haaaai yang 1 bab lagi menyusul yah xixixix... baca dulu RAHASIA HATI: TERPERANGKAP MENJADI ISTRI KEDUA CEO DINGIN ☺️ terima kasih akak....
Sudah saatnya kembali ke kesibukan kampus, Amaya sebagai mahasiswa dan Kelvin sebagai dosen. Tapi mungkin ada yang sedikit membedakannya mulai semester ini. Kelvin tak lagi menjadi dosen mata kuliah Amaya, melainkan dosen yang lain. Tak apa ... mereka juga masih bisa bertemu di kampus, mereka bahkan menghabiskan banyak waktu di rumah juga, bukan? Pagi ini di dalam ruang ganti—Kelvin seringnya menyebut begitu sehingga Amaya turut mengatakannya demikian padahal anak-anak muda sekarang akan menyebutnya sebagai walk in closet—Amaya sudah selesai bersiap. Ia dengan dress di bawah lutut yang ia kenakan, ia pilih yang warnanya broken white, baju yang dibelikan oleh Kelvin saat mereka berbulan madu di Kanada. Jika biasanya Amaya akan menyiapkan setelan jas lengkap untuk Kelvin pergi ke Rajs Holdings sebagai kepala konsultan, pagi ini Amaya menyiapkan yang tak terlalu formal untuk suaminya itu pergi ke kampus. Kelvin ia pilihkan jas broken white dengan kemeja putih. Tapi setelah ia siapk
"Sekalipun kita nggak satu fakultas, tapi sepertinya saya akan sering ke sini karena saya ada kenalan di fakultas ini," kata Calista. "Saya duluan, have a good day." Amaya melihat wanita itu berjalan melewatinya, membuat Amaya dan teman-temannya yang mengikuti pandang ke mana perginya Calista pun dibuat bingung. Wanita itu lambat laun menjauh, suara kakinya yang terbalut oleh stiletto tak lagi terdengar sementara Amaya mendengus dengan kesal. 'Astaga,' batinnya. 'Siapa kenalan yang dia maksudkan di fakultas ini? Arsha? Kelvin?' "Siapa, May?" tanya Alin yang datang dari samping kanan Amaya. "Sepupunya Bu Kaluna." "Siapa Bu Kaluna ?" "Istrinya Pak Arsha," jawab Amaya. "Kalian kenal?" Naira ikut penasaran. "Kenal sebatas kenal aja, Namanya Bu Calista. Aku nggak suka sama sikapnya yang agak lain." "Bukannya udah kelihatan ya?" tanya Randy. "Sorry—maksudku bukan bermaksud nggak sopan dan mau ngatain dosen baru. Tapi ... bajunya itu agak ... sedikit terbuka." "Emangnya
Amaya tak menjawab permintaan bergabung dari Calista. Tangannya yang ada di bawah meja tiba di atas paha Kelvin, memberinya sedikit remasan, sebuah isyarat ia tak setuju jika wanita itu turut duduk bersama dengan mereka. "Di sebelah Pak Kelvin ada kursi yang kosong tuh satu," tunjuk Calista sekilas. "Saya gabung ya?" Calista hampir beranjak tetapi hal itu urung ia lakukan sebab Randy tiba-tiba saja berdiri dan menjawab, "Maaf, Bu ... tapi ini udah ada yang nempatin," ucapnya. "Siapa?" Randy memandang ke arah kanan dan menunjuk pada seorang pemuda yang mengenakan hoodie warna putih tengah membawa nampan berisi makanan miliknya, Ziel. "Itu anaknya udah datang," kata Randy. "Dia kakinya agak pincang gara-gara ditabrak becak kemarin, maaf ya, Bu ... saya yang nyimpan tempat buatnya tadi—BANG ZIEL!" seru Randy seraya melambaikan tangannya pada Ziel. Yang dipanggil tampak bingung. Ia berhenti dan mengangkat kedua alisnya. Sepasang matanya memindai Randy dan semua orang yang duduk di m
Setelah pertemuan dengan dosen berakhir, Amaya berjalan keluar bersama dengan Alin yang dengan bingung bertanya, "Jadi mulai semester lima ini dosen ekonometrikanya bukan Pak Kelvin?" Amaya mengangguk menjawabnya, "Iya." "Kamu udah dikasih tahu sama Pak suami ya?" "Jangan nyebut begitu kalau di kampus ah!" "Iya, maaf ...." Alin merangkul bahunya sebelum tangan lain menyela di tengah-tengah mereka, seolah tak ingin ketinggalan kegiatan berpelukan itu, Naira. "Mau beli es kopi nggak?" tanyanya. "Ada varian yang baru launching, dari namanya sih kelihatannya enak." "Emang apa namanya?" tanya Amaya lebih dulu. "Leci Latte." Amaya dan Alin sama-sama mengangguk. "Boleh," jawab mereka hampir bersamaan. Dan tiba-tiba Randy yang datang dari belakang mereka berlari lebih dulu seraya berseru, "Yang paling akhir sampai di kafe pacarnya si Boneng!" "RANDY!" panggil Alin yang berlari mengikutinya. "Curang!" Naira pun turut berlari meninggalkan Amaya yang tak siap dengan pernyataan tiba-
"IBU-IBU? BHAHAHAK!" Suara beberapa orang yang duduk di kursi pada sudut diagonal dari Amaya berada tampak tak bisa menahan tawanya begitu mendengar ia menyebut Calista dan 'gengnya' itu sebagai 'IBU-IBU'. "Emang boleh se-ibu-ibu itu?" "Tapi emang bener nggak sih? Mereka dari tadi keroyokan nyerang si cewek yang dikatain bocil tapi malah maju solo itu loh!" "Dikira cupu ternyata suhu." Suara pengunjung kafe Amore saling bersahutan di mana sebagian besarnya memberi dukungan untuk Amaya yang masih tak berpaling menatap Calista, si rok merah, si rambut pendek dan si baju hijau yang tak ia ketahui namanya itu. Mereka berempat tampak bergerak gugup mendengar tanya yang baru saja terlontar dari bibirnya. Hal yang berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh teman tiga serangkai Amaya yang bergerak saling sikut karena mereka menahan tawa. Mungkin karena mereka sungkan pada Calista yang merupakan dosen baru di kampus sehingga tak meloloskan tawa keras seperti pengunjung di sudut kafe
Calista terlihat akan meraih tangan Kelvin tetapi hal itu gagal sebab Kelvin dengan cepat menarik tangannya ke belakang. Ia sembunyikan di belakang punggungnya seraya bertanya, "Kenapa kamu mau pegang aku, Lis?" Calista berdiri kikuk, gerakan itu seperti terjadi di luar kendalinya. Seolah ia digerakkan oleh alam bawah sadarnya, bahwa seperti itulah yang sejak tadi ia pikirkan saat memandang Kelvin. Penolakan itu membuatnya berdeham dan masih dengan senyum yang sama menjawab, "Maaf, aku pikir kita akan jadi dekat karena kita rekan kerja. Tapi—" Calista memandang sekali lagi pada Amaya yang menatapnya dengan sangat enggan. Kesal karena di depan matanya wanita itu dengan pandainya memutar balikkan fakta. Apa tadi ia bilang? Amaya yang bersikap tak sopan? Selain—Amaya rasa—ia tak punya malu, Bude Calista ini juga pintar bicara. Pendongeng yang handal! "Tapi aku serius soal Amaya yang bersikap kurang sopan tadi." Kelvin menghela napasnya sebelum menoleh pada Amaya yang berdiri di
Ah—kenapa Amaya tak menyadari itu? Kelvin tengah mengenakan kemeja hitam lengan panjangnya, sebuah tampilan yang sekiranya terlalu formal untuk seseorang yang berada di dalam kamar. Pada jam seperti ini, biasanya Kelvin sudah mengenakan piyama tidurnya atau kaos berkerah yang lebih nyaman alih-alih sebuah kemeja lengan panjang. Tapi karena Amaya suka melihat prianya itu dalam balutan kemeja, maka ia membiarkannya saja. Dan rupanya rasa terpesonanya itu membuatnya tak memperhatikan sekitar sehingga ia dengan nyamannya duduk di pangkuan Kelvin, menjatuhkan kepalanya dengan manja di bahunya yang bidang dan meminta agar ia dipeluk karena moodnya buruk. Tak ada yang salah dengan hal itu sebenarnya, tapi itu telah menjadi konsumsi para rekan dosen Kelvin yang sedang bergabung dalam zoom meeting. Menyadari itu, Amaya segera pergi dari pangkuan Kelvin. Ia pergi dari sana dengan gegas, berlari meninggalkan walk in closet sementara Kelvin yang masih duduk di mejanya mengatakan, "Maaf tem
“Mau nggak?” tanya Kelvin dengan mendekatkan wajahnya pada wajah Amaya yang memerah dan panik. “A-apa?” tanya Amaya balik, memilih untuk mengulur waktu agar debar jantungnya yang membuncah ini tak didengar oleh Kelvin. Agar lebih tenang sebelum malam menjadi saksi bagaimana keheningan di sekitar mereka akan terkoyak. “Kamu tahu, Sayang,” jawab Kelvin. Ia tersenyum saat memindah tangannya yang semula menggenggam pergelangan kecil Amaya pada dagunya. Meraihnya dengan lembut, menunduk dan memberinya kecupan di sana. “Kalau kamu nggak mau kita tidur aja, aku nggak akan maksa.” Kelvin memejamkan matanya karena Amaya tak kunjung menjawab. Tapi baru sepuluh detik hal itu ia lakukan, suara Amaya kembali terdengar. “Lampunya belum dimatiin,” katanya, sehingga Kelvin membuka kembali matanya. “Kamu mau aku yang matikan?” “Aku juga nggak apa-apa, tapi lepasin dulu pelukannya.” Kelvin memberinya anggukan samar. Tangannya yang memeluk Amaya ia lepaskan sehingga istri kecilnya itu beranjak
Amaya membiarkan tiga sahabatnya itu memeluknya secara bersamaan. Isak tangis Alin dan Naira sebab rindu terdengar sementara Randy tak bersuara. Tapi saat mereka saling melepaskan, Amaya bisa melihat sepasang matanya yang memerah. “Kangen banget,” kata Alin menyusul ucapan dari Naira yang menyebutkan bahwa ini sudah bulan ke enam mereka tak saling berjumpa. “Aku tanya ke Pak Gafi di kantor apa beliau nggak akan datang ke sini,” kata Randy. “Kalau mau pergi, aku bilang saya sama dua teman saya mau barengan. Dan ternyata beliau malah minta kami cuti biar hari ini bisa datang.” “Serius?” tanya Amaya, menoleh ada Gafi yang tersenyum sementara ketiga temannya itu mengangguk membenarkannya. Perlu diketahui, Alin dan Naira bekerja di Rajs Holdings—perusahaan milik keluarganya Kelvin. Keduanya menjadi tax accountant, dengan Alin yang belakangan ia dengar sedang dipromosikan untuk naik jabatan sementara Naira menjadi ketua tim. Randy ada di Hariz Corp, posisinya sudah lumayan tinggi. Ota
Amaya hendak melangkah menjauh setelah mengatakan itu, tapi ia tak bisa pergi begitu saja sebab Kelvin merengkuh pinggangnya agar mereka berdiri seperti sebelumnya. Prianya itu menunduk, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Amaya." Kecupan sekali lagi jatuh di bibirnya. Senyum merekah saat mereka kemudian menoleh pada Amora yang menangis dan memanggil, "Mama ...." Bocah kecil itu tengah terduduk di atas rerumputan, tengah dibantu oleh si Abang agar bangun. "Nggak apa-apa, Adek ... ayo bangun," kata Keegan lalu mengusap lutut Amora sebelum merdeka menoleh pada Amaya yang bertanya, "Kenapa, Sayang-sayangnya, Mama?" "Amora jatuh, Mama," jawab Keegan. "Nggak apa-apa, 'kan? Udah ditolong Kakak?" Amora mengangguk meski bibirnya masih tertekuk dan pucuk hidungnya yang memerah. "Kalau begitu bisa berhenti sebentar lari-lariannya?" pinta Amaya yang disambut anggukan oleh si kembar. "Bisa." Maka setelah itu Amaya melihat Keegan dan Amora yang berjalan bergandengan tangan, di atas jogging tr
Vancouver, Canada. Tiga tahun kemudian. .... Amaya menggandeng tangan kecil masing-masing di sebelah kiri dan kanannya saat berjalan keluar dari mobil yang ia berhentikan di tepi jalan. Mereka tengah menunggu seseorang keluar dari pintu gerbang itu untuk berjumpa dengannya. "PAPA!" seru suara manis bocah kecil di sebelah kanan dan kiri Amaya secara bersamaan. Mereka melambaikan tangannya pada pria dengan coat panjang warna hitam yang berlari keluar dari pintu gerbang. Kelvin. Pria itu adalah Kelvin. "TWINS!" balas Kelvin tak mau kalah antusiasnya. Ia berlutut seraya merentangkan kedua tangannya, sehingga Amaya melepas 'twins' yang baru saja dikatakan oleh Kelvin itu dan mereka memeluknya. Dua bocah kecil itu adalah Keegan dan Amora, anak kembarnya yang telah lahir dan tumbuh menjadi kembar sepasang yang tampan dan cantik. Keegan Yezekail dan Amora Amarilly, tentu dengan nama keluarga Amaya dan Kelvin di belakangnya, Hariz-Asgartama. Janin kembar yang hari itu
Meski disembunyikan, atau sebesar apa usaha Amaya dan Kelvin menutupi tentang resepsi pernikahan mereka, tapi tetap saja fotonya bocor! Tak hanya resepsi pada pagi hari saja, tapi juga resepsi yang diselenggarakan pada malam hari. Semesta seperti ingin berbagi kebahagiaan itu pada semua orang. Foto-foto mereka yang manis menghiasi forum mahasiswa selama beberapa hari, dari Sabtu, Minggu hingga Senin pagi hari ini. Seseorang menghela dalam napasnya kala ia menggulir layar ponselnya, foto Kelvin yang tampak meneteskan air mata seperti baru saja membuatnya memberikan sebuah pengakuan bahwa pria itu mencintai Amaya sangat besar. Ziel, pemuda itu adalah Ziel, yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lapangan futsal di kampus. Seorang diri, sebelum sebuah suara datang dari samping kanannya dan ikut duduk di sana. "Bang Ziel," sapanya. Wajahnya muncul dan membuat Ziel sekilas melambaikan tangan padanya. "Ya, Randy. Aku pikir nggak masuk kamu tadi," balasnya. "Ngapain nggak masu
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba. Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin. Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia. Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh. Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’ Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang. Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari m
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya. Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja. “Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya. “Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya. “Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur. Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya. Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat. "Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini. "Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh. Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebe
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi