haaaaaiii maap telat yah heheheheh, Lunas yah othor hari ini 🥹🤗 terima kasih akak semuanya, mampir juga ke RAHASIA HATI: TERPERANGKAP MENJADI ISTRI KEDUA CEO DINGIN ☺️
‘Jangan ke sini,’ batin Amaya memohon agar langit mendengarnya. ‘Jangan ke sini please ... lewat aja ....’Amaya meremas tangan Alin yang duduk di sampingnya.Penonton bergemuruh saat melihat Kelvin mendekat, langkahnya lurus pada Amaya, tanpa menoleh ke kanan atau pun ke kiri.Pria itu tampak beberapa tahun lebih muda daripada usianya dalam balutan seragam futsal yang dikenakannya itu.Tapi semempesona apapun Kelvin sekarang ... Amaya hanya berharap pria itu tak melakukan sesuatu yang mencolok!Rupanya ... permohonan yang sedari tadi dirapalkan oleh Amaya itu tak dikabulkan.Sebab Kelvin justru berhenti di depan Amaya yang duduk paling depan bersama dengan Alin dan Naira.Beberapa mahasiswi yang duduk di sekitar Amaya bergemuruh saat memuji betapa menawan Kelvin bahkan saat dilihat dalam jarak sedekat ini.“Bilangnya nggak mau datang?” tanya Kelvin saat tiba di depan Amaya yang pasrah akan apa yang terjadi ke depannya.“Ngapain sih?” desis Amaya, berharap tak banyak yang mendengar pr
Seakan dunia membeku! Amaya menahan napasnya yang terasa habis, berpikir hampir berguling ke depan sebelum Kelvin mencegahnya jatuh. “Kamu baik-baik aja?” tanya Kelvin saat menegakkan kembali tubuh Amaya. “I-iya,” jawabnya. “Sebaiknya kamu hati-hati,” peringat pria itu, sedikit menunduk agar Amaya mendengarnya dengan jelas. “Kalau kamu ceroboh dan nggak bisa berjalan dengan benar, aku akan gendong kamu sampai turun.” Amaya berdecak kesal sebelum ia mengambil lebih dulu tas miliknya. Memastikannya agar tak membuat kakinya terjerat sebelum berjalan menyusul Alin. “Bareng aja sama Pak Kelvin,” kata Alin menyambut Amaya yang sudah ada di sebelahnya. “Udah barengan dari tadi, ‘kan? Nggak habis pikir sama tingkahnya yang makin dilarang makin—“ “Amaya!” panggil Kelvin yang membuat Amaya berhenti bicara dan menoleh ke belakang. Mata mereka bertemu saat pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana seragam futsalnya. “Nanti pulang bareng saya!” Sorakan kembali riuh bergemur
"M-maaf," kata Caecil dengan kepala yang tertunduk. Gadis itu menyembunyikan wajah ataupun matanya di hadapan Kelvin dan Arsha yang menahan napas mereka. Seakan membeku dalam keterkejutan kala menjumpai seseorang yang tak seharusnya ada di sini muncul di depan pucuk hidung keduanya. "Saya salah masuk kamar mandi," katanya kembali. Ia menundukkan kepalanya sekali lagi di hadapan Kelvin dan Arsha sebelum pergi dari sana. Langkahnya gegas, menghindari keduanya tetapi saat ia nyaris beranjak, Arsha mencegahnya pergi. "Nggak, ini nggak benar," katanya. Arsha selangkah menghalangi Caecil sehingga gadis itu berdiri dengan wajah yang pias. "Kamu bilang salah masuk kamar mandi?" ulang Arsha menirukan apa yang dikatakan oleh Caecil. "Kesalahan itu bisa ditoleransi jika masuk akal, Caecil," ujarnya. "Ini bukan kesalahan. Mungkin jika ini di area mahasiswa, kami akan bisa menerimanya karena kamu masuk ke kamar mandi pria sebab itu ada di area yang sama. Tapi kamu tahu betul ini a
Dengan hati yang seakan meledak ... Caecil keluar dari taksi online yang ia pesan dalam upayanya melarikan diri setelah terpergok oleh Kelvin serta Arsha. Ia berjalan dengan kaki yang menghentak di halaman yang mengantarnya pada undakan tangga yang ada di teras rumahnya. “Sialan ....” desisnya saat ia tiba di dalam dan menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Niat hati ingin menjebak Kelvin dan menimbulkan skandal, Caecil justru terantuk batu sandungan yang besar. Ia sudah mendengar obrolan Kelvin dan Arsha sejak ada di tepi lapangan futsal dan memutuskan untuk mengikuti mereka. Mengetahui bahwa Kelvin akan menuju ke kamar mandi, Caecil menunggunya di sana. Tapi ... sial seribu sial sebab ponsel yang dibawanya jatuh. Ia menjerit lirih dan saat itulah keberadaannya diketahui. Arsha menggedor pintu dan mau tak mau ia harus keluar. Cecaran pertanyaan dari dua pria itu membuatnya tak berkutik. ‘Bicara’ seolah hilang dari kamus hidupnya. Semua kata yang tersusun di hat
"Sepertinya Papa melewatkan satu hal lagi yang belum dibaca," ucap Adrian kala sepasang matanya yang gelap dan dihiasi oleh alis berkerut itu menatap pada kertas yang ada di tangannya."Penyebaran video asusila."Adrian beralih pandang pada Caecil yang tangannya terkepal erat.Ia satu langkah mundur saat menyadari ia tak akan selamat kali ini.Adrian tampak memejamkan matanya sejenak saat mengatakan, "Jawab ...." dengan mengendalikan amarahnya yang sebentar lagi akan meledak."Pa, itu ...." Ia menggigit bibirnya, bingung mencari alasan.Sadar bahwa Kelvin tak main-main dengan apa yang ia katakan bahwa ia telah melaporkan apa yang ia lakukan pada Amaya."Itu gara-gara ada yang bully aku terus aku ngelawan," katanya. "Aku nggak ngelakuin apapun, itu cuma sebagai bentuk pertahanan diri.""Kamu? Dibully?" ulang Adrian yang membuat Caecil mengangguk dengan cepat. "Iya, aku dirundung di kampus, Papa lihat 'kan kalau aku hari ini pulang cepet? Aku nggak mau di kampus, aku—""Kamu pikir aku
Tujuh belas tahun yang lalu ... Caecil diasuh oleh Adrian dan Belinda setelah ibunya tewas di tangan kakak Adrian yang melakukan kekerasan rumah tangga pada sang istri. Tak tega sebab ayahnya harus mendekam di dalam tahanan seumur hidup, sedangkan saat itu Caecil masih kecil, Adrian dan Belinda yang merupakan paman dan tantenya kemudian bersedia mengasuh Caecil dan menjadi orang tua baginya. Sebuah anugerah sebab Belinda telah mendapat vonis dokter ia tak akan bisa hamil. Selama ini ... ia tumbuh di dalam keluarga Adrian yang terhormat, rupanya membuat Caecil lupa diri. Ia bangga menjadi anak seorang pengacara yang terkenal dan baik kredibilitasnya. Keberadaannya selalu disegani. Bahkan teman-teman yang dekat dengannya kerap mengatakan, ‘Hati-hati sama dia, papanya orang terkenal.’ ‘Papanya Caecilia itu pengacara, kita harus berteman dan baik kalau sama dia.’ Pujian senantiasa didapatkannya dari kecil. Saat Caecil tak sengaja melakukan kesalahan ... bukan dia yang meminta maaf,
Di belakang Kelvin, Amaya sebisa mungkin menahan dirinya agar tak tertawa atau tiba-tiba meledak. Ia mendengar dengan jelas bagaimana ibunya Arsha menyebutkan bahwa dosen rekannya Kelvin itu tertinggal di rumah alih-alih ikut bersama dengan mobil yang mereka tumpangi.Ia berada di dalam mobil yang harusnya pergi mengantar peyek—milik tetangga mereka yang akan mengantar pesanan.“Terus? Arsha dijemput, Tante?” tanya Kelvin sekali lagi. Meski Amaya bisa menjumpai kedua bibirnya yang terangkat membentuk senyuman, pria itu lebih tenang dengan menunjukkan kekhawatiran pada temannya itu."Nggak, Nak Kelvin," jawab beliau. "Tetangga yang ngantar ke sini. Nggak tahu nanti kalau itu anak badannya jadi bau peyek udang."Tawa Amaya akhirnya terdengar sebelum ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan menunduk di depan ibunya Arsha, "Maaf, Ibu ...." katanya. "Soalnya Pak Arsha lucu banget.""Dia emang begitu, nggak apa-apa, ketawa saja." Ibunya Arsha tampak menepuk lengan Amaya dan mengamati
"Y-ya?!" Kelvin memandang pada wanita itu, alisnya sedikit berkerut, sepertinya sedang mencoba mengingat. "Siapa?" tanyanya. "Kamu lupa denganku?" tanya wanita itu balik. "Calista, sepupunya Kaluna. Kita pernah ketemu di kafe yang ada di dekat kampus." "Aah ... iya," tanggapnya singkat, ia menoleh pada Amaya sebelum mengatakan, "Kamu bisa ngobrol sama istriku." Amaya melihat Kelvin pergi, dari arah kepergiannya ... prianya itu sepertinya benar akan mengambilkan puding untuknya. Amaya beralih pandang pada Calista yang berdiri kikuk sebelum menyapanya juga. "Hai," ucapnya mula-mula. "Tadi Kelvin bilang kalau kamu istrinya, apa itu benar?" Amaya mengangguk, "Benar, Bu Calista," jawabnya. Selama beberapa detik Amaya ragu apakah panggilan yang ia alamatkan pada Calista benar dengan 'Bu'. Tapi mempertimbangkan bahwa Calista seusia dengan Kelvin dan Arsha, rasanya ia tak salah. "Anda mau duduk dengan kami?" tanya Amaya kemudian saat Calista tampak beberapa detik membeku mendengar p
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir