Di kampus ... semua orang telah membicarakan bagaimana kemarin Kelvin membawa keluar Amaya dari kamar mandi yang ada di dekat lapangan futsal dengan keadaan yang cukup ‘menyedihkan.’ Kelvin hanya mengenakan singlet, sedang kemeja dan jas miliknya digunakan untuk menutupi tubuh Amaya. Beberapa mahasiswa—dengan permintaan Ziel—menjaga lokasi yang mereka sebut sebagai ‘tempat kejadian perkara’ yang akan ditinjau oleh pihak kampus. Benar, ruangan yang penuh dengan bau alkohol itu. Di kantin kampus siang hari ini, kabar itu semakin liar, beredar dari mulut ke mulut. Kabarnya simpang siur, ada yang menyebut Amaya terluka di bagian kepala, ada yang menyebut Amaya mabuk di toilet kampus dan tidak sadar. “Gimana kalau kampus tahu kalau kita yang lakuin itu semua, Cil?” tanya salah seorang teman Caecil yang bernama Sarah, ia terlihat tak tenang saat mengaduk minuman yang ada di atas meja. “Apalagi anak-anak bilang kalau Pak Kelvin kemarin bawa Amaya keluar dia lagi pingsan,” sambu
Di dalam rumahnya yang terasa hening, di dalam kamarnya Amaya tengah mengurung diri. Ingatannya terus mengulangi mencekamnya hari kemarin yang seolah tidak mau berhenti. Tawa caecil dan teman-temannya, botol minuman keras yang diarahkan ke bibirnya agar ia menelannya secara paksa, semua itu masih tercetak dengan sangat jelas. Bahkan bau minuman laknat itu seolah terus menempel di tubuhnya dan membuatnya jijik. ‘Mahasiswa yang merelakan dirinya ditunggangi oleh dosennya sendiri.’ Kalimat Caecil berulang kali terngiang di telinganya sehingga ia harus mengatur napasnya saat hal itu terjadi. Hatinya menjadi goyah, ‘Apakah tidak boleh menikah dengan dosen?’ “Aku juga bukan simpanan, aku istri sahnya, aku nggak ngambil suami orang juga, ‘kan?” tanya Amaya pada dirinya sendiri. Ia memandang pantulan wajahnya yang ada di cermin, terlihat cukup menyedihkan dengan tempelan kapas yang ada di keningnya yang beberapa saat lalu dibantu oleh Bi Mara untuk diganti. “Aku tahu Caecil
Pohon tabebuya itu, mulai hari ini akan menjadi pemandangan favorit Amaya. Ia bisa melihatnya dari ruang makan saat duduk di sana, merah muda memenuhi setiap tangkainya ketika mekar. Malam ini pun demikian, Amaya bisa melihatnya yang sangat cantik sewaktu ia duduk menghabiskan makan malamnya saat Gafi dan keluarga kecilnya datang. "Iya tahu Kelvin kasih kamu hadiah pohon tabebuya di sana, udah nggak usah dilihatin terus ...." celetuk Serena dari seberang Amaya duduk, penuh dengan nada godaan karena Amaya berkali-kali mencuri pandang untuk melihat ke luar. Amaya tak ingin melihat sebenarnya. Hanya saja ... godaan untuk terus berpaling ke sana sangat besar. "Maaf," kata Amaya, membawa kembali pandangannya ke makanan yang ada di atas meja. "Soalnya itu bikin terkejut karena hadiahnya nggak biasa." "Ya nggak salah sih, May," tanggap Serena. "Aku kalau suamiku kasih hadiah bunga sebesar itu, apalagi sepohonnya sekalian kayaknya aku juga bakalan lihatin terus." "Tapi 'kan Papa nggak
Gafi tampak tak membahas apapun soal kondisi Amaya yang ditemukan oleh Kelvin di kamar mandi kemarin. Tapi bukan berarti ia diam saja. Setelah makan malam itu usai, Amaya melihat kakak lelakinya itu bicara empat mata dengan Kelvin di luar rumah. Tentu saja Amaya tak bisa mendengar. Selain ekspresi wajah mereka yang sama-sama menegang. Entah apa yang telah dilakukan oleh dua pria yang bekerja menggunakan otak mereka itu. Amaya juga memilih untuk tidak menanyakannya lebih lanjut. Karena jika ia bertanya ... artinya ia juga harus bersiap untuk menjelaskan soal apa yang terjadi padanya. Dan ia tak mau. Sementara ini, biar ia simpan sendiri apa yang dilakukan oleh Caecil kepadanya. Kedatangan Gafi yang membawa Arsen cukup menghibur. Sesekali celetukan polos bocah kecil itu membuat Amaya tertawa, begitu juga dengan Serena. Saat keluarga kecil Gafi pergi dari rumah, Amaya mengantar mereka hingga ke teras dan melambaikan tangan sampai mereka menghilang di luar gerbang. "Mau makan yang
Caecil seketika menutup mulutnya. Tak akan ia buka untuk bicara. Sedangkan Kelvin hanya menunjukkan salah satu bibirnya yang terangkat, menyeringai. Suara tawa dari berbagai meja yang terisi oleh mahasiswa menggema memenuhi perpustakaan. Kelvin mengambil notebook miliknya yang ada di tangan Caecil tanpa membuat kulit mereka bersentuhan, kemudian memasukkannya ke dalam ransel. Begitu juga dengan barang-barangnya yang lain sebelum bangun dari duduknya, meninggalkan meja sekaligus meninggalkan Caecil. “Dia baru makan apa kok di giginya ada hijau-hijaunya?” celetuk salah seorang mahasiswa yang sudah tidak bisa lagi menahan tawa—merujuk pada kalimat Kelvin yang dialamatkan pada Caecil sebelumnya. “Nggak tahu, daun talas kalik.” “Eh tapi kalian denger nggak tadi? Pak Kelvin bilang bunga tai ayam.” Gemuruh tawa terdengar dari meja yang ada di sebelah kanan Caecil duduk. “Ya baguslah kalau Caecil si tukang bully kena mental sama Pak Kelvin.” Petugas yang ada di perpustakaan mengingatk
Jika sebelumnya Amaya datang ke sini bersama dengan Arsen, malam hari ini ia hanya berdua bersama dengan Kelvin. Fantasy Land, sebuah taman hiburan yang masih cukup ramai di datangi oleh pengunjung yang ingin menghabiskan malam mereka setelah lelah bekerja seharian. Kelvin yang mengajak Amaya ke tempat ini karena sepulangnya dari kampus tadi, Kelvin melihat Amaya yang hanya terbengong di sebelah timur rumah, memandangi pohon tabebuya yang tengah mekar. “Mau pergi ke yang mana dulu?” tanya Kelvin saat mereka masuk dan bergandengan tangan. “Apa Mas Vin nggak keberatan kita keluar begini?” tanya Amaya balik alih-alih menjawab Kelvin. “Keberatan kenapa?” “Karena kita bisa dilihat sama orang lain.” “Nggak,” jawab Kelvin. “Kalau misalkan ada ketemu mahasiswa, rasanya ... semua orang juga kayaknya udah tahu kita ada hubungan. Biarkan saja ....” Amaya tersenyum mendengar Kelvin yang tanpa beban saat mengatakan demikian. “Nggak ada Arsen sekarang, kamu bisa pilih yang mana saj
“Mas Vin ngapain sih?” tanya Amaya, panik karena menjadi tontonan banyak orang yang tercengang dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka sekarang ini. Seorang pria yang memperlakukan wanita mereka seperti ratu, membiarkan dirinya sendiri basah kaki, basah sepatu. “Lagi ngangkat kamu, ‘kan?” tanggap Kelvin dengan tanpa bebannya. “Ng-nggak diangkat juga nggak apa-apa kok, aku bisa jalan sendiri.” “Siapa bilang kamu nggak bisa jalan sendiri? Aku juga tahu kalau kamu bisa jalan sendiri, Sayang.” Kelvin malah melemparkan senyumnya pada Amaya yang mau tak mau harus berpegangan erat dengan melingkarkan tangan di lehernya. “Mas Vin begini karena dilihat sama Caecil?” tanya Amaya saat mereka sudah cukup jauh dari tempat mereka berteduh sebelumnya. “Sekalipun nggak ada dia pun aku juga akan begini,” jawabnya. “Mendingan juga aku yang basah daripada kamu, ‘kan?” “Ini aku terus gimana?” tanya Amaya lalu menggigit bibirnya. “Gimana apanya, Sayangku?” “Kalau Mas Vin begini terus tuh bis
Pipinya seketika membara, Amaya tidak bisa memperkirakan semerah apa wajahnya sekarang di hadapan Kelvin. “Akh—“ Bibirnya yang ingin diam tiba-tiba meloloskan erangan saat Kelvin membalikkan keadaan. Kini dirinyalah yang ada di bawah. Jari tangannya yang ada di samping kanan dan kiri telinga terasa dingin menjumpai tatapan prianya itu sebelum menunduk dan menjatuhkan bibirnya yang semanis macaroons di bibir Amaya. Berawal dari gigitan manis pada bagian bawah, sebelum berpindah ke atas dan menjajah lidahnya. Seakan tak membiarkan Amaya memproses rasa senang yang diberikan olehnya, Kelvin kian menunduk. Mata mereka bertaut pandang saat Amaya merasakan sentuhan di dadanya. Tak bisa dijelaskan bagaimana caranya pria itu menguraikan kancing di blouse yang dikenakan oleh Amaya dengan hanya menggunakan bibirnya. Senyum dan lesung pipinya menjadi pemandangan yang dilihat oleh Amaya sebelum Kelvin menenggelamkan diri pada dua bagian sensitif wanitanya. Bibir dan jarinya bergerak seimba
"Nggak mau!" tolak Amaya dengan lantang seraya menepis tangan Kelvin yang mencengkeram pergelangan tangannya. Gerakan itu membuat tangannya pergi menjauhi Kelvin yang sepertinya lebih memilih untuk mengalah daripada menyakiti Amaya. "Aku bisa pulang sendiri!" katanya seraya melirik pada ketiga temannya yang berdiri di sebelah kirinya. Melalui sudut matanya itu, Amaya tahu bahwa mereka bertigalah yang pasti mengatakan keberadaan mereka. Kelvin pasti bertanya pada salah satu—atau bahkan mereka semua—apakah Amaya tengah bersama dengan mereka sehingga Kelvin bisa menjemputnya di sini. Amaya tak menyalahkan Alin, Naira dan Randy, mereka pasti menjawab jujur bahwa sedang ada di mall untuk menonton film. Memangnya siapa yang berani berbohong pada dosen mereka? Lagi pula ... mereka juga tak tahu bahwa kepergian mereka ke sini itu karena Amaya kesal setengah mati pada Kelvin. Amaya memandang Kelvin yang kedua bahunya jatuh saat ia menggertakkan rahang kecilnya untuk menahan tangis Ia
Amaya bergeming untuk beberapa saat. Jika Alin tak memanggilnya dan menunjukkan soal yang tak ia mengerti dan meminta Amaya untuk mengajarinya, Amaya akan terus terbengong sepanjang sisa hari. Tak ada yang menyenangkan dari hari ini. Bahkan kehadiran Randy yang biasanya membuat Amaya tertawa tanpa henti hanya bisa membuatnya menunjukkan senyum tipis, setipis kesabarannya yang segera ingin bertemu dengan Kelvin dan menanyakan ke mana perginya ia kemarin. Amaya tak ingin menyimpan kegelisahan itu seorang diri, memendamnya dan menjadikannya beban. Menanyakan secara langsung pada orang yang terlibat adalah pilihan yang paling tepat. Hanya ada dua pertemuan yang harus ia hadiri hari ini, itu pun terasa sangat lama. Saat menuju jam makan siang yang biasanya ia sambut dengan hati yang bahagia, siang hari ini Amaya benar-benar kehilangan nafsu makan. Jam makan siang yang biasanya ia sambut dengan suka cita karena artinya ia akan memiliki kesempatan untuk bertemu Kelvin berubah menjadi r
Pagi itu, Amaya duduk terdiam di dalam perpustakaan sembari menunggu kedatangan Alin yang mengajaknya untuk bertemu di sini. Ia menghela dalam napas saat matanya membaca apa yang ditunjukkan oleh layar laptopnya yang menyala itu. Hasil pencarian yang menunjukkan ‘Ciri-ciri suami yang berselingkuh’ dan apa yang dibacanya itu membuat dadanya terasa sesak. Poin pertama, ‘Lebih waspada terhadap ponsel miliknya.’ Poin ke satu saja sudah membuat Amaya menggertakkan rahang kecilnya hingga terasa sakit. Sialnya ... Kelvin seperti itu! Belakangan, ia lebih sering sibuk dengan ponselnya daripada bicara dengan Amaya sebelum tidur. Semalam pun juga begitu! Saat Amaya bertanya, ‘Mas Vin lagi apa?’ prianya itu mengatakan, ‘Sedang mencari inspirasi.’ Entah inspirasi apa maksudnya. Atau jangan-jangan ... itu hanya sebagai alasan agar ia terus dapat berkomunikasi dengan seseorang yang tak Amaya ketahui siapa itu? Bagaimana jika itu adalah Calista? Satu-satunya nama yang terus mengganggunya
Amaya mendengar dari Kelvin bahwa seperginya mereka dari rumah sakit itu, Calista masih belum usai beraksi dengan melakukan hal yang membuatnya sampai harus dikeluarkan dari chat room para dosen. Saat Amaya bertanya pada Kelvin seperti, ‘Memangnya apa yang dia bilang?’ Kelvin tak menjawab banyak selain, ‘Apa lagi, Sayang? Tentu saja dia bilang kalau aku nggak bertanggung jawab dan lain sebagainya. Yang penting sekarang dia udah nggak bisa kirim-kirim pesan begitu lagi buat cari sensasi.’ Amaya percaya saja dengan yang dikatakan oleh prianya itu. Lagi pula, Amaya juga sudah tak melihat Calista itu di kampus. Terakhir kali ia melihat saat wanita itu datang dengan mengenakan topi hitam dan menutupi wajahnya dengan menggunakan masker. Alin mengatakan ia menuju ke ruang dekan fakultasnya dan tak terlihat lagi setelah itu. Tak terlihat memamerkan belahan dadanya ke sana ke mari, tak terlihat di kantin kampus atau berkeliaran di sekitar Amaya. Keberadaannya menghilang dalam sesaat. ‘Ba
Amaya mengayunkan kakinya menjauh dari samping brankar Calista pada akhirnya. Tangan kecilnya digandeng dan digenggam oleh Kelvin, mereka dengan gegas keluar melewati pintu ruangan itu agar bisa mengambil napas bebas Berada di dekat Calista memang membuat kepala rasanya ingin meleduk. "Yang barusan itu bagus banget, Sayang," puji Kelvin, sekilas mengayunkan tangan mereka dengan terus berjalan menuju ke parkiran. "Pria yang haram dimiliki, that was amazing. Aku nggak pernah ada kepikiran buat bilang begitu loh." "Tapi 'kan sebenernya aky nyontek kalimat Mas Vin?" balas Amaya. "Nyontek kalimatku?" ulangnya dengan alis berkerut. "Iya." "Aku pernah bilang begitu emangnya?" tanya Kelvin memperjelas. "Bukan soal pria yang haram dimiliki, tapi soal banyak tokoh wanita yang berusaha membuat martabat kaum kita terangkat itu," jawabnya. "Kapan aku bilang begitu?" "Mas Vin nggak ingat? Itu loh pas aku mau masuk kampus lagi, dan aku pakai baju yang kamu bilang warna-warni tapi aku mala
"Nggak, Calista!" jawab Kelvin dengan tegas, tangannya yang direngkuh dan seolah menjadi sandera wanita itu dengan cepat ia tarik. Kelvin tak peduli suaranya yang sedikit meninggi itu dapat didengar oleh orang lain yang ada di sana. Amaya hanya berdiri di dekatnya, menatap Calista dengan mata yang berair berusaha meredam amarah. "Aku udah bilang kalau kamu bisa hubungin keluarga kamu, 'kan?" tanya Kelvin dengan nada suara yang sama. "Lagian nggak ada yang serius sama lukamu ini! Kakimu nggak kenapa-kenapa." "Tapi 'kan tetep cedera?" bantahnya. "Apa salahnya ngantar orang yang udah kamu tabrak sih? Itu nggak akan—" "Bu Calista kenapa ngotot banget kalau suamiku nabrak Anda sih?" sela Amaya. "Kita udah sama-sama lihat loh kalau nggak ada yang serius dari kejadian pagi ini. Maunya Bu Calista tuh apa? Kelvin harus nemenin Anda seharian akibat bikin luka gores yang keponakan saya aja kalau dapet luka begitu masih ngajakin papanya panjat tebing? C'mon ...." Amaya sangat geram denganny
"Ahh—sakit—" rintih Calista seraya mengusap kakinya. "Sakit banget ...." Amaya bergeming di tempatnya saat wanita itu mengaduh kesakitan. Amaya tak ingin memiliki pikiran buruk terhadapnya, tetapi rintihannya barusan seperti dibuat agar semua orang yang mendengarnya. Beberapa orang memang datang, melihat dan memastikan sendiri apa yang terjadi pada Calista. Lebih dari satu orang yang menyebut bahwa tadi Kelvin berhenti tepat sebelum terjadi apapun. "Kayaknya tadi Mbak-nya nggak kena mobilnya deh?" tanya Bapak-bapak pemilik bengkel yang ada di sebelah kiri jalan. "Ya lagian udah tahu ada mobil lewat ngapain main nyebrang aja sih?" tegur yang lainnya. Kelvin si pria dewasa yang tenang dan hati-hati dalam bertindak mencoba menenangkan mereka yang justru lebih memihak pada si pemilik mobil alih-alih pada wanita yang bersimpuh tak berdaya di tengah jalan itu. Beberapa mengenalinya sebagai dosen dari Universitas di dekat situ, karena ada mahasiswa yang juga ada di Tempat Kejadian Perka
Calista mendadak berdiri kaku saat membuka ponselnya pagi ini. Paginya selalu diawali dengan sesuatu yang mengejutkan beberapa waktu terakhir ini. Jika sebelumnya ia melihat foto Kelvin yang menggenggam tangan Amaya dengan menyebut 'I was totally hooked', pagi ini lebih dari sekadar genggaman tangan belaka. Fotonya terlihat sangat cantik, berkonsep wedding outdoor, dan Calista tahu ini adalah foto postwedding mereka. Tapi yang membuatnya shock adalah bukan hanya betapa tampannya Kelvin, melainkan apa yang ia lakukan. Pria itu tengah menunduk di depan seorang perempuan cantik dengan gaun berwarna putih yang ekornya menyapu rerumputan. Sedang duduk di bangku taman dengan keadaan bibirnya yang dicium. Meski Kelvin menutupi wajah gadis itu dengan stiker hati, tapi orang gila mana yang tak tahu bahwa itu adalah Amaya? Seolah sengaja menaburi garam di atas lukanya, pria itu membuat dunia tahu bahwa hatinya telah berhenti pada Amaya. [@kelvinindra__ 'Forever be yours, the one and only
Agar bibirnya yang terus mengerucut itu berhenti, atau agar yayasan yang menaungi berdirinya kampus itu tak benar-benar dibeli oleh kakak iparnya—Gafi—Kelvin berusaha melakukan sesuatu. Berpikir bahwa Calista sengaja berusaha melemahkan mental Amaya yang seperti baja itu dengan menduplikasi dirinya, Kelvin harus menegaskan bahwa pernikahannya dengan Amaya tak bisa diganggu gugat oleh siapapun juga. Pada Sabtu pagi yang cerah ini, Amaya baru saja keluar dari rumah dan berdiri memandangi pohon tabebuya yang bunganya tak selebat sebelumnya. "Mau pergi nggak?" tanya Kelvin tiba-tiba dari belakangnya yang membuat Amaya segera menoleh. "Ke mana?" tanyanya balik. "Bikin foto postwedding," jawabnya. "Aku udah minta temanku yang punya studio buat nyiapin tempat, jadi aku harap kamu mau." "Foto postwedding?" ulang Amaya dengan kedua alis yang terangkat penuh rasa terkejut—karena memang ia benar terkejut. "Iya." "Tiba-tiba aja?" "Hm ... udah dari lama sih ngerencanainnya, cuma kayaknya a