maaf telatttt .... yang 1 bab lagi menyusul yah ....
"Kalau kak Gafi sama Kak Rena kepingin, kalian juga bisa jadi vacum cleaner yang saling sedot loh," balas Amaya atas ucapan kakak lelakinya. Kedua pipinya menggembung kesal sebelum menunjuk dengan jarinya, "Kalau bukan anaknya yang ngerusak momen, ya bapaknya! Terus aja gitu kalian sampai Wonderland jualan ubur-ubur transparan!"Riana yang tertawa lebih dulu, disusul Kelvin yang memandang Amaya tanpa berpaling. Suka jika istrinya itu sudah saling ejek dengan si Abang.Sementara yang dibalas tampak tidak terima dan mengarahkan tangannya ke depan, mencubit hidung Amaya."Udah pinter sekarang ngocehnya ya ... banyak banget kosa katanya. Ketularan siapa sih?!"Sudut matanya mengarah pada Kelvin yang kemudian berdeham."Aku, ketularan aku," jawabnya sebagai sebuah pengakuan. "Tapi selain itu emang Amaya udah ada bakat sih ....""Ya udah, pantes jodoh, sama soalnya!" timpal Gafi kembali.Amaya meraih tangan Kelvin agar selangkah mendekat padanya—setelah mengusap hidungnya yang terasa panas
Waktu liburan di Kanada sudah hampir habis. Meski Amaya tak akan secepat itu untuk kembali ke kampus, tapi mereka tetap harus lebih dulu kembali ke Jakarta. Pagi ini, saat ia keluar dari kamarnya, kepalanya terasa pusing. Bukan hanya kepalanya yang bermasalah, tapi perutnya juga. Ia memanggil Kelvin yang tak dijumpainya di atas ranjang sejak membuka mata. Seperti biasa, prianya itu sering kali lebih dulu bangun dan membuatkan Amaya sarapan. Hampir sebagian besar sarapan yang dinikmati oleh Amaya selama mereka di Kanada adalah hasil karya Kelvin. Langkahnya terseret saat ia menuju ke ruang makan. Seperti dugaannya, prianya itu ada di sana, berdiri dan meletakkan dua piring spaghetti bolognese yang asapnya masih mengepul. "Selamat pagi," sapa Kelvin seraya menoleh pada Amaya. Senyumnya mendadak hilang saat manik mereka berjumpa. "Kenapa?" tanya Kelvin seraya melepas apron hitam yang melilit pinggangnya sebelum ia meletakkannya di atas meja. Kaki panjangnya menghabisi jarak dan
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab
Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.” Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau
“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya. “B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! ngga
“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin
“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu. “Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—m
“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s
Waktu liburan di Kanada sudah hampir habis. Meski Amaya tak akan secepat itu untuk kembali ke kampus, tapi mereka tetap harus lebih dulu kembali ke Jakarta. Pagi ini, saat ia keluar dari kamarnya, kepalanya terasa pusing. Bukan hanya kepalanya yang bermasalah, tapi perutnya juga. Ia memanggil Kelvin yang tak dijumpainya di atas ranjang sejak membuka mata. Seperti biasa, prianya itu sering kali lebih dulu bangun dan membuatkan Amaya sarapan. Hampir sebagian besar sarapan yang dinikmati oleh Amaya selama mereka di Kanada adalah hasil karya Kelvin. Langkahnya terseret saat ia menuju ke ruang makan. Seperti dugaannya, prianya itu ada di sana, berdiri dan meletakkan dua piring spaghetti bolognese yang asapnya masih mengepul. "Selamat pagi," sapa Kelvin seraya menoleh pada Amaya. Senyumnya mendadak hilang saat manik mereka berjumpa. "Kenapa?" tanya Kelvin seraya melepas apron hitam yang melilit pinggangnya sebelum ia meletakkannya di atas meja. Kaki panjangnya menghabisi jarak dan
"Kalau kak Gafi sama Kak Rena kepingin, kalian juga bisa jadi vacum cleaner yang saling sedot loh," balas Amaya atas ucapan kakak lelakinya. Kedua pipinya menggembung kesal sebelum menunjuk dengan jarinya, "Kalau bukan anaknya yang ngerusak momen, ya bapaknya! Terus aja gitu kalian sampai Wonderland jualan ubur-ubur transparan!"Riana yang tertawa lebih dulu, disusul Kelvin yang memandang Amaya tanpa berpaling. Suka jika istrinya itu sudah saling ejek dengan si Abang.Sementara yang dibalas tampak tidak terima dan mengarahkan tangannya ke depan, mencubit hidung Amaya."Udah pinter sekarang ngocehnya ya ... banyak banget kosa katanya. Ketularan siapa sih?!"Sudut matanya mengarah pada Kelvin yang kemudian berdeham."Aku, ketularan aku," jawabnya sebagai sebuah pengakuan. "Tapi selain itu emang Amaya udah ada bakat sih ....""Ya udah, pantes jodoh, sama soalnya!" timpal Gafi kembali.Amaya meraih tangan Kelvin agar selangkah mendekat padanya—setelah mengusap hidungnya yang terasa panas
Kelvin selalu menepati janjinya pada Amaya, tentang apapun itu. Amaya meminta agar mereka kembali ke Wonderland pada malam pergantian tahun, tanggal tiga puluh satu Desember agar mereka bisa melihat kembang api dalam menyambut tahun baru? Pria itu pun menepatinya. Mereka tiba lebih awal di sini, Wonderland, tempat di mana tak hanya mereka berdua saja yang datang, tapi juga keluarga mereka—dan ratusan atau bahkan ribuan orang lain untuk menyambut tahun baru. Sudah banyak hari yang mereka habiskan untuk menjelajahi Quebec, kembali ke tempat ski, hingga makan di restoran yang pernah Amaya katakan. Pada setiap penghujung hari itu, Amaya selalu mengatakan pada Kelvin, ia tak lupa 'kan untuk pergi melihat kembang api? Amaya rasa ... Kelvin tak pernah bosan dengan tanya-tanya yang ia sampaikan. Pria itu selalu penuh kesabaran saat menjawab, 'Ingat, Sayangku ....' Karena dia memang benar-benar ingat! Di sinilah mereka malam ini. Udaranya jauh lebih dingin ketimbang malam yang pernah me
Tak ada yang salah dengan yang dikatakan oleh Amaya. Dulu Kelvin mendengar istrinya itu sempat menyebutnya 'bapak-bapak' karena memang dirinya adalah bapak-bapak—yang jika dibandingkan dengan Amaya umur mereka memang terpaut jauh. Sekarang, saat istrinya itu menyebut bahwa Calista adalah 'bude-bude', Kelvin tak bisa menyalahkannya. Usia Calista pasti hampir sama dengan Kelvin, jika Kelvin saja dipanggil oleh Amaya dengan 'bapak-bapak' bukankah Calista juga benar jika dijuluki 'ibu-ibu'—ibu gede, yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi 'bude'? "Aku jadi nggak sabar mau ketemu sama dia," kata Amaya yang kemudian membuat Kelvin terjaga dari kediaman sesaatnya. "Kamu mau ketemu sama dia, Sayang?" tanya Kelvin memperjelas. "Mau ketemu dalam artian mau lihat apa yang akan dia lakuin," jawab Amaya. "Kalau dia sangat lantang dengan terus deketin Mas Vin padahal udah diblokir segala macam, bukannya ada kemungkinan dia juga masih akan cari cara buat deket sama kamu juga di dunia nyata?
Saat Amaya berjalan meninggalkan kamar pada pagi hari ini, ia bisa menghidu bau wangi sesuatu yang dipanggang. Sepertinya itu roti manis. Siapa yang membuatnya? Apa ada Riana di rumah ini? Atau Liana, tantenya dari rumah sebelah datang dan membuat kue di sini? Kue manis apa yang sudah dipanggang sepagi ini? Banyak pertanyaan yang ada di dalam kepalanya hingga ia tiba di ruang makan dan melihat seorang pria yang berjalan dari arah dapur. Kedua tangan pria itu tengah mengenakan sarung tangan tebal yang biasa digunakan saat mengambil loyang panas dari dalam oven. Senyumnya tampak manis seperti wangi kue di loyang yang ia bawa mendekat pada Amaya. Kelvin. Lesung pipinya menyambut Amaya saat ia menyapa lebih dulu dirinya yang terpaku di samping meja makan. "Selamat pagi," ucapnya kemudian meletakkan piring ke atas meja. Ia melepas sarung tangan tebal itu, mengikis jarak dan menundukkan kepala untuk mencium bibir Amaya. "Selamat pagi," balasnya. "A-apa itu?" Amaya menunjuk mel
Setelah pulang larut malam dari Winterfest, Amaya menatap Kelvin yang tengah berada di samping kirinya. Sebelah lengan kekar prianya itu tengah melingkar merangkulnya. Mereka berbaring di atas ranjang dan mengatur napas setelah menghabiskan hampir satu jam yang panas. Setelah hampir membeku di Wonderland, bukankah mereka membutuhkan sesuatu untuk membuat tubuh mereka kembali hangat? "Kenapa?" tanya Kelvin dengan lembut, menunduk membalas tatapan Amaya setelah nyawanya terkumpul secara sempurna. "Nggak apa-apa," jawab Amaya. "Cuma lihatin Mas Vin aja, soalnya juga sama nggak ngomong dari tadi, 'kan?" "Nggak ngomong karena masih ngumpulin nyawa, Sayang," ucapnya dengan seulas senyum. "Kamu nggak tahu mungkin rasa enaknya pas—" Kelvin berhenti bicara, ia berdeham sebelum melanjutkan dengan, "Kamu tahu sendiri lah, aku nggak perlu jelasin, 'kan apa maksudnya? Apalagi sama istri yang cantik dan seksi kayak kamu." Kelvin menunduk, dari gerakannya yang memindai mata Amaya dan jatuh
[@kelvinindra__ 'My snow angel, the most beautiful princess in Wonderland. This place suits my baby so well.'] Kalimat manis itu dapat dibaca oleh Calista saat ia memandang layar ponselnya yang tengah menyala. Postingan itu diunggah oleh Kelvin dengan hanya menampilkan potret belakang seseorang, atau lebih tepatnya seorang perempuan berambut panjang dengan long coat warna putih. Dari foto yang diunggahnya, Calista bisa memprediksi bahwa itu diambil Kelvin dengan berdiri di belakang si perempuan, lalu memotret diam-diam saat kembang api meledak di udara. Dari belakang saja Calista pikir perempuan di foto itu sudah terlihat sangat cantik, ditambah dengan pemandangan bangunan berbentuk kastil dan salju tipis yang turun di sekitarnya ... bukankah bisa dipastikan Kelvin sedang jatuh cinta? "Ini Amaya, 'kan?" tanya Calista seorang diri. Ia yang tengah berada di dalam kamarnya duduk dengan sedikit gusar, menelan ludah saat hatinya terasa sakit dengan hanya membayangkan Kelvin sedang ber
Kelvin dengan segera mengikuti ke mana Amaya berlari. Seperti yang baru saja ia katakan, rupanya benar bahwa Arsen juga ada di sana. Ia bersama dengan Riana yang membelikannya balon, tapi pilihannya bukan yang panda. Melainkan yang bergambar kucing. "Kalian mau ke mana?" tanya Kelvin yang berlari mengikuti bocah kecil bernama Arsen yang sudah menarik Amaya entah akan ke mana itu. "Astaga ...." Jika sudah begini artinya Kelvin yang akan dibuat kewalahan. Hilang sudah momen manis yang tadi mereka bangun setelah Amaya berbagi sel otak yang sama dengan Arsen. Pemandangan di mana Kelvin mengejar Amaya itu dapat disaksikan oleh Gafi yang duduk di bangku, di bawah lampu taman yang cantik di Wonderland. Ia duduk bersama dengan Rajendra yang mengeluh sepertinya ia nanti akan kerokan setelah kembali ke hotel. Selagi Serena bersama dengan Riana, mengikuti Arsen dan Amaya, ia lebih memilih duduk di sini. Selain karena ada penghangat di dekatnya, alasan lain adalah karena ada kanopi berbe
Amaya membeku di tempat ia berdiri. Pupil matanya bergerak gugup memandang Kelvin yang masih menunjukkan senyumnya. Salah satu alis lebat prianya itu terangkat, menunggu jawaban Amaya atas ‘Maukah kamu berdansa denganku, My Princess’ yang ia katakan. Sepertinya bukan hanya Kelvin yang menunggu Amaya. Beberapa pengunjung—yang sebagian besar—memilih untuk berhenti dan melihat apa yang mereka lakukan. Jawaban apa yang akan diberikan oleh Amaya atas ajakan itu. Tapi ... Amaya tak bisa berdansa. Dansa yang ia lakukan itu hanya dalam khayalan saja, saat ia menonton drama atau drama musical. ‘Nanti aku akan kasih tahu Kelvin,’ batinnya. Ia tak mungkin membuat Kelvin selamanya menunggu sehingga ia menyambut uluran tangan itu. Tepuk tangan terdengar riuh di sekitarnya saat Amaya melakukan itu. Kelvin merengkuh pinggangnya dan membawanya untuk bergerak. Amaya hanya mengimbangi sebisanya, ia melirik orang-orang yang ada di sekitarnya yang kembali berdansa sehingga ia menggunakan k