terima kasih sudah membaca ya đ¤ jangan lupa mampir ke RAHASIA HATI: TERPERANGKAP MENJADI ISTRI KEDUA CEO DINGIN âşď¸ terima kasih banyak â¤ď¸
Sebuah pagi yang cukup cerah untuk Jakarta yang beberapa saat terakhir mendung. Amaya bisa melihat gugusan awan seputih kapas yang berarak di luar saat ia memandangnya dari jendela kamar.Ia baru saja selesai bersiap dan berdiri di samping meja tempat di mana ia meletakkan ponselnya di sana untuk ia charge."Kamu mau berangkat sekarang?" tanya Kelvin yang membuat Amaya menoleh ke arahnya.Pria itu muncul seraya merapikan jam tangannya dan berhenti di samping Amaya."Iya, ada kelas pagi soalnya," jawab Amaya saat meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam tas."Barengan aja kalau gitu, aku juga adaâ" Kelvin berhenti bicara karena Amaya malah pergi meninggalkannya begitu saja.Ia pergi ke arah lain, mengambil buku yang semalam ia letakkan di dekat bantal dan turut memasukkannya ke dalam tas."Masih ngambek nih ceritanya?" tanya Kelvin, kembali mendekat pada Amaya yang hanya menanggapinya lewat gerakan sudut mata."Kamu masih mau ngambek karena aku diajakin ketemu sama Calistaâ""Hafal ban
Amaya memeriksa isi tasnya, ia lupa tidak memasukkan pembalut wanita padahal benda itu biasanya selalu ada di manapun tas yang ia bawa. Tapi sekalipun ada pembalut, itu juga tidak memberikan solusi sepenuhnya sebab dress-nya yang memiliki noktah merah itu tidak bisa ia tutupi. Pikiran mencoba untuk tetap tenang. Tetapi tidak bisa! Bagaimana caranya ia bisa tenang jika ini adalah situasi yang buruk dan bisa saja berubah menjadi sangat ... memalukan? "Kok tumben cepet banget sih?" gumam Amaya seorang diri. Matanya terpejam putus asa seraya berpikir apa yang harus ia lakukan. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, mencari tahu barangkali ada wajah yang ia kenal sehingga ia bisa meminta bantuan. Tapi tidak ada sama sekali. Semua wajah yang ada di sana asing. Terang saja ... ini adalah perpustakaan kampus, bukan sebuah ruang lingkup yang seluruh pengunjungnya bisa dikenal oleh Amaya. "Aku tanya ke Alin aja apa dia udah dateng apa belum," kata Amaya. Ia meraih ponselnya dan mengirim pe
Kelvin tak bisa membendung senyumnya tatkala wajah kesal Amaya semakin menjadi-jadi. Ia tertawa lirih sebelum mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik, "Maaf, hanya bercanda, Sayang ...." katanya. "Aku tahu kamu mencintaiku, sudah banyak buktinya. Nggak perlu bilang 'I love you' pun aku tahu kamu tulus kok." Jika ini di rumah, atau bukan di tempat umum dan keadaan Amaya tidak 'berdarah-darah' seperti ini, Amaya pasti sudah mencubit lesung pipi di wajahnya itu. Kelvin terlihat bangun dari duduknya. Pria itu berdiri seraya membawa coat panjang miliknya dan berujar, "Berdirilah pelan-pelan, aku akan menutupinya dengan coat ini." Amaya mengangguk. Ia lakukan perintah Kelvin, berdiri pelan-pelan dan sebelum tubuhnya sempurna menjadi tegak, coat panjang milik Kelvin sudah singgah di tubuh bagian belakangnya, menutupi noktah merah sebesar piring yang ada di bawah pinggulnya itu. Seolah mengabaikan semua pasang mata yang menyaksikan apa yang mereka lakukan, Kelvin justru memba
Amaya dengan cepat menyelesaikan urusannya di dalam bilik kamar mandi itu. Ia pisahkan pakaiannya yang kotor bersama dengan coat panjang milik Kelvin pada paperbag yang besar sementara obat dan beberapa makanan serta minuman yang dibelikan oleh Kelvin pada paper bag lain yang lebih kecil. Ia keluar dari sana dan menyadari kamar mandi yang tak sesepi sebelumnya. Ia mencuci tangan dan dengan cepat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke ruangâtempat di mana ia akan menghadiri kelas paginya. Dengan langkah yang sedikit gegas akhirnya ia tiba, dan cukup terkejut melihat Kelvin rupanya ada di dalam sana, tengah duduk seolah pria itu sedang menjaga tas miliknya. Amaya melihat beberapa temannya yang menahan senyum sewaktu ia datang dan memasuki ruangan. Termasuk Alin dan Naira yang sepertinya juga baru datang dan tak bisa mencerna apa yang terjadi sekarang ini. "Terima kasih," ucap Amaya saat tiba di samping meja, tempat di mana Kelvin duduk di sana dan menyambutnya dengan seulas senyu
Kelvin pergi setelah mengatakan itu pada Ziel. Senyum tipisnya terukir saat wajah pemuda itu tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. 'Biarkan saja,' pikir Kelvin dalam hati. 'Ada baiknya memperingatkannya sejak awal daripada dia terus berharap.'Karena jika Ziel terus merasa ia masih mempunyai kesempatan untuk memiliki Amaya, tak ada yang menjamin keinginan itu akan berubah menjadi obsesi.Kelvin hanya menerapkan batas dan membuka matanya lebar-lebar, bahwa yang tengah diharapkannya itu adalah istri orang. Sampai sana ... harusnya ia paham!Memasuki ruang dosen, ia disambut oleh Arsha yang menghampiri mejanya. Temannya itu sedikit menyipitkan mata melihat kedatangannya sebelum bertanya, "Dari mana, Vin?""Bukan urusanmu," jawab Kelvin singkat. Ia lebih memilih duduk di kursinya sementara Arsha mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja."Kamu masih kesal loh sama aku sampai hari ini, Vin," katanya. "Maaf, aku 'kan udah bilang nggak bakalan ngajakin kamu ketemu sama perempuan lain at
Sepulang dari kampus, Amaya yang lebih dulu tiba di rumah seperti akan menghabiskan waktu dengan berbaring sepanjang hari. Tidak biasanya perutnya sakit seperti ini saat datang bulan. Sekalipun sakit, tidak separah ini, tidak melilit dan membuatnya seolah dicengkeram dengan sangat kuat. Ia meringkuk di bawah selimut, berusaha memejamkan mata untuk mengalihkan rasa sakit itu seandainya ia bisa tertidur. "Padahal udah minum obat pereda nyerinya loh," gumamnya sendirian. Ia mendengar pintu kamar yang terbuka, wangi parfum maskulin pria yang disukainya itu menguat saat suara langkah kakinya mendekat. Kelvin. Amaya yakin itu adalah Kelvin. "Sayang," panggilnya. Baritonnya yang hangat terdengar begitu dekat dengan Amaya sehingga ia membuka mata dan menjumpai Kelvin yang naik ke atas tempat tidur dan mengusap pipinya. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya khawatir. Mungkin karena melihat bibir pucat Amaya. "Iya," jawab Amaya. "Cuma nyeri aja, padahal nggak biasanya begini." "Mau pergi ke r
Di rumah sakit tempat Rama dirawat pasca ia overdosis, pemuda itu tidak semurung sebelumnya. Ia tengah duduk di bangku taman yang berada tidak jauh dari kamar rawatnya dan terdiam memandang segerombolan pasien anak yang kondisinya membaik tengah bermain tak jauh darinya."Nak, ayo masuk dulu," ajak sebuah suara dari belakangnya yang membuat Rama seketika menoleh dan menjumpai wajah sang ibu, Arimbi. "Iya, Ma," jawab Rama singkat. Ia beranjak menuju ibunya yang menyambutnya dengan seulas senyum hangat. "Besok kamu udah boleh pulang kata dokter, kenapa masih suka ngelamun sih?" tanya Arimbi saat mereka memasuki kamar. "Cuma bingung habis ini ngapain," jawab Rama. "Karena rasanya nggak ada pandangan masa depan.""Seperti yang kamu bilang ke Mama dan Papa, bukannya kamu mau datang ke Jakarta lagi dan minta maaf ke Miranda?" "Benar sih.""Kamu harus bertanggung jawab buat kesalahan itu, Ram," kata Arimbi. "Kalau mau melanjutkan hidup dengan tenang, kamu harus selesaikan satu per satu.
Di kantin kampus, Randy yang terakhir duduk adalah hal yang dilihat Amaya sebelum ia menyuap makanan yang ia pesan. "Hah ...." desahan berat yang keluar dari bibir Randy membuat Amaya, Alin dan Naira serempak memandangnya. "Kenapa?" tanya mereka bertiga bahkan hampir bersamaan. "Kuliah baru juga mau semester lima, udah ditanyain nanti kalau lulus mau kerja di mana," jawab Randy sebelum mengaduk es teh manis yang ada di hadapannya. "Bukannya itu bikin kita sadar kalau dunia berjalan kayak seharusnya?" tanya Alin. "Bahkan ada yang bilang kalau yang paling sulit pas kita dewasa itu bukan ngerjain skripsi, tapi pas kita masuk di dunia kerja." "Tapi pas ada yang tanya begitu kamu jawab apaan, Ran?" tanya Naira, dibuat penasaran mengingat Randy itu banyak tidak seriusnya saat bicara santai seperti ini. "Aku jawab mau jadi bisnis konsultan." "Emang bakalan ada yang konsultasi sama kamu?" tanya Naira lagi. "Ada, kalau nggak ada aku bakal paksa dia buat mempekerjakan aku," jawab Randy p
Nasib dua ratus tusuk telur gulung itu berakhir dengan dibagikan kepada orang-orang yang siang itu ada di Ruang Terbuka Hijau tempat di mana Amaya dan Kelvin berhenti.Tapi tentu saja tidak habis semuanya, orang-orang hanya mengambil seperlunyaâtiga hingga lima tusuk saja.Sehingga makanan itu mereka putuskan agar berpindah tangan dan berhenti di rumah orang tua Kelvin serta di rumah Gafi. Arsen yang paling senang saat mendapatkan jajan itu dari keduanya.Amaya juga masih memakannya setelah mereka sampai di rumah. Bersama dengan Kelvin, mereka duduk di ruang makan, mendesis pedas oleh sambal buatan Bi Maraâyang juga diminta Amaya untuk membantu menghabiskan telur gulungnya.'Kapok deh, nggak bakal jajan tanpa tanya harga dulu,' batin Amaya seraya keluar dari kamarnya. Ia mengusap perutnya yang rasanya terlalu kenyang, terisi telur gulung.Ia merapikan rambutnya dan mencangklong tas miliknya. Ada agenda yang harus ia lakukan di luar. Ia bersama dengan Alin dan Naira akan mengerjakan
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
âMaaf, Mir,â ucap Rama sekali lagi. âBuat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.âMiranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.âWaktu itu ...â Miranda akhirnya membuka suaranya. âWaktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?â tanyanya. âApa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?âRama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. âNggak,â jawabnya. âAku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....âMiranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!âSiang bolong begini, Vin?â goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.âApa sih?â tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. âNggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.ââOhâââLagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,â imbuhnya. âMama sama Papa dulu pasti juga seringâaaak!âKelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. âMamâsakit, MamâââBerani kamu godain Mama hah?ââGodain gimana sih?â tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.âMaaf ya, Sayang ....â kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. âMaklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Renaâ" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan âtadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu dehâ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu âlari tunggang-langgangâ. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian âkeren bangetâ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. âSuami nggak tuh!â kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. âKamu mau pulang bareng aku nggak?â tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. âAku-kamu nggak tuh,â imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. âKatanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?â tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! âJ-jadi,â
[MemutuskanâMenetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belindaâkedua orang tuanya. âAkh!â Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. âKita harus bales ini ke Amaya!â katanya menggebu-gebu. âBener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, âkan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.â Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. âKalian nggak setuju?â tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiriâyang berkeinginan menyerang Alin tapi gagalâtapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk