. Bisa kutebak kalau dia akan memasak capcay."Lupa gak beli udang. Mau masak capcay, kan?" tanyaku sambil membantu mengupas bawang."Arga alergi sama udang. Jangan masakin dia seafood, ya. Dia juga gak suka pedes."Aku mengangguk."Arga suka banget capcay buatan aku, Ra. Sini aku ajarin masak.""En
"Kerja yang bener, ya. Nanti aku jemput," katanya sambil mengacak rambut. Aku menatapnya dengan malas lalu kembali duduk di meja kasir."Yang diacak rambutnya siapa, yang berantakan siapa." Lilis meracau, aku mendongak. Dia masih menatap punggung Mas Arga yang sudah menjauh."Awas naksir!" sahutku."Hatiku berantakan, Ra. Kamu serius gak suka sama dia? Good looking gitu.""Ambil ajalah kalah suka.""Serius? OTW jadi pelakor!" Lilis mengambil sesuatu dari dalam saku.Aku makin mengernyit melihat Lilis mengoleskan lipstik merah menyala di bibirnya."Dah pantes jadi pelakor belum?" tanya Lilis yang kujawab dengan toyoran di kepalanya.***Jam dua sore. Satu jam lagi waktu pergantian sif, aku menghitung jumlah uang dan menyamakannya dengan nominal di komputer. Sebelum pergantian sif begini, uang yang terkumpul selama sif pertama akan dipisahkan dengan jadwal sif berikutnya.Setelah memastikan jumlah uang dengan yang tertera di layar monitor itu sama, aku mengikat pendapatan sejak pagi tad
Semenjak minum obat dari Mas Arga tadi, perutku sudah mulai membaik. Namun, sudah hampir jam sebelas malam, tapi mataku masih belum bisa diajak terpejam juga. Aku berguling ke kanan dan ke kiri, tapi cuma gerah doang yang ada.Sayup aku mendengar suara nada dering dari luar kamar. Ini sudah hampir tengah malam, tapi kenapa Mas Arga masih menerima panggilan?Aku berjalan ke dapur karena perut terasa kosong, sepertinya bakso tiga porsi tadi benar-benar sudah tidak menempati ruang di lambungku lagi. Tanpa memedulikan Mas Arga yang sedang berbicara entah dengan siapa, aku melewatinya begitu saja tanpa bertanya.Aku mengambil air dari dispenser lalu menarik kursi di meja makan. Tanganku terulur hendak menjangkau apel di piring, tapi terhalang oleh cekalan Mas Arga. Aku menyentak, tapi dia justru terbahak."Laper lagi?" tanyanya."Masalah buat situ?" Aku kembali meraih apel dan langsung menggigitnya.Mas Arga duduk di depanku sambil memperhatikan. Matanya tidak berkedip sama sekali, membua
Aku membelalak. Ini salah. Bukan. Bukan karena aku suka sama Mas Arga, tapi ucapan Mbak Aida ini benar-benar bibit masalah."Mbak, sadar. Kamu udah nikah sama Mas Imran. Jangan ngadi-adi ngomongnya, dosa!""Aku serius, Ra. Aku gak rela kamu nikah sama dia." Mbak Aida tiba-tiba tergugu."Udah! Udah!Mending Mbak Aida pulang. Jangan ke sini lagi, bahaya. Bibit dosa jangan makin dipupuk, nanti malah subur kayak jenggot bapak. Mbak, jangan main-main sama pernikahan, Mas Imran itu orang baik. Rela gak rela emang udah kayak gini kenyataannya.""Kamu gak tahu gimana rasanya kehilangan, Ra. Kamu gak tahu, kan, gimana rasanya sayang sama orang, tapi orang itu udah bukan milik kamu lagi.""Ya emang aku gak tahu dan gak mau tahu. Kalau mau mungkin udah dari dulu aku pacaran juga. Gak usah makin ngelantur gitu ngomongnya," kataku mulai kalut. Bisa-bisa aku kepancing emosi juga kalau begini urusannya."Aku nginep di sini. Semalam aja.""Enggak! Ayo, Yura anter pulang." Aku mengambil tas miliknya da
Aku sengaja menunggu. Benar saja, Mas Arga pasti hanya menggoda, tapi dia sama sekali tidak berani menyentuhku. Jangan-jangan memang benar ucapan Lilis, bahwa sebenarnya Mas Arga ini pura-pura mau padahal aslinya hanya untuk menutupi malu. Ah, aku jadi penasaran.Aku membalikkan tubuh. Posisi Mas Arga masih seperti malam-malam biasanya. Terpejam dengan tangan yang diletakkan di atas kening. Pelan-pelan kupindahkan guling di antara kami dan mulai merapatkan tubuh."Dingin, ya, Mas." Meski gemetar, tapi tanganku akhirnya berhasil melingkar di atas perutnya. Ini namanya uji nyali!Bisa kurasakan kalau Mas Arga terkejut, karena setelah itu dia terlihat gugup. Sementara aku berusaha menahan tawa dengan sekuat tenaga."Katanya gak boleh pegang-pegang dulu." Tangannya memindahkan tanganku.Namun, aku kembali melingkarkan tangan dan merapatkan tubuh, memeluknya."Dingin," kataku. "Ah, elah. Bikin gagal ngantuk aja, Ra. Ya udah sini, kita saling menghangatkan."Aku gelagapan ketika Mas Arga
Pagi ini, aku seperti memulai hari baru. Aku bahkan sudah tidak mengusir Mas Arga lagi dan memintanya tidur di luar. Semalaman, Mas Arga menceritakan banyak hal. Anehnya, aku mulai menyukai kebiasaannya yang banyak bicara itu.Aku menopang dagu di meja, sambil memperhatikan Mas Arga yang sedang menuang nasi goreng di piring. Aku menghirup aroma nasi goreng yang membuat perut semakin keroncongan."Selamat sarapan, Cinta." Dia mengecup pipi.Aku mulai melahap nasi goreng buatan Mas Arga. Lalu, membulatkan mata ketika merasakan sensasi pedas yang memenuhi indera perasa."Wow. Pedes banget. Mas Arga bisa makan pedes?" tanyaku saat melihatnya mulai melahap nasi di piringnya."Aku belajar menyukai semua hal tentang kamu, Ta."Aku tersenyum. "Harusnya jangan. Nanti malah bikin Mas Arga kenapa-kenapa.""Kamu khawatir?"Aku langsung mengatupkan bibir. Salah ngomong ternyata.Mas Arga menggeser kursinya hingga ke sampingku. Tangan kirinya melingkar di perutku, sedangkan tangan kanannya masih sib
Warning! Part ini menyebabkan baper.--"Tuh, kan, basah lagi rambutnya."Mas Arga tertawa. Sementara aku hanya membuang muka, tak mau menatapnya. Aku masih sibuk mengeringkan rambut karena satu jam lagi harus berangkat bekerja. Mas Arga memutuskan untuk berangkat di jam yang sama, agar kami juga bisa pulang sama-sama. Tentunya agar kejadian semalam yang katanya ketiduran itu tidak terulang kembali.Kami memang bekerja di rumah makan yang sama. Rumah makan dengan 33 cabang yang tersebar di kota Jogjakarta. Hanya saja aku bekerja di bagian kasir, sedangkan Mas Arga menjadi SPV. Jam kerjanya sama, hanya jadwal sif yang sedikit berbeda. Aku dua sif dan seorang SPV ada jadwal tiga sif."Habis gajian besok aku udah ada janji sama Lilis.""Harusnya jangan libur barengan gitu, kasihan yang lain. Satu-satu aja, dong.""Udah sepakat, kok. Nanti kita juga gantian.""Tiga hari juga?""Lilis sehari, aku yang tiga hari.""Kalau gitu aku ambil jatah liburnya barengan kamu ajalah.""Ish. Kok, gitu?"
Tangan Mas Arga membelai pipi, seolah-olah memintaku untuk mendekat. Spontan aku memejamkan mata. Keringat dingin mulai bercucuran, apa yang akan Mas Arga lakukan?Aku menelan ludah dengan susah payah. Embusan napasnya yang hangat menyapu wajah. Aku ... tidak bisa menolak ketika jarak di antara kami benar-benar terkikis. Apakah itu tandanya, hatiku mulai menerima?"Mas, malu." Aku bergumam, sambil membuka mata. Tapi, gumaman itu hanya dianggap angin lalu oleh Mas Arga. Dia menarik tubuhnya sedikit. Lalu, kembali menatapku dengan lekat, seakan-akan sedang meminta persetujuan."Boleh?" tanyanya lirih.Aku diam sebentar, lalu mengangguk meski ragu. Bibir itu mulai mendekat, lalu akhirnya menempel lekat. Selama beberapa saat kami tenggelam. Rasanya seperti sedang melayang atas sesuatu yang memabukkan.Malam ini, kami benar-benar melebur dalam balutan kasih sebagai pasangan halal. ***Aku mengerjap. Matahari sudah meninggi, cahayanya masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Aku menggera
Aku celingukan. Lalu, melotot ketika melihat Lilis sedang bersembunyi di bawah meja kasir. Dia yang ngajak gibah, aku pula yang kena masalah.Mas Arga masih memasang wajah datar. Sementara aku mulai salah tingkah. Kenapa bisa tidak sadar kalau ternyata mobil Mas Arga terparkir di halaman, ya?"Gak usah bayar. Biar aku aja nanti yang bayar.""Ini suap? Biar gak kena hukuman, kan?""Enggak gitu. Lilis yang mulai."Aku menarik tangan Lilis agar dia keluar dari persembunyian."Maaf, Mas. Yura yang ngajak duluan," kata Lilis sambil meremas lenganku."Emang bukan salah kamu, tapi salah Yura. Tenang aja, dia yang akan dapet hukuman dari saya."Aku mengerucutkan bibir. Kena lagi, kan?Aku menghindar saat Mas Arga hendak mengacak rambutku lagi. Dia tertawa."Pinter, ya, sekarang," katanya."Jangan ngacak-acak rambut terus, males sisiran.""Rambutku aja yang diacak, Mas." Lilis menyahut. Aku menyenggol lengannya.Mas Arga hanya tersenyum, lalu berpamitan."Masya Allah ganteng banget jodoh orang
13"Ra."Aku mendongak. "Iya, Pak?""Di sini gak ada gula?"Aku menyemburkan tawa. "Ada, kok. Mau ditambahin?"Bapak menggeleng sambil terkekeh. "Jangan terlalu tegang begitu. Kayak lagi ngomong sama tukang kredit langganan Ibu saja."Kami terbahak bersama. Namun, senyumku langsung memudar ketika Bapak kembali bicara."Arga banyak berubah selepas putus dengan Aida. Sepertinya dia jadi banyak bicara sekarang.""Memangnya dulu enggak banyak bicara, Pak?"Aku mencoba mengingat saat Mas Arga sering mengantar Mbak Aida pulang. Aku yang tidak pernah peduli pada mereka atau memang saat berpacaran dengan Mbak Aida, Mas Arga itu tidak banyak bicara? Entahlah.Beliau hanya tersenyum kecil. "Masuk sore, ya? Bapak jadi kangen jemput kamu waktu pulang malam lagi."Kali ini aku benar-benar dibuat mellow. Ah, Bapak. Sepertinya baru kemarin kita berangkat kerja bersama. Aku yang selalu ketiduran saat menunggu jemputan dari Bapak. Lalu, akhirnya kita akan berhenti di pasar malam hanya agar aku tidak m
12"Mas Arga ngomong apaan, sih? Yang sakit siapa yang ngelantur siapa."Aku melewatinya. Lalu, kembali duduk dan meletakkan dagu di meja.Mas Arga mendekat, lantas melakukan hal yang sama."Ra, maaf. Semalam aku ngelakuin itu tanpa sepengetahuan kamu. Aku minta maaf." Wajahnya tidak bercanda."Mas, bohong, kan?"Dia menggeleng. Aku mulai panik, jangan-jangan obat yang aku minum semalam itu obat tidur? Jadi, aku sudah ternodai? Sudah tidak suci lagi?Namun, tiba-tiba saja Mas Arga menyemburkan tawa. Kencang sekali. Aku memutar bola mata dengan malas, lalu melempar celemek pada laki-laki mesum yang sedang memegangi perutnya itu."Wajah kamu lucu."Aku mencebik. Lucu katanya?Dasar otak mesum!Mas Arga kembali pada kompornya. Tangannya cukup lihai ketika mulai memasukkan bumbu di wajan. Aku mendekat, lalu melongok pada wajan di atas kompor."Lah, gak usah pakai daun jeruk, ah. Aku gak suka. Bumbuin bawang ama cabe aja udah!" protesku."Nasi goreng daun jeruk, kan, enak.""Gak enak, aneh
11Tubuhku bersentuhan dengan benda lembut. Aku membuka mata, lalu memejam kembali ketika harus melihat wajah Mas Arga, lagi dan lagi.Rupanya Mas Arga membaringkan tubuhku di kasur. Badanku rasanya seperti tak bertulang. Lemas dan pusing."Boleh, ya, Ra?" bisik Mas Arga.Aku menggulingkan tubuh. "Gak!""Puasa terooos!"Bibirku tertarik ke atas. Emang enak?!Aku bisa merasakan kalau Mas Arga ikut berbaring di belakangku. Tubuhku menegang ketika tangan Mas Arga melingkar di pinggang. Dia benar-benar memelukku dari belakang."Please, jangan marah. Sebentar aja, Ra," bisiknya. Anehnya, aku benar-benar tidak marah dan tidak bergerak. Hanya diam dan menikmati embusan napasnya yang hangat menjalar di punggung. Ada sensasi aneh yang terasa saat Mas Arga mengeratkan pelukannya.Jantungku berdebar kencang. Rasanya mirip banget kayak waktu disuruh Ibu menemui kang kredit lingerie. Ngeri-ngeri sedap."Unboxing, ya, Ra?"Aku menyikut perutnya hingga laki-laki itu tertawa dan menarik tangan yang
10.Aku kembali menunduk karena merasa tidak kenal dengan laki-laki yang celingukan di depan sana. Lilis menyenggol lengan, memberi isyarat agar aku menemui orang itu sebelum warung penuh."Samperin, gih. Bukan pengemis dia."Aku tertawa. Lalu, menghampiri laki-laki itu."Masnya siapa, ya?" tanyaku ketika menghampirinya."Ah, iya. Kenalin, nama saya Edo."Aku menjabat tangannya. "Ada keperluan apa, Mas Edo?""Ternyata kamu cantik banget, ya." Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum.Bau-bau buaya."Maksudnya apa, ya? Maaf banget, Mas, soalnya saya sibuk. Ini jam kerja." Intonasiku mulai meninggi."Eh, iya, astaga. Maaf. Aku ke sini karena disuruh sama Aida. Sore nanti, kamu disuruh ke rumah. Oh, iya. Aku temen kerjanya dulu, kebetulan tempat kerjaku deket-deket sini juga. Pulang jam tiga, kan? Nanti bisa bareng. Bye!" Dia melambai tanpa menunggu jawabanku.Meresahkan. Bukan Lilis namanya kalau tidak langsung menanyakan tentang siapa laki-laki tadi. Aku hanya menjawab sekenanya karen
Aku sengaja menunggu. Benar saja, Mas Arga pasti hanya menggoda, tapi dia sama sekali tidak berani menyentuhku. Jangan-jangan memang benar ucapan Lilis, bahwa sebenarnya Mas Arga ini pura-pura mau padahal aslinya hanya untuk menutupi malu. Ah, aku jadi penasaran.Aku membalikkan tubuh. Posisi Mas Arga masih seperti malam-malam biasanya. Terpejam dengan tangan yang diletakkan di atas kening. Pelan-pelan kupindahkan guling di antara kami dan mulai merapatkan tubuh."Dingin, ya, Mas." Meski gemetar, tapi tanganku akhirnya berhasil melingkar di atas perutnya. Ini namanya uji nyali!Bisa kurasakan kalau Mas Arga terkejut, karena setelah itu dia terlihat gugup. Sementara aku berusaha menahan tawa dengan sekuat tenaga."Katanya gak boleh pegang-pegang dulu." Tangannya memindahkan tanganku.Namun, aku kembali melingkarkan tangan dan merapatkan tubuh, memeluknya."Dingin," kataku. "Ah, elah. Bikin gagal ngantuk aja, Ra. Ya udah sini, kita saling menghangatkan."Aku gelagapan ketika Mas Arga