Vacate et scire artinya “Berdiamlah dan ketahuilah.” Saat mereka diam dalam hening, ternyata kebenaran memiliki cara untuk menang, siapa sangka akan ada petunjuk dari jam tangan yang ditemukan Miranda ☺️🫀
Ziel benar saat mengatakan bahwa jam tangan itu tak asing. Sebab saat Amaya menyebut nama pemiliknya, dan siapa orang yang telah membuatnya berakhir seperti ini, Kelvin mengenalnya.Bukan hanya mengenal ... mereka bahkan terlibat banyak peristiwa, dan barangkali itulah yang mendasarinya untuk orang itu melakukan semua ini."Aku akan atasi nanti," ucap Kelvin seraya mengusap puncak kepala Amaya setelah ia mengambil kursi dan menariknya agar bisa duduk di sebelah brankar sementara itu."Yang penting sekarang kamu di sini dulu," pinta Amaya. "Aku takut dia tiba-tiba datang dan—""Ssht!" Kelvin menggeleng, mencegah Amaya untuk tak mengatakan lebih banyak dari pada itu. "Dia nggak akan ke sini, dan akan aku pastikan dia pergi sejauh mungkin dari kamu setelah ini, Sayangku."Kelvin menunduk membiarkan Amaya memeluknya.Tak lama kemudian mereka berpindah dari ruang di IGD ke kamar rawat tempat Amaya akan berada di sini setidaknya untuk tiga hari ke depan—paling lama.Riana yang lebih dulu da
Kelvin tak sendirian, pria itu datang bersama dengan Ziel yang berdiri di sebelah kanannya, dengan beberapa orang mahasiswa serta petugas keamanan kampus dan polisi yang datang dari belakangnya. Seolah mereka semua menjadi saksi perbuatan yang dilakukannya ini."K-kalian mau apa?" tanya Calista terbata-bata. Ia tak bisa bergerak leluasa, ruang geraknya terbatas.Dirinya tertangkap basah!"Mau apa lagi emangnya? Ya lihat oknum dosen nggak baik yang baru aja dorong Amaya lah," jawab Kelvin dengan tenang meski kebencian tertera dengan sangat jelas dari sana."Aku nggak bikin Amaya jatuh dari lantai dua kok, kenapa kamu nuduh aku?!" seru Calista, suaranya melengking tinggi memecah keheningan malam yang harusnya terjadi di sekitar mereka.Calista tak tahu apa yang salah dengan yang dikatakannya karena setelah itu mereka yang berdiri di sana saling bergumam, sesuatu seperti ... "Udah ketahuan banget siapa pelakunya sekarang.""Kamu bilang apa?" balas Kelvin. "Kamu nggak dorong Amaya dari l
*** Beberapa saat sebelum kejadian. ****Amaya menoleh ke belakang saat mendengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Amaya."Maniknya menjumpai pemilik suara tak asing itu yang tak lain adalah Calista."Bu Calista?" balasnya. "Apa yang Anda lakukan di sini? Bukannya Anda sudah nggak boleh lagi berada di kampus ini ya?"Calista tampak merotasikan bola matanya dengan malas. Wanita itu bersedekap dan selangkah mendekat pada Amaya yang sebenarnya enggan berhadapan dengannya."Aku nggak boleh ada di kampus ini bukannya karena itu ulahmu?" tanya Calista balik. Kedua alisnya nyaris bersinggungan dengan penuh kebencian pada Amaya yang tak tahu duduk perkaranya."Apa maksud Bu Calista?""Kamu pikir aku nggak tahu kalau Abangmu datang ke sini sebelum aku di panggil sama dekan?""Apa hubungannya sama saya?" tanya Amaya balik. "Kak Gafi ke sini karena jadi tamu undangan di seminarnya mahasiswa teknik industri, nggak ada hubungannya sama saya.""Alaah ... itu 'kan cuma alasanmu," tepis Cali
Setelah peristiwa itu, kampus menerima banyak kritikan karena dianggap lalai dan meloloskan orang asing serta bermasalah memasuki kawasan yang harusnya aman untuk para mahasiswa.Teguran dari publik menyeruak penuh suara, sebagian pro dan tak jarang yang kontra.Dari sana, kampus mengeluarkan pernyataan bahwa mereka meminta maaf dan akan menjadi lebih baik lagi ke depannya. Termasuk dalam hal pengamanan dan lebih selektif memilih dosen sekalipun itu bukan dosen tetap.Amaya membaca beritanya di web kampus, di forum mahasiswa, bahkan saat ia meminjam ponsel milik Kelvin untuk melihat sosial media, ia menjumpai semua kabar beranda sepertinya banyak menyoroti akan hal itu.Namun, beritanya berlangsung panas selama beberapa hari saja, karena setelah redam ... Calista hanya dikenang sebagai seorang 'kriminal' yang hendak menghilangkan nyawa mahasiswanya sendiri.Sebuah gambaran bahwa seperti itulah wujud seseorang yang di dalam hatinya telah dipenuhi oleh obsesi, dan obsesinya adalah obses
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab
Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.” Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau
“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya. “B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! ngga
“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin
Setelah peristiwa itu, kampus menerima banyak kritikan karena dianggap lalai dan meloloskan orang asing serta bermasalah memasuki kawasan yang harusnya aman untuk para mahasiswa.Teguran dari publik menyeruak penuh suara, sebagian pro dan tak jarang yang kontra.Dari sana, kampus mengeluarkan pernyataan bahwa mereka meminta maaf dan akan menjadi lebih baik lagi ke depannya. Termasuk dalam hal pengamanan dan lebih selektif memilih dosen sekalipun itu bukan dosen tetap.Amaya membaca beritanya di web kampus, di forum mahasiswa, bahkan saat ia meminjam ponsel milik Kelvin untuk melihat sosial media, ia menjumpai semua kabar beranda sepertinya banyak menyoroti akan hal itu.Namun, beritanya berlangsung panas selama beberapa hari saja, karena setelah redam ... Calista hanya dikenang sebagai seorang 'kriminal' yang hendak menghilangkan nyawa mahasiswanya sendiri.Sebuah gambaran bahwa seperti itulah wujud seseorang yang di dalam hatinya telah dipenuhi oleh obsesi, dan obsesinya adalah obses
*** Beberapa saat sebelum kejadian. ****Amaya menoleh ke belakang saat mendengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Amaya."Maniknya menjumpai pemilik suara tak asing itu yang tak lain adalah Calista."Bu Calista?" balasnya. "Apa yang Anda lakukan di sini? Bukannya Anda sudah nggak boleh lagi berada di kampus ini ya?"Calista tampak merotasikan bola matanya dengan malas. Wanita itu bersedekap dan selangkah mendekat pada Amaya yang sebenarnya enggan berhadapan dengannya."Aku nggak boleh ada di kampus ini bukannya karena itu ulahmu?" tanya Calista balik. Kedua alisnya nyaris bersinggungan dengan penuh kebencian pada Amaya yang tak tahu duduk perkaranya."Apa maksud Bu Calista?""Kamu pikir aku nggak tahu kalau Abangmu datang ke sini sebelum aku di panggil sama dekan?""Apa hubungannya sama saya?" tanya Amaya balik. "Kak Gafi ke sini karena jadi tamu undangan di seminarnya mahasiswa teknik industri, nggak ada hubungannya sama saya.""Alaah ... itu 'kan cuma alasanmu," tepis Cali
Kelvin tak sendirian, pria itu datang bersama dengan Ziel yang berdiri di sebelah kanannya, dengan beberapa orang mahasiswa serta petugas keamanan kampus dan polisi yang datang dari belakangnya. Seolah mereka semua menjadi saksi perbuatan yang dilakukannya ini."K-kalian mau apa?" tanya Calista terbata-bata. Ia tak bisa bergerak leluasa, ruang geraknya terbatas.Dirinya tertangkap basah!"Mau apa lagi emangnya? Ya lihat oknum dosen nggak baik yang baru aja dorong Amaya lah," jawab Kelvin dengan tenang meski kebencian tertera dengan sangat jelas dari sana."Aku nggak bikin Amaya jatuh dari lantai dua kok, kenapa kamu nuduh aku?!" seru Calista, suaranya melengking tinggi memecah keheningan malam yang harusnya terjadi di sekitar mereka.Calista tak tahu apa yang salah dengan yang dikatakannya karena setelah itu mereka yang berdiri di sana saling bergumam, sesuatu seperti ... "Udah ketahuan banget siapa pelakunya sekarang.""Kamu bilang apa?" balas Kelvin. "Kamu nggak dorong Amaya dari l
Ziel benar saat mengatakan bahwa jam tangan itu tak asing. Sebab saat Amaya menyebut nama pemiliknya, dan siapa orang yang telah membuatnya berakhir seperti ini, Kelvin mengenalnya.Bukan hanya mengenal ... mereka bahkan terlibat banyak peristiwa, dan barangkali itulah yang mendasarinya untuk orang itu melakukan semua ini."Aku akan atasi nanti," ucap Kelvin seraya mengusap puncak kepala Amaya setelah ia mengambil kursi dan menariknya agar bisa duduk di sebelah brankar sementara itu."Yang penting sekarang kamu di sini dulu," pinta Amaya. "Aku takut dia tiba-tiba datang dan—""Ssht!" Kelvin menggeleng, mencegah Amaya untuk tak mengatakan lebih banyak dari pada itu. "Dia nggak akan ke sini, dan akan aku pastikan dia pergi sejauh mungkin dari kamu setelah ini, Sayangku."Kelvin menunduk membiarkan Amaya memeluknya.Tak lama kemudian mereka berpindah dari ruang di IGD ke kamar rawat tempat Amaya akan berada di sini setidaknya untuk tiga hari ke depan—paling lama.Riana yang lebih dulu da
"Ini bukan punyanya Amaya," kata Kelvin seraya mengangkat wajahnya, menatap Miranda dan Ziel bergantian."Barang punya Amaya udah dikasih ke saya pas kalian masih parkir tadi," lanjutnya seraya menunjuk pada plastik klip berisikan jam tangan milik Amaya, cincin dan kalung miliknya yang ada di samping tas selagi si empunya mendapat perawatan di dalam.Ungkapan itu membuat Miranda dan Ziel terangkat kedua alisnya secara bersamaan.Mereka mendekat dan menatap jam tangan yang ada di tangan Kelvin. Memastikan dengan mata mereka sendiri.Yang jika dilihat ... sepertinya itu memang 'terlalu tua' untuk selera Amaya yang cenderung feminim dan menyukai warna-warna pastel. "T-terus p-punya siapa?" tanya Miranda dengan gugup. "T-tadi saya nemuin itu di bawah tasnya Amaya, Pak Kelvin. Makanya saya kasih ke Bapak soalnya saya nggak lihat kalau Amaya tadi udah pakai jam tangan.""Kok kayaknya nggak asing ya?" sahut Ziel. Ia menunduk lalu menghela dalam napasnya. "Apa sebenarnya tadi Amaya jatuh dar
Kelvin mengetuk jari telunjuknya beberapa kali ke atas setir mobil dengan resah sebab Amaya tak kunjung datang seperti dugaannya."Kok lama?" batinnya.Ia bukannya tak sabar menunggu, tapi bukankah sebelumnya Amaya mengatakan akan segera tiba di parkiran?Ia hendak memeriksa ponselnya dan sekali lagi mengirim pesan pada Amaya sebelum jendela mobilnya diketuk oleh seseorang.Tadinya ... Kelvin berpikir bahwa itu adalah istri kecilnya. Tapi rupanya ia salah. Itu adalah salah seorang mahasiswanya.Kelvin menurunkan jendela mobil miliknya dan segera saja mahasiswa lelaki yang ada di luar—yang ia kenal bernama Roby—itu dengan ekspresi wajah yang sedikit ketakutan mengatakan apa maksudnya ia ke sini."Pak Kelvin, Amaya jatuh dari lantai dua. Bapak bisa ke sana sekarang?"Sejenak ... waktu seolah berhenti.Detiknya membeku.Dengung asing memenuhi indera pendengarannya hingga ia sadar harus bertindak."Di lantai dua mana?" tanyanya dengan suara yang gemetar, beringsut pergi meninggalkan kursi
Amaya sejenak tercenung mendengar apa yang dikatakan oleh Miranda.Terdengar sangat tulus, seperti ia telah memulai kembali dirinya dari nol.Kalimatnya sederhana tetapi membuat Amaya terenyuh saat ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pendosa."Nggak, cuma Tuhan yang berhak menilai apakah kita ini pendosa atau bukan," ucap Amaya akhirnya. Ia menyambut tangan Miranda, menerima amplop putih darinya itu seraya mengangguk, "Akan aku baca nanti, Mir," lanjutnya. "Thanks udah bawain.""Aku udah bilang ke dia biar sebaiknya dia ngomong langsung ke kamu," tanggap Miranda. "Soal apa yang udah kita lakuin ke kamu, biar dia minta maaf secara langsung. Tapi dia nggak mau, dia bilang dia udah nggak punya muka buat ngelakuin hal itu. Jadi dia bikin surat itu, May.""It's okay.""Kami salah. Dan kami nggak akan memungkiri itu, tapi karena itu kami jadi belajar kalau jadi orang dewasa itu sulit," tutur Miranda. "Kami jadi dapat pelajarannya, kami punya waktu buat merenung, mengasingkan diri da
Amaya melarikan diri sesegera mungkin dari sana, mengabaikan panggilan Kelvin atau ucapannya yang memintanya untuk hati-hati.Ia tiba di teras ruangan lain dan berhenti, menghentakkan kakinya sebanyak beberapa kali untuk meredam rasa malu yang menghampirinya akibat apa yang ia lakukan sebelumnya diungkit oleh Arsha.Yang jelas bukan hanya temannya Kelvin itu saja yang tahu, tapi semua rekan dosennya mengingat Amaya duduk di pangkuan Kelvin saat prianya itu melakukan zoom meeting."Rasanya beneran mau menghilang aja dari bumi ini sekarang," gumamnya seraya mengipasi wajahnya yang terasa panas.Pembicaraan soal dirinya dan Kelvin telah mendapatkan topik baru. Kali ini tentang betapa bucin suaminya itu, yang tak sengaja tertangkap mata para mahasiswa lewat wallpaper laptop dan folder 'MY LOVE' yang dipertontonkan olehnya di depan semua orang."Eh ada My Love lewat," ucap salah seorang mahasiswa yang tadi hadir di kelas yang sama dengan Amaya, yang disambut oleh beberapa mahasiswa lain s
'Apa tadi yang mau dibilang Kelvin itu kalau dia mau gantiin Bu Sonya sementara waktu?' batin Amaya saat ia menatap ke depan dengan bibir yang terbuka tanpa kata. Sementara teman-temannya yang duduk di sekitar, di belakang, di sampingnya mulai mendadak batuk tanpa alasan. "Uhukk—" "Uhuk—duh serak amat." Saling bersahutan penuh dengan godaan. "Emang kalau jodoh tuh nggak ada yang tahu," celetuk Randy, mengetuk meja Amaya beberapa kali yang dengan segera ia pukul punggung tangan temannya itu. "Dikira semester lima udah nggak barengan tapi tetep aja ketemu akhirnya," sahut suara lain yang datang dari belakang Amaya. Matanya sesaat terpejam, pena yang ada di tangannya ia remas dengan erat. Ia menunduk sebelum mencuri pandang pada Kelvin yang hanya tersenyum di balik meja. Pria itu meletakkan ransel miliknya di atas meja sebelum beranjak pergi dari sana dan berdiri—seperti menjadi kebiasaannya—kala berujar, "Mari kita mulai pertemuan kita pada pagi hari dengan berdoa menurut agama