baca juga RAHASIA HATI: TERPERANGKAP MENJADI ISTRI KEDUA CEO DINGIN ☺️ terima kasih sudah membaca ya akak semua 🤗
Amaya benar-benar tercengang dengan apa yang dikatakan oleh Kelvin.Dengan jelas dan gamblang ia mengatakan 'Menginap lagi.''Menginap' sebuah kata yang berdiri sendiri saja sudah sangat berbahaya. Dan Kelvin memberinya imbuhan berupa 'lagi?' yang bisa dimaknai bahwa mereka telah lebih dari sekali melakukannya.Amaya merasa ... jurus andalan Kelvin saat dirinya marah itu selain menggoda adalah membuat Amaya terpaku di depan umum, sehingga ia tak bisa berkutik.Demi agar Kelvin tak mengatakan lebih jauh hubungan mereka, Amaya pasti menurutinya, setidaknya begitu yang Amaya telaah beberapa waktu terakhir ini."Nggak, bukan begitu," jawab Kelvin atas tanya dari Naira. "Maksudnya Mama saya minta saya menginap di rumah beliau lagi, sekalian saya barengan sama Amaya pulangnya. 'Kan rumah orang tua saya dengan Amaya berseberangan," tuturnya."Ooh ...." jawab Naira, disusul oleh Alin serta Randy. Meski ada seberkas rasa curiga, tapi sepertinya mereka tak memiliki pilihan lain selain percaya.
Kepergian Amaya yang 'dijemput' oleh Kelvin itu sebenarnya bisa dilihat oleh sepasang mata yang duduk di sudut diagonal lain kafe Amore. Caecil. Tadinya, gadis itu di sana bersama dengan beberapa temannya. Tapi ia memutuskan untuk tinggal saat melihat Amaya yang datang bersama dengan anggota gengnya itu ditambah dengan Ziel. Sehingga, ia tetap duduk di sana selagi teman yang datang dengannya tadi sudah lebih dulu berpamitan kembali ke kampus. Ada yang ingin Caecil pastikan, bagaimana keadaan Amaya sekarang ini? Karena sepertinya ia tak memberikan banyak reaksi soal gosip yang membumbung tinggi di forum mahasiswa tentang ada seorang mahasiswa yang tinggal serumah dengan dosennya. Seolah ... itu hanyalah sebuah hal sepele yang tak perlu Amaya pikirkan. Terlihat dari wajah Amaya yang tetap berseri seperti biasanya. 'Apa sebenarnya waktu itu emang ada acara aja di rumahnya Kelvin?' batin Caecil. Perbincangan yang mereka lakukan di seberang sana pun tidak banyak. Hanya membahas fi
Arimbi—Ibunya Rama—dengan segera meminta bantuan untuk membawa Rama ke rumah sakit.Mereka pergi dengan menggunakan mobil tetangga yang secara sukarela mengantarnya karena mobil di rumah sedang dipakai oleh ayah tiri Rama bekerja.Setibanya di rumah sakit, Rama mendapat penanganan dengan segera.Kondisinya yang memprihatinkan dengan keadaan mulut berbusa membuat Arimbi tak kuasa menyembunyikan ketakutannya.Ia berdiri tidak tenang di sekitar ruang instalasi gawat darurat. Hatinya sesak, napas terasa berat, mengekang. Sementara air matanya terus mengalir. "Gimana keadaannya?" tanya sebuah suara pria yang datang dari belakang Arimbi.Saat ia menoleh, pria yang merupakan suaminya itu mendekat dan merangkul bahunya."Belum ada kabar dari Dokter, Mas," jawabnya. "Kita akan dapat kabar sebentar lagi dari dalam, jangan khawatir."Arimbi duduk saat suaminya—Erlangga—memintanya untuk tenang sebentar. Baru setelah sekitar dua puluh menit kemudian seorang dokter keluar."Keluarganya Ananda Ram
Hari itu terus membekas di dalam benak Rama kecil. Ia masih ingat, setelah itu ia mengatakan pada Ibunya apa yang telah dilihatnya di dalam kamar. Apa yang diperbuat oleh ayah dan wanita yang ia panggil sebagai 'Stella' itu. Keributan terjadi, Rama melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat. Hakim mengatakan, 'Kamu itu nggak seperti Stella yang cerdas dan cantik, Arimbi! Kamu bodoh, hanya tahu di rumah, menghabiskan uangku saja! Sekalinya disuruh ngomong sama teman-temanku malah salah semua omonganmu!' 'Aku dulu juga cantik dan cerdas seperti Stella, aku menikah denganmu dan melepas karirku, aku mengabdi padamu dan merawat anak kita, tapi kamu main gila dengan sekretarismu sendiri?' 'Perempuan nggak berguna! Sudah, sebaiknya jangan mengatur apa yang harus aku lakukan, kita cerai!' Meski kalimat itu terucap, tapi beberapa waktu setelahnya ibu dan ayah Rama masih sempat berdamai. Pria itu diberi kesempatan, berjanji tidak akan mengulangi lagi dan menyebut itu hanya sebuah khilaf. T
Sebuah pagi yang cukup cerah untuk Jakarta yang beberapa saat terakhir mendung. Amaya bisa melihat gugusan awan seputih kapas yang berarak di luar saat ia memandangnya dari jendela kamar.Ia baru saja selesai bersiap dan berdiri di samping meja tempat di mana ia meletakkan ponselnya di sana untuk ia charge."Kamu mau berangkat sekarang?" tanya Kelvin yang membuat Amaya menoleh ke arahnya.Pria itu muncul seraya merapikan jam tangannya dan berhenti di samping Amaya."Iya, ada kelas pagi soalnya," jawab Amaya saat meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam tas."Barengan aja kalau gitu, aku juga ada—" Kelvin berhenti bicara karena Amaya malah pergi meninggalkannya begitu saja.Ia pergi ke arah lain, mengambil buku yang semalam ia letakkan di dekat bantal dan turut memasukkannya ke dalam tas."Masih ngambek nih ceritanya?" tanya Kelvin, kembali mendekat pada Amaya yang hanya menanggapinya lewat gerakan sudut mata."Kamu masih mau ngambek karena aku diajakin ketemu sama Calista—""Hafal ban
Amaya memeriksa isi tasnya, ia lupa tidak memasukkan pembalut wanita padahal benda itu biasanya selalu ada di manapun tas yang ia bawa. Tapi sekalipun ada pembalut, itu juga tidak memberikan solusi sepenuhnya sebab dress-nya yang memiliki noktah merah itu tidak bisa ia tutupi. Pikiran mencoba untuk tetap tenang. Tetapi tidak bisa! Bagaimana caranya ia bisa tenang jika ini adalah situasi yang buruk dan bisa saja berubah menjadi sangat ... memalukan? "Kok tumben cepet banget sih?" gumam Amaya seorang diri. Matanya terpejam putus asa seraya berpikir apa yang harus ia lakukan. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, mencari tahu barangkali ada wajah yang ia kenal sehingga ia bisa meminta bantuan. Tapi tidak ada sama sekali. Semua wajah yang ada di sana asing. Terang saja ... ini adalah perpustakaan kampus, bukan sebuah ruang lingkup yang seluruh pengunjungnya bisa dikenal oleh Amaya. "Aku tanya ke Alin aja apa dia udah dateng apa belum," kata Amaya. Ia meraih ponselnya dan mengirim pe
Kelvin tak bisa membendung senyumnya tatkala wajah kesal Amaya semakin menjadi-jadi. Ia tertawa lirih sebelum mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik, "Maaf, hanya bercanda, Sayang ...." katanya. "Aku tahu kamu mencintaiku, sudah banyak buktinya. Nggak perlu bilang 'I love you' pun aku tahu kamu tulus kok." Jika ini di rumah, atau bukan di tempat umum dan keadaan Amaya tidak 'berdarah-darah' seperti ini, Amaya pasti sudah mencubit lesung pipi di wajahnya itu. Kelvin terlihat bangun dari duduknya. Pria itu berdiri seraya membawa coat panjang miliknya dan berujar, "Berdirilah pelan-pelan, aku akan menutupinya dengan coat ini." Amaya mengangguk. Ia lakukan perintah Kelvin, berdiri pelan-pelan dan sebelum tubuhnya sempurna menjadi tegak, coat panjang milik Kelvin sudah singgah di tubuh bagian belakangnya, menutupi noktah merah sebesar piring yang ada di bawah pinggulnya itu. Seolah mengabaikan semua pasang mata yang menyaksikan apa yang mereka lakukan, Kelvin justru memba
Amaya dengan cepat menyelesaikan urusannya di dalam bilik kamar mandi itu. Ia pisahkan pakaiannya yang kotor bersama dengan coat panjang milik Kelvin pada paperbag yang besar sementara obat dan beberapa makanan serta minuman yang dibelikan oleh Kelvin pada paper bag lain yang lebih kecil. Ia keluar dari sana dan menyadari kamar mandi yang tak sesepi sebelumnya. Ia mencuci tangan dan dengan cepat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke ruang—tempat di mana ia akan menghadiri kelas paginya. Dengan langkah yang sedikit gegas akhirnya ia tiba, dan cukup terkejut melihat Kelvin rupanya ada di dalam sana, tengah duduk seolah pria itu sedang menjaga tas miliknya. Amaya melihat beberapa temannya yang menahan senyum sewaktu ia datang dan memasuki ruangan. Termasuk Alin dan Naira yang sepertinya juga baru datang dan tak bisa mencerna apa yang terjadi sekarang ini. "Terima kasih," ucap Amaya saat tiba di samping meja, tempat di mana Kelvin duduk di sana dan menyambutnya dengan seulas senyu
Nasib dua ratus tusuk telur gulung itu berakhir dengan dibagikan kepada orang-orang yang siang itu ada di Ruang Terbuka Hijau tempat di mana Amaya dan Kelvin berhenti.Tapi tentu saja tidak habis semuanya, orang-orang hanya mengambil seperlunya—tiga hingga lima tusuk saja.Sehingga makanan itu mereka putuskan agar berpindah tangan dan berhenti di rumah orang tua Kelvin serta di rumah Gafi. Arsen yang paling senang saat mendapatkan jajan itu dari keduanya.Amaya juga masih memakannya setelah mereka sampai di rumah. Bersama dengan Kelvin, mereka duduk di ruang makan, mendesis pedas oleh sambal buatan Bi Mara—yang juga diminta Amaya untuk membantu menghabiskan telur gulungnya.'Kapok deh, nggak bakal jajan tanpa tanya harga dulu,' batin Amaya seraya keluar dari kamarnya. Ia mengusap perutnya yang rasanya terlalu kenyang, terisi telur gulung.Ia merapikan rambutnya dan mencangklong tas miliknya. Ada agenda yang harus ia lakukan di luar. Ia bersama dengan Alin dan Naira akan mengerjakan
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk