satu lagi meluncur dalam lima menit 🤗🤗🤗
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa. Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya. Carl Fredricksen ia bilang? Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP. Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat. Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana. Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya. "Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya. Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya. "Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!" "Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," la
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah! “Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua. “Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.” “Oh—“ “Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!” Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—“ “Berani kamu godain Mama hah?” “Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang. “Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga s
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.” Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha. Hening kembali menghampiri, senja di luar yang menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil. “Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?” Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....” Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirny
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?' Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak. Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya. 'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?' Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin? Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi. Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo." Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung haru
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum. "Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?" Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi. "Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan. Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma
Nasib dua ratus tusuk telur gulung itu berakhir dengan dibagikan kepada orang-orang yang siang itu ada di Ruang Terbuka Hijau tempat di mana Amaya dan Kelvin berhenti. Tapi tentu saja tidak habis semuanya, orang-orang hanya mengambil seperlunya—tiga hingga lima tusuk saja. Sehingga makanan itu mereka putuskan agar berpindah tangan dan berhenti di rumah orang tua Kelvin serta di rumah Gafi. Arsen yang paling senang saat mendapatkan jajan itu dari keduanya. Amaya juga masih memakannya setelah mereka sampai di rumah. Bersama dengan Kelvin, mereka duduk di ruang makan, mendesis pedas oleh sambal buatan Bi Mara—yang juga diminta Amaya untuk membantu menghabiskan telur gulungnya. 'Kapok deh, nggak bakal jajan tanpa tanya harga dulu,' batin Amaya seraya keluar dari kamarnya. Ia mengusap perutnya yang rasanya terlalu kenyang, terisi telur gulung. Ia merapikan rambutnya dan mencangklong tas miliknya. Ada agenda yang harus ia lakukan di luar. Ia bersama dengan Alin dan Naira a
Ini bukan karena Kelvin ingin menunjukkan pada semua rekan dosennya semanis apa hubungan mereka jika di rumah—hal yang jelas tidak bisa dijumpai oleh mereka selama di kampus karena mereka lebih sering menjaga jarak sekali pun semua orang tahu hubungan seperti apa yang mereka miliki. Memang seperti inilah sikap Kelvin pada Amaya. Ia selalu mengatakan ‘I love you’ setiap Amaya pergi atau berpamitan ke rumah teman-temannya. Kelvin selalu mengatakan ‘Hati-hati di jalan’ yang disertai dengan kecupan di keningnya. Sebenarnya di bibir juga, tapi sepertinya ia lebih memilih untuk mengurungkan itu hari ini. Semua yang ia lakukan itu adalah hal yang terbiasa diterima oleh Amaya. Namun, siang menuju sore ini rasanya lain, lebih mendebarkan dan membuat Amaya kikuk. Alasannya jelas, karena ada yang melihat. “I-I love you more, and more, and more,” jawab Amaya akhirnya. Ia melambaikan tangannya pada Kelvin sebelum berlari pergi dari hadapannya. Kelvin nyaris merengkuh pinggangnya sekali lag
'A-apa dia bilang?' ulang Amaya dalam hati. 'Buat kasih kejutan ulang tahunku?'Minggu depan?Benarkah ia berulang tahun Minggu depan?Amaya tak ingat."Aku pergi itu perginya ke vila punya Kak Gafi yang jauh di sana itu," kata Kelvin. "Aku mulai bikin dekorasinya sendiri, pas bilang cari inspirasi itu buat desain yang sekiranya akan kamu suka yang bisa aku bikin sendiri biar lebih berkesan karena ada effort-nya. Tapi malah dicurigain selingkuh sama Ondel-ondel."Kelvin mendorong napasnya dengan tak percaya. Sedang Amaya mengedipkan matanya beberapa kali untuk sepenuhnya mencerna kalimat prianya itu.Ia bersedekap, memandang Amaya dan berujar, "Jadi gagal 'kan sekarang surprise-nya? Coba jangan marah dulu ... kenapa sih curiga aku selingkuh sama dia?""Ya ...." Pupil mata Amaya bergoyang gugup, mencari alasan.Tapi bukankah ia tak perlu beralasan? Apa yang dilakukan oleh Kelvin lah yang membuatnya berpikiran buruk!"Ya karena sikap Mas Vin itu nggak seperti biasanya," terangnya. "Mas
Kebekuan mengungkung mereka untuk lebih dari enam puluh detik berlalu. Mereka berdiri berhadapan dengan manik yang saling mengunci dengan dua keadaan yang berbeda. Kelvin dengan teduh sementara Amaya dengan sepasang matanya yang basah. Di bawah lampu ruang makan malam itu, bibir mereka saling mengatup. Meraba kira-kira siapa yang akan bicara lebih dulu setelah ini. Keheningan itu akhirnya hancur saat Kelvin lebih dulu mengalah untuk memperdengarkan suaranya. "Maksudnya ... kamu nuduh aku selingkuh?" tanya Kelvin yang segera dibenarkan oleh Amaya. "Iya," jawabnya. "Kenapa?" "Karena kamu kelihatan banget kalau lagi menyembunyikan sesuatu. Sikapmu tuh udah aneh sejak beberapa hari terakhir, semakin aneh dari semalam karena kamu pulang dengan nggak pakai bajumu yang sebelumnya," tutur Amaya. "Mau nyembunyiin apa? Ada bekas lipstik wanita lain? Atau biar nggak ketahuan kalau kamu baru ketempelan sama makhluk halus yang bau parfumnya wangi sampai jarak satu kilometer?" Cecarannya s
"Nggak mau!" tolak Amaya dengan lantang seraya menepis tangan Kelvin yang mencengkeram pergelangan tangannya. Gerakan itu membuat tangannya pergi menjauhi Kelvin yang sepertinya lebih memilih untuk mengalah daripada menyakiti Amaya. "Aku bisa pulang sendiri!" katanya seraya melirik pada ketiga temannya yang berdiri di sebelah kirinya. Melalui sudut matanya itu, Amaya tahu bahwa mereka bertigalah yang pasti mengatakan keberadaan mereka. Kelvin pasti bertanya pada salah satu—atau bahkan mereka semua—apakah Amaya tengah bersama dengan mereka sehingga Kelvin bisa menjemputnya di sini. Amaya tak menyalahkan Alin, Naira dan Randy, mereka pasti menjawab jujur bahwa sedang ada di mall untuk menonton film. Memangnya siapa yang berani berbohong pada dosen mereka? Lagi pula ... mereka juga tak tahu bahwa kepergian mereka ke sini itu karena Amaya kesal setengah mati pada Kelvin. Amaya memandang Kelvin yang kedua bahunya jatuh saat ia menggertakkan rahang kecilnya untuk menahan tangis Ia
Amaya bergeming untuk beberapa saat. Jika Alin tak memanggilnya dan menunjukkan soal yang tak ia mengerti dan meminta Amaya untuk mengajarinya, Amaya akan terus terbengong sepanjang sisa hari. Tak ada yang menyenangkan dari hari ini. Bahkan kehadiran Randy yang biasanya membuat Amaya tertawa tanpa henti hanya bisa membuatnya menunjukkan senyum tipis, setipis kesabarannya yang segera ingin bertemu dengan Kelvin dan menanyakan ke mana perginya ia kemarin. Amaya tak ingin menyimpan kegelisahan itu seorang diri, memendamnya dan menjadikannya beban. Menanyakan secara langsung pada orang yang terlibat adalah pilihan yang paling tepat. Hanya ada dua pertemuan yang harus ia hadiri hari ini, itu pun terasa sangat lama. Saat menuju jam makan siang yang biasanya ia sambut dengan hati yang bahagia, siang hari ini Amaya benar-benar kehilangan nafsu makan. Jam makan siang yang biasanya ia sambut dengan suka cita karena artinya ia akan memiliki kesempatan untuk bertemu Kelvin berubah menjadi r
Pagi itu, Amaya duduk terdiam di dalam perpustakaan sembari menunggu kedatangan Alin yang mengajaknya untuk bertemu di sini. Ia menghela dalam napas saat matanya membaca apa yang ditunjukkan oleh layar laptopnya yang menyala itu. Hasil pencarian yang menunjukkan ‘Ciri-ciri suami yang berselingkuh’ dan apa yang dibacanya itu membuat dadanya terasa sesak. Poin pertama, ‘Lebih waspada terhadap ponsel miliknya.’ Poin ke satu saja sudah membuat Amaya menggertakkan rahang kecilnya hingga terasa sakit. Sialnya ... Kelvin seperti itu! Belakangan, ia lebih sering sibuk dengan ponselnya daripada bicara dengan Amaya sebelum tidur. Semalam pun juga begitu! Saat Amaya bertanya, ‘Mas Vin lagi apa?’ prianya itu mengatakan, ‘Sedang mencari inspirasi.’ Entah inspirasi apa maksudnya. Atau jangan-jangan ... itu hanya sebagai alasan agar ia terus dapat berkomunikasi dengan seseorang yang tak Amaya ketahui siapa itu? Bagaimana jika itu adalah Calista? Satu-satunya nama yang terus mengganggunya
Amaya mendengar dari Kelvin bahwa seperginya mereka dari rumah sakit itu, Calista masih belum usai beraksi dengan melakukan hal yang membuatnya sampai harus dikeluarkan dari chat room para dosen. Saat Amaya bertanya pada Kelvin seperti, ‘Memangnya apa yang dia bilang?’ Kelvin tak menjawab banyak selain, ‘Apa lagi, Sayang? Tentu saja dia bilang kalau aku nggak bertanggung jawab dan lain sebagainya. Yang penting sekarang dia udah nggak bisa kirim-kirim pesan begitu lagi buat cari sensasi.’ Amaya percaya saja dengan yang dikatakan oleh prianya itu. Lagi pula, Amaya juga sudah tak melihat Calista itu di kampus. Terakhir kali ia melihat saat wanita itu datang dengan mengenakan topi hitam dan menutupi wajahnya dengan menggunakan masker. Alin mengatakan ia menuju ke ruang dekan fakultasnya dan tak terlihat lagi setelah itu. Tak terlihat memamerkan belahan dadanya ke sana ke mari, tak terlihat di kantin kampus atau berkeliaran di sekitar Amaya. Keberadaannya menghilang dalam sesaat. ‘Ba
Amaya mengayunkan kakinya menjauh dari samping brankar Calista pada akhirnya. Tangan kecilnya digandeng dan digenggam oleh Kelvin, mereka dengan gegas keluar melewati pintu ruangan itu agar bisa mengambil napas bebas Berada di dekat Calista memang membuat kepala rasanya ingin meleduk. "Yang barusan itu bagus banget, Sayang," puji Kelvin, sekilas mengayunkan tangan mereka dengan terus berjalan menuju ke parkiran. "Pria yang haram dimiliki, that was amazing. Aku nggak pernah ada kepikiran buat bilang begitu loh." "Tapi 'kan sebenernya aky nyontek kalimat Mas Vin?" balas Amaya. "Nyontek kalimatku?" ulangnya dengan alis berkerut. "Iya." "Aku pernah bilang begitu emangnya?" tanya Kelvin memperjelas. "Bukan soal pria yang haram dimiliki, tapi soal banyak tokoh wanita yang berusaha membuat martabat kaum kita terangkat itu," jawabnya. "Kapan aku bilang begitu?" "Mas Vin nggak ingat? Itu loh pas aku mau masuk kampus lagi, dan aku pakai baju yang kamu bilang warna-warni tapi aku mala
"Nggak, Calista!" jawab Kelvin dengan tegas, tangannya yang direngkuh dan seolah menjadi sandera wanita itu dengan cepat ia tarik. Kelvin tak peduli suaranya yang sedikit meninggi itu dapat didengar oleh orang lain yang ada di sana. Amaya hanya berdiri di dekatnya, menatap Calista dengan mata yang berair berusaha meredam amarah. "Aku udah bilang kalau kamu bisa hubungin keluarga kamu, 'kan?" tanya Kelvin dengan nada suara yang sama. "Lagian nggak ada yang serius sama lukamu ini! Kakimu nggak kenapa-kenapa." "Tapi 'kan tetep cedera?" bantahnya. "Apa salahnya ngantar orang yang udah kamu tabrak sih? Itu nggak akan—" "Bu Calista kenapa ngotot banget kalau suamiku nabrak Anda sih?" sela Amaya. "Kita udah sama-sama lihat loh kalau nggak ada yang serius dari kejadian pagi ini. Maunya Bu Calista tuh apa? Kelvin harus nemenin Anda seharian akibat bikin luka gores yang keponakan saya aja kalau dapet luka begitu masih ngajakin papanya panjat tebing? C'mon ...." Amaya sangat geram denganny
"Ahh—sakit—" rintih Calista seraya mengusap kakinya. "Sakit banget ...." Amaya bergeming di tempatnya saat wanita itu mengaduh kesakitan. Amaya tak ingin memiliki pikiran buruk terhadapnya, tetapi rintihannya barusan seperti dibuat agar semua orang yang mendengarnya. Beberapa orang memang datang, melihat dan memastikan sendiri apa yang terjadi pada Calista. Lebih dari satu orang yang menyebut bahwa tadi Kelvin berhenti tepat sebelum terjadi apapun. "Kayaknya tadi Mbak-nya nggak kena mobilnya deh?" tanya Bapak-bapak pemilik bengkel yang ada di sebelah kiri jalan. "Ya lagian udah tahu ada mobil lewat ngapain main nyebrang aja sih?" tegur yang lainnya. Kelvin si pria dewasa yang tenang dan hati-hati dalam bertindak mencoba menenangkan mereka yang justru lebih memihak pada si pemilik mobil alih-alih pada wanita yang bersimpuh tak berdaya di tengah jalan itu. Beberapa mengenalinya sebagai dosen dari Universitas di dekat situ, karena ada mahasiswa yang juga ada di Tempat Kejadian Perka